Skip to main content

Dulu Sembunyi, Sekarang Terbuka: Rokok, Guru, dan Moral Anak Sekolah


Kalau kita bandingkan masa-masa sekolah dulu dengan sekarang, pasti banyak perbedaannya, baik dari segi perilaku, cara belajar, sampai gaya hidup sehari-hari. Saya jadi teringat waktu masih duduk di bangku SMA. Jujur, dulu saya merokok, dan meskipun saya tahu itu salah, setidaknya ada satu hal yang saya pegang: nggak akan pernah merokok di depan orang yang lebih tua, apalagi di dekat sekolah. Rasanya nggak sopan dan malu kalau sampai ketahuan guru-guru. Kami yang merokok selalu cari tempat yang jauh dari sekolah. Ada rasa hormat dan “nggak enakan” yang masih terjaga.

Sekarang? Beda banget. Anak-anak sekolah jaman sekarang tampaknya lebih “berani” menunjukkan perilaku mereka. Bukan cuma merokok, tapi juga melakukannya dengan seragam sekolah dan di tempat umum tanpa rasa canggung. Setiap pagi, saat saya mengantar anak ke sekolah, saya sering lihat anak-anak ini merokok di jalanan, di atas motor, menuju ke sekolah. Kadang mereka masih sempat merokok di parkiran, yang jaraknya cuma sepelemparan batu dari gerbang sekolah. Seragam masih dipakai, motor baru diparkir, dan rokok masih di tangan.

Miris? Banget. Tapi yang lebih mengejutkan adalah kenyataan bahwa di kalangan guru sendiri, masalah ini seakan sulit diatasi. Bapak-bapak guru yang melarang dan mengejar siswa yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah, adalah orang yang sama yang merokok di lingkungan sekolah saat mereka rehat. Sungguh ironi, bukan? Bagaimana siswa bisa menghormati aturan kalau yang mengajarkannya saja melakukan hal yang sama? Guru yang seharusnya menjadi panutan malah terkadang ikut-ikutan. Saya pernah dengar cerita dari teman tentang seorang guru yang bercanda dengan muridnya untuk patungan membelikan dia rokok jika mereka nggak ikut acara sekolah. Lho, ini sekolah negeri, bukan warung kopi! Rasanya ada yang sangat salah di sini. Kalau guru saja memberikan contoh yang buruk, bagaimana murid-muridnya bisa belajar disiplin dan tanggung jawab?

Sebenarnya, peribahasa lama “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” itu bukan sekadar kata-kata. Ini menggambarkan realitas yang kita hadapi saat ini. Guru adalah sosok yang seharusnya dihormati dan dicontoh. Kalau mereka sendiri nggak mampu menjaga perilaku, bagaimana generasi berikutnya bisa memiliki integritas? Menjadi guru bukan sekadar profesi; itu panggilan untuk mendidik generasi penerus dengan nilai-nilai moral yang kuat. Kita nggak cuma bicara soal prestasi akademik di sini, tapi juga karakter.

Guru, dengan segala pengaruh dan tanggung jawabnya, harus tahu bahwa mereka sedang membentuk masa depan. Tugas mereka bukan hanya mentransfer ilmu, tapi juga menjadi contoh bagaimana menjadi individu yang bermoral, kreatif, dan inovatif. Bagaimana mungkin kita mengharapkan anak-anak sekolah berubah, kalau mereka tidak pernah melihat contoh yang baik dari lingkungannya sendiri?

Jadi, harapan saya, bukan hanya anak-anak sekolah yang harus belajar untuk lebih bertanggung jawab, tapi juga guru-guru yang menjadi teladan mereka. Kalau kita ingin generasi yang lebih baik, semua pihak harus ikut berubah. Semua dimulai dari contoh kecil—seperti tidak merokok di depan murid atau bahkan menjadikan rokok sebagai bahan candaan. Hal-hal ini mungkin terlihat sepele, tapi dampaknya besar.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...