Udine malam itu terasa seperti panggung sejarah kecil yang berdenyut di jantung dunia.
Lagu kebangsaan Israel baru saja mengalun di udara dingin Italia ketika ribuan tangan serentak mengangkat karton bertuliskan satu kata sederhana: STOP.
Bendera Palestina berkibar dari barisan atas tribun, seperti gelombang emosi yang datang dari hati nurani manusia.
Di antara warna biru Gli Azzurri, muncul merah, putih, hitam, hijau, berpadu membentuk satu pesan yang tidak perlu diterjemahkan ke bahasa mana pun.
Malam itu, stadion bukan lagi tempat adu taktik dan strategi, melainkan altar solidaritas.
Ketika bendera Palestina dilarang berkibar di tanahnya, seluruh dunia kemudian mengibarkannya.
Dan dari sorak penonton yang biasanya bernada nasionalisme, lahir lagu yang lain.
Lagu yang tidak ditulis oleh federasi mana pun, tidak dinyanyikan oleh paduan suara resmi, melainkan oleh hati orang-orang yang tahu rasa sakit dijajah.
Setiap kibaran bendera menjadi bahasa baru yang tak dapat dilarang: bahasa penolakan terhadap penjajahan.
Begitulah sepak bola bekerja, bukan dengan pidato, tapi dengan gesture sederhana yang bisa membuat tiran gelisah.
Beberapa hari kemudian, cerita berpindah ke utara, ke Oslo.
Di luar Ullevaal Stadium, ribuan warga Norwegia turun ke jalan.
Udara dingin membekukan jari, tapi tidak keyakinan.
Mereka mengangkat poster bertuliskan Free Palestine, meneriakkan Viva Palestina, dan membanjiri gerbang stadion dengan warna perjuangan.
Polisi mencoba menertibkan, tapi suara tak bisa diborgol.
Di dalam stadion, ketika Israel melangkah masuk ke lapangan, mereka disambut bukan oleh sorakan kemenangan, tapi oleh tatapan solidaritas yang menembus seperti panah ke dada.
Malam itu sepak bola bukan lagi permainan dua negara, tapi pertemuan dua sisi sejarah: yang menjajah dan yang diperjuangkan.
Di Glasgow, dari utara pulau Britania, cerita yang sama menggema.
Celtic, klub yang terkenal dengan identitas kelas pekerja dan perlawanan, menjadi panggung bagi gelombang solidaritas lain.
“Green Brigade”, kelompok ultras mereka, membentangkan spanduk raksasa bertuliskan Show Israel the Red Card.
Karton merah diangkat, serempak, seperti vonis moral dari rakyat kepada penguasa.
UEFA menjatuhkan denda, tapi tak ada uang yang cukup untuk membayar makna keberanian.
Bagi para suporter itu, melawan bukan tentang skor, melainkan tentang harga diri kemanusiaan.
Dalam dunia yang sering memuja kemenangan, mereka memilih berpihak pada yang kalah, dan itulah bentuk kemenangan paling sejati.
Namun di Zurich, di balik meja panjang dan dasi yang terlalu rapi, Gianni Infantino berbicara dengan tenang, seperti orang yang takut mengganggu status quo.
Katanya, FIFA tidak bisa menyelesaikan masalah geopolitik.
Kalimat itu terdengar sopan, tapi kosong.
Sebab dunia tahu, FIFA bisa ketika mau.
Mereka menangguhkan Rusia dari setiap kompetisi ketika tank melintas di Ukraina, dan mereka melakukannya dengan alasan moralitas.
Kini, ketika bom jatuh di Gaza, FIFA mendadak kehilangan kamus kata “keadilan”.
Sepak bola yang mereka sebut universal berubah menjadi permainan selektif, di mana penderitaan hanya sah untuk ditangisi bila disetujui politik.
Infantino menyebut sepak bola sebagai bahasa perdamaian.
Tapi di lapangan kenyataan, bahasa itu tersendat, tercekik oleh diplomasi.
Perdamaian macam apa yang diucapkan dengan menutup mata terhadap penjajahan?
Keadilan macam apa yang berpura-pura netral di hadapan genosida?
UEFA pun menari di nada yang sama.
Mereka berkata tidak ingin mencampuradukkan olahraga dan politik.
Tapi siapa yang bisa memisahkan keduanya ketika bendera menjadi simbol hidup dan mati?
Ketika stadion menjadi satu-satunya tempat rakyat bisa bersuara tanpa ditembak?
Sejarah mencatat, sepak bola pernah menumbangkan apartheid, pernah membakar semangat revolusi, pernah membuat dunia menunduk pada satu kata: kemanusiaan.
Kini, apakah keberanian itu sudah hilang, digantikan oleh sponsor dan kontrak hak siar?
Dari Udine ke Oslo, dari Glasgow ke Marseille, dari tribun hingga jalanan, dunia sedang mengangkat kartu merah.
Bukan untuk pemain, tapi untuk kekuasaan yang tak mengenal empati.
Setiap tifo, setiap nyanyian, setiap kibaran bendera adalah bentuk perlawanan terhadap sunyi yang dipelihara institusi.
Dan di balik semua itu, ada satu ironi yang tak bisa disembunyikan:
bahwa sepak bola, permainan yang katanya mempersatukan, kini menjadi cermin paling jujur dari dunia yang retak.
Peluit akhir dibunyikan, pemain menunduk, kamera beralih ke wajah penonton yang belum ingin pulang.
Stadion mulai kosong, tapi udara masih penuh makna.
Sorak sudah berhenti, tapi ada kalimat yang menggema di antara bangku-bangku kosong, kalimat yang lahir dari nurani kolektif umat manusia:
Ketika bendera Palestina dilarang berkibar di tanahnya, seluruh dunia kemudian mengibarkannya.
Dan di momen itu, sepak bola bukan lagi olahraga.
Ia menjadi hati nurani yang berdiri tegak di tengah kebisuan dunia.
Ia menjadi panggilan bagi siapa pun yang masih percaya bahwa keadilan, seperti bola, tidak bisa dikubur selamanya.
Red card untuk penjajahan.
Red card untuk kemunafikan.
Dan untuk sekali ini, kemenangan tidak ditentukan oleh skor, tapi oleh keberanian untuk bersuara.
Comments
Post a Comment