Skip to main content

Prabowo Mau Ngapain, Sebenarnya?

Katanya dulu mau bikin zaken kabinet — kabinet profesional, ramping, efisien, dan jauh dari aroma politik balas budi. Tapi hari ini, di Istana Negara, derap langkah sepatu upacara terdengar lagi. Presiden Prabowo baru saja melantik 25 pejabat baru: dari wakil menteri, pejabat BUMN, hingga asisten khusus presiden. Tak berhenti di situ, ia juga menandatangani Keppres tentang pembentukan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua.

Kalau dihitung, kini struktur pemerintahan Indonesia terasa seperti cermin dari birokrasi yang mabuk kuasa. Ada 7 Menko, 42 Menteri, 12 pejabat setingkat menteri, dan 61 wakil menteri yang kini berebut pekerjaan di 42 kementerian. Jumlah yang nyaris menyamai formasi satu batalyon.
Bukan kabinet ramping, tapi kabinet gemuk yang menandakan satu hal: kekuasaan di Indonesia lebih suka bertambah kursi daripada berkurang urusan.

Padahal janji politiknya jelas — tertulis rapi dalam Astacita Indonesia Maju, dengan poin-poin mulia tentang reformasi politik, hukum, dan birokrasi. Tapi seperti biasa, janji tentang “reformasi birokrasi” di republik ini hanya hidup di PowerPoint, mati di pelantikan.


Yang menarik bukan cuma jumlah pejabatnya, tapi juga arah pikirannya.
Pembentukan Komite Eksekutif Papua misalnya, terdengar seperti langkah serius untuk mempercepat pembangunan di timur negeri. Tapi begitu dilihat lebih dekat, isinya adalah parade wajah lama: para purnawirawan TNI dan Polri, eks pejabat era Jokowi, dan satu dua figur simbolik yang lebih cocok disebut “penghias inklusivitas”. Ada Velix Wanggai, Paulus Waterpauw, Billy Mambrasar, dan bahkan Ari Sihasale — ya, seorang aktor film.

Pertanyaannya bukan lagi “siapa mereka?”, tapi “kenapa mereka lagi?”.
Karena kalau ini tentang percepatan pembangunan Papua, kenapa komitenya terasa seperti retirement club plus bonus selebritas? Dan kalau ini tentang membantu Gibran sebagai Wakil Presiden, seperti kata Mensesneg Prasetyo Hadi, maka jujurnya: bantu Gibran atau bangun Papua?
Sebab dua hal itu jarang bisa dilakukan bersamaan.


Ada yang ganjil dalam cara kekuasaan dijalankan: setiap kali kita bicara “percepatan”, yang sebenarnya dipercepat adalah proses pelantikan. Bukan pembangunan.
Birokrasi Indonesia tidak pernah kekurangan struktur, hanya kekurangan fungsi. Ia seperti mesin besar yang sibuk menambah roda gigi — bukan agar berjalan lebih cepat, tapi agar lebih banyak tangan bisa ikut memegang kendali.

Dalam dunia politik, pembengkakan jabatan selalu dibungkus dengan istilah teknokratis: “koordinasi”, “sinkronisasi”, “percepatan”, “optimalisasi”. Padahal maknanya sederhana: kursi harus cukup untuk menampung semua yang berjasa.
Zaken kabinet akhirnya berubah menjadi zakat kabinet — tempat menyalurkan sedekah politik pada mereka yang dianggap berjasa dalam memenangkan perang elektoral.


Dan mungkin di situlah inti masalahnya: kekuasaan di republik ini tidak lagi bertujuan menyederhanakan negara, tapi menebalkan lapisan-lapisannya.
Setiap presiden datang dengan janji efisiensi, tapi berakhir dengan struktur gemuk yang lebih kompleks dari generasi sebelumnya.
Seolah negara ini takut kalau terlalu sedikit orang yang berwenang, nanti tidak ada yang bisa disalahkan.

Maka, alih-alih pemerintahan yang bekerja cepat, yang kita dapat adalah orkestrasi seremonial: pelantikan demi pelantikan, sumpah jabatan yang bergema setiap pekan, dan wajah-wajah lama yang muncul dalam formasi baru.


Kalau ditanya “Prabowo mau ke mana?”, jawabannya barangkali sederhana tapi menyakitkan: ke arah yang sama seperti pendahulunya — ke arah pusat kekuasaan yang penuh orang tapi kosong arah.
Di negara yang masih percaya bahwa jabatan adalah bentuk pengabdian, bukan fasilitas, seharusnya seorang presiden berani memangkas kursi, bukan menambahkannya.

Tapi rupanya kita hidup di republik kursi, di mana kekuasaan diukur dari berapa banyak pantat bisa duduk di dalamnya.
Dan di antara semua kursi yang kini terisi, masih tersisa satu yang kosong: kursi logika.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...