Skip to main content

Sumud Flotilla: Perahu Kecil, Malu Besar

 

Ada kalanya sejarah ditulis bukan oleh tank, bukan oleh jet tempur, tapi oleh perahu-perahu kecil yang berani menabrak ombak politik. Global Sumud Flotilla bukan sekadar iring-iringan kapal; ia adalah tamparan keras kepada dunia, khususnya kepada para raja dan emir Arab yang duduk di kursi empuk, membiarkan Gaza berlumuran darah sementara mereka sibuk menata ghutrah agar tidak kusut di depan kamera.

Para relawan dari puluhan negara berangkat membawa hal-hal remeh bagi standar istana: bahan makanan pokok, susu bayi, obat-obatan generik hingga alat penyaring air. Barang-barang yang di negeri para raja bisa dibeli sekali swipe kartu platinum, tapi di Gaza bisa menjadi garis tipis antara hidup dan mati. Mereka tahu kapal bisa ditembaki drone, bisa dihalangi kapal perang, bisa dibombardir propaganda. Tapi mereka tetap berangkat. Karena dalam kamus nurani, keberanian tidak menunggu konferensi pers, ia menunggu laut terbuka.

Sementara itu, apa kabar para pemimpin Arab? Mereka masih sibuk dengan diplomasi penuh basa-basi, mediasi yang tak pernah selesai, dan doa berjamaah di podium PBB. Seolah penderitaan Palestina bisa reda dengan kalimat “kami prihatin” yang diulang-ulang seperti dzikir yang kehilangan ruh. Ironisnya, rakyat di jalanan sering lebih berani daripada raja di singgasana. Seorang nelayan Norwegia atau pensiunan Italia lebih tegar menantang kapal perang dibanding seorang penguasa Teluk yang armadanya berderet di pelabuhan tapi jangkar moralnya tenggelam.

Di sini kita melihat kontradiksi Arab modern: istana yang berdiri megah dengan marmer impor, tapi rapuh ketika harus menantang hegemoni; imam yang pandai mengutip ayat jihad di khutbah Jumat, tapi diam membisu ketika harus melindungi tanah suci yang tergenang dengan darah. Mereka hidup nyaman dalam fatamorgana stabilitas, lupa bahwa stabilitas tanpa keberanian hanyalah nama lain dari penaklukan yang diterima dengan rela.

Flotilla ini lalu menjadi cermin. Di satu sisi, rakyat sipil lintas benua rela menggadaikan nyawa demi menyelundupkan kehidupan ke Gaza. Di sisi lain, para raja Arab yang mengaku “pelayan dua tanah suci” malah lebih sibuk melayani kontrak migas, kontrak pertahanan, dan kontrak hiburan. Dari panggung megakonser di Riyadh sampai arena balap di Abu Dhabi, semuanya dipoles sebagai wajah “Arab baru”—sementara Gaza dibiarkan sebagai kuburan terbuka.

Filsuf modern pernah berkata: “Keberanian adalah kebenaran yang mengucapkan dirinya sendiri di hadapan kematian.” Sumud Flotilla mempraktikkan kalimat itu. Para raja? Mereka hanya mengucapkan “solidaritas” sambil mengintip layar ponsel, takut kehilangan panggung ekonomi jika terlalu lantang.

Di dunia yang terbalik ini, perahu reyot berisi obat generik lebih bermartabat ketimbang istana berlapis emas. Gaza tidak butuh fatwa dari kursi empuk, ia butuh air bersih yang diantar perahu kecil. Sejarah akan mencatat: ketika Palestina berdarah, relawan asing memilih melaut, sedangkan raja Arab memilih diam.

Dan kelak, ketika generasi mendatang bertanya siapa yang berdiri di sisi kemanusiaan, jawabannya sederhana: yang berlayar, bukan yang berleha-leha.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...