Skip to main content

Santri, Tukang, dan Tanggung Jawab yang Ambruk

 

Negara ini memang punya kebiasaan aneh: setiap kali ada bangunan runtuh, solusinya selalu bukan memperbaiki fondasi, tapi menambal atap. Setelah pesantren di Sidoarjo ambruk, Kementerian PUPR datang bukan membawa tim audit bangunan atau insinyur berpengalaman, tapi rencana baru: melatih para santri jadi tukang bangunan bersertifikat.

Menteri PUPR bilang, ini bukan eksploitasi, tapi gotong royong. Kalimat itu terdengar manis, seperti gula yang disiram ke luka. Gotong royong selalu jadi kata sakti dalam setiap kebijakan yang setengah matang, menjadi mantra yang membuat beban rakyat terasa seperti kehormatan. Padahal, di balik semua itu, yang sedang dikerjakan bukan pemberdayaan, tapi pengalihan tanggung jawab.

Faktanya, dari 42 ribu pesantren di Indonesia, cuma 51 yang punya Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Artinya, pemerintah tahu bahwa ribuan bangunan tempat anak-anak belajar agama itu berdiri tanpa izin, tanpa standar keselamatan, dan tanpa supervisi teknis. Negara tahu, tapi diam. Lalu ketika satu di antaranya ambruk dan menelan korban, negara datang membawa program pelatihan santri jadi tukang.

Itu seperti melihat anak yang jatuh dari sepeda karena jalan berlubang, lalu memberi anak itu kursus pertukangan agar dia bisa menambal jalan sendiri. Lucu, kalau saja tidak begitu tragis.

Karena masalahnya bukan di santri yang tak bisa membangun, tapi di negara yang tak pernah mau membangun dengan benar.

Kita tahu, pesantren-pesantren itu lahir dari tanah yang keras dan niat yang tulus. Dibangun dari hasil jerih payah, sedekah, dan keringat jamaah. Tak jarang, bangunannya berdiri dengan perhitungan seadanya, karena tak ada insinyur yang mau turun tangan gratis untuk urusan yang dianggap “nonkomersial”. Negara tahu, tapi memilih pura-pura lupa. Karena selama tak ada gedung yang rubuh, tidak ada yang perlu diurus.

Kini, setelah dinding runtuh dan nyawa melayang, barulah datang ide “melatih santri agar bisa membangun pesantrennya sendiri dengan aman”.
Pertanyaannya: kalau negara sudah tahu ribuan pesantren tak punya izin bangunan, kenapa bukan audit nasional yang dijalankan? Kenapa bukan rehabilitasi yang disiapkan? Kenapa yang dilatih justru mereka yang mestinya dilindungi?

Filsuf Hannah Arendt pernah menulis bahwa salah satu bentuk banalitas kejahatan adalah ketika tanggung jawab moral diganti dengan prosedur administratif. Dalam konteks ini, tanggung jawab negara diganti dengan program pelatihan. Maka tragedi kehilangan bentuknya, berubah jadi kurikulum.

Pelatihan santri ini mungkin akan melahirkan tukang-tukang bersertifikat. Tapi yang tidak dibangun adalah sistem keselamatan publik. Sebab keselamatan bukan hasil dari pelatihan, tapi dari regulasi dan pengawasan yang berfungsi. Negara yang benar tidak menyuruh korban memperbaiki reruntuhan, tapi memastikan tidak ada lagi yang tertimbun di bawahnya.

Dan di sinilah absurditasnya: negara yang seharusnya menertibkan perizinan justru bersembunyi di balik jargon gotong royong. Seolah-olah yang salah bukan sistem, tapi warga yang belum cukup trampil. Padahal gotong royong tanpa tanggung jawab negara hanyalah bentuk baru dari pembiaran yang diberi nama indah.

Bayangkan kalau pola ini diterapkan ke sektor lain. Kalau ada jembatan roboh, warga akan dilatih jadi insinyur sipil. Kalau ada rumah sakit ambruk, pasien akan dilatih jadi arsitek. Dan kalau sistem pemerintahan kolaps, mungkin rakyat akan dilatih jadi presiden. Semua diberi sertifikat, semua puas, kecuali akal sehat.

Pemerintah selalu pandai menukar arah masalah. Ia bicara “pemberdayaan” saat yang dibutuhkan adalah perlindungan. Ia bicara “pelatihan” saat yang mendesak adalah pengawasan. Ia bicara “gotong royong” padahal yang terjadi adalah desentralisasi tanggung jawab.

Dan publik, seperti biasa, diajak untuk kagum. Santri dilatih jadi tukang! Gratis lagi! Padahal yang seharusnya gratis adalah izin bangunan bagi lembaga pendidikan berbasis rakyat, bukan pelatihan memperbaiki kelalaian negara.

Sungguh ironi: di negara yang katanya beriman, bahkan rumah ilmu pun harus dibangun dengan risiko nyawa, sementara negara sibuk menyiapkan pelatihan agar korban berikutnya bisa memperbaiki puingnya sendiri dengan lebih profesional.

Kalau kebijakan ini disebut “memuliakan gotong royong”, maka barangkali definisi “memuliakan” perlu dikaji ulang. Karena yang tampak justru negara yang makin ringan tangan, bukan karena bekerja, tapi karena pandai menyerahkan kerjaan ke rakyatnya sendiri.

Santri akan belajar mencampur semen, menata bata, mengukur pondasi. Tapi sebelum semua itu, ada satu hal yang seharusnya lebih dulu dibangun: kesadaran bahwa yang ambruk bukan cuma dinding pesantren, tapi rasa tanggung jawab negara terhadap warganya.

Dan itu, sayangnya, belum ada pelatihannya.


Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...