Skip to main content

Memberi Kepastian kepada Kandidat: Profesionalisme yang Sering Terlupakan

Dalam dunia rekrutmen, ada satu hal sederhana yang sering diabaikan: memberi kepastian kepada kandidat yang tidak lolos seleksi. Padahal, ini bukan hanya soal sopan santun, tetapi juga cerminan profesionalisme dan integritas sebuah perusahaan.

Bayangkan seseorang telah meluangkan waktu untuk menyusun CV, menulis surat lamaran, menunggu panggilan wawancara, lalu datang dengan penuh harapan. Mereka melewati tahap demi tahap seleksi dengan harapan mendapatkan kesempatan, tetapi kemudian, hening. Tidak ada kabar. Tidak ada email. Tidak ada kepastian. Lama-kelamaan mereka menyadari bahwa ketidakjelasan itu adalah jawabannya.

Di sisi lain, perusahaan mungkin merasa tidak perlu menginformasikan hasil seleksi kepada kandidat yang tidak terpilih. Alasannya beragam, mulai dari keterbatasan waktu, jumlah pelamar yang terlalu banyak, atau sekadar menganggap bahwa diam adalah jawaban yang cukup. Namun, sebetulnya ini bukan hanya soal memberikan kabar, melainkan juga membangun citra dan kredibilitas perusahaan.

Memberikan informasi kepada kandidat, meskipun sekadar pesan singkat yang menyampaikan bahwa mereka belum berhasil kali ini, memiliki dampak besar. Pertama, ini menunjukkan rasa hormat terhadap usaha dan waktu yang telah mereka investasikan. Kedua, ini mencerminkan budaya profesional yang menghargai komunikasi terbuka dan transparan. Dan ketiga, ini membantu membangun hubungan baik antara perusahaan dan para profesional di industri yang sama.

Tidak sedikit orang yang mungkin merasa kecewa ketika tidak mendapatkan kepastian setelah proses rekrutmen. Sebaliknya, ketika sebuah perusahaan memberi tahu hasilnya—walaupun itu bukan kabar baik—setidaknya ada penutupan yang jelas. Kandidat bisa melanjutkan perjalanan mereka tanpa terus bertanya-tanya.

Tentu, dengan jumlah pelamar yang banyak, menghubungi satu per satu mungkin terasa berat. Namun, ada banyak cara yang bisa dilakukan, seperti email otomatis yang tetap terdengar manusiawi atau template komunikasi yang bisa dikustomisasi sesuai kebutuhan. Yang terpenting, tetap ada komunikasi.

Bukan tidak mungkin, kandidat yang saat ini belum lolos bisa menjadi aset berharga di masa depan. Mereka bisa berkembang, mendapatkan pengalaman lebih, dan suatu saat kembali dengan kualifikasi yang lebih matang. Jika perusahaan telah menunjukkan integritas sejak awal, hubungan baik itu bisa tetap terjaga.

Jadi, alih-alih membiarkan ketidakpastian menjadi jawaban, mengapa tidak memilih untuk bersikap lebih profesional dan menghargai mereka yang telah berusaha? Bagaimanapun juga, komunikasi yang baik bukan hanya tentang etika, tetapi juga tentang membangun ekosistem kerja yang lebih sehat dan saling menghargai.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...