Skip to main content

Seekor Ikan dalam Ember


Di sebuah desa nelayan, ada seorang anak kecil yang menemukan ikan kecil di sungai. Ia merasa kasihan karena ikan itu terjebak di air yang dangkal, jadi ia memutuskan untuk membawa ikan itu pulang dan menaruhnya di sebuah ember kecil. Setiap hari, anak itu memberi makan ikan tersebut dan merawatnya dengan penuh kasih sayang.

Waktu berlalu, dan ikan itu tumbuh sedikit lebih besar, tapi tetap hidup di dalam ember kecil itu. Suatu hari, paman anak itu, yang adalah seorang nelayan berpengalaman, datang berkunjung. Ia melihat ikan itu dan berkata, "Ikan ini bisa tumbuh lebih besar, tetapi ia tidak akan pernah mencapai potensinya di dalam ember ini. Jika kau membawanya kembali ke sungai atau lautan, ia bisa tumbuh jauh lebih besar dan bebas berenang ke mana pun ia mau."

Anak itu kaget mendengar hal tersebut. Ia tidak menyadari bahwa ikan kesayangannya hanya tumbuh sebesar ember tempat tinggalnya. Dengan berat hati, anak itu akhirnya membawa ikan itu kembali ke sungai dan melepaskannya. Beberapa bulan kemudian, ia kembali ke tempat itu dan melihat ikan yang dulunya kecil kini telah tumbuh menjadi ikan besar yang berenang bebas bersama kawanan ikan lainnya.

Pelajaran dari Cerita Ini:

Kita sering kali membatasi diri kita sendiri dengan "ember" berupa ketakutan, keraguan, atau lingkungan yang membuat kita merasa nyaman. Namun, jika kita berani melangkah keluar dari zona nyaman, kita dapat menemukan potensi sejati kita dan tumbuh jauh lebih besar daripada yang pernah kita bayangkan. Terkadang, yang diperlukan hanyalah keberanian untuk keluar dari batas-batas yang kita buat sendiri agar kita bisa benar-benar berkembang.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...