أَنَّهُ مَنْ عَاشَ عَلَى شَيْءٍ مَاتَ عَلَيْهِ
“Sungguh, siapa saja yang hidup dalam suatu kebiasaan, ia pun akan wafat di atas kebiasaan itu.”
(Ibnu Katsir, Tafsiir al-Qur’aan al-‘Azhiim, 2/101; as-Sa’adi, Taysiir al-Kariim ar-Rahmaan fii Tafsiir Kalaam al-Manaan, 1/130).
Fajar belum memecah kegelapan saat sosok lelaki renta bangkit dari peraduannya. Dengan langkah pelan, ia beranjak untuk menunaikan tahajud. Shalat sunyi di sepertiga malam yang telah menjadi kebiasaan setianya sejak muda. Ketika usai mengambil air wudhu, tiba-tiba tubuhnya terasa lemah. Ia rebah di atas kasur, terpejam, namun bibirnya masih sempat mengalunkan kalimat tauhid. Sang istri, belahan jiwanya, memanggil-manggil dengan cemas, namun tak ada sahutan.
Dengan sisa tenaga yang tersisa, ia membuka mata, memandang istri tercintanya dan menariknya dalam pelukan terakhir, hangat dan penuh kasih. Setelah itu, ia berpulang, dalam damai, menyongsong pertemuan dengan Rabb-nya.
Akhir yang begitu indah, seolah alam pun turut khidmat menyaksikan kepergiannya. Ia kembali dengan tenang, sejiwa dengan kebiasaan hidupnya yang penuh keikhlasan. Pada hari yang penuh berkah, diiringi nama Tuhan yang senantiasa ia sanjung, dan pelukan terakhir untuk permaisuri hatinya.
Pakde—seorang yang dikenal tegas, bijaksana, berjiwa militer namun lembut hati, serta murah senyum. Setelah ia tiada, kisah-kisah tentang kebaikannya mulai terungkap. Tentang klinik gratis yang ia dirikan tanpa memungut bayaran. Tentang masjid yang didirikannya bersama para sahabat, masjid yang kelak menjadi tempat jenazahnya dishalatkan. Tentang kebaikan-kebaikan kecil dan besar yang ia lakukan tanpa pamrih, tersembunyi dalam kesahajaan.
Maka, melihat indahnya akhir hidup Pakde, sungguh tak lagi mengejutkan bagi siapa pun yang tahu bagaimana ia hidup.
Comments
Post a Comment