Skip to main content

PERTAMAX OPLOSAN: NIKMATI KEJUTAN DI TIAP TETESNYA!


Jadi, Anda pikir Anda sudah menjadi warga negara yang baik? Membeli Pertamax, menghindari subsidi, dan ikut serta dalam pembangunan negeri? HA! Lucu sekali. Karena di balik setiap liter yang Anda tuangkan ke tangki kendaraan, ada kejutan yang menanti. Tidak, bukan kejutan berupa performa mesin yang lebih baik—melainkan kejutan rasa khas industri kreatif negeri ini: Oplosan!

Rasa Baru, Sensasi Baru!

Siapa bilang hanya makanan dan minuman yang bisa punya varian rasa baru? Kini, dengan Pertamax Oplosan, Anda bisa menikmati sensasi unik yang tidak ada di negara lain! Sejenis pengalaman spiritual, di mana Anda membeli Ron 92, tapi kendaraan Anda berkata, "Rasanya kayak Ron 90, tapi entahlah, lebih kayak Pertalite basi sih."

Tidak percaya? Coba cek mesin kendaraan Anda. Apakah dia lebih sering batuk-batuk? Apakah konsumsi bahan bakarnya tiba-tiba lebih boros? Apakah performanya mendadak turun seperti negara yang kebanyakan utang? Kalau iya, selamat! Anda sudah menjadi bagian dari eksperimen skala nasional yang luar biasa ini.

Kisah Rakyat: Dari Kesetiaan ke Penghinaan

Jadi, mari kita kenang bersama, bagaimana rakyat begitu niatnya membeli Pertamax:

  • Ada yang bela-belain beli Pertamax biar nggak ngambil jatah subsidi rakyat miskin. Eh, malah dikasih Pertalite premium!

  • Ada yang beli di SPBU Pertamina karena katanya “cinta negeri, bela produk BUMN.” Plot twist: mereka membayar lebih mahal untuk campuran ajaib!

  • Ada yang takut beli Pertalite karena katanya "haram," kata para ulama part-time fans pemerintah. Lah, ternyata yang mereka beli cuma Pertalite rasa premium!

  • Ada yang beli Pertamax karena ingin antrean lebih cepat. Kasihan, ternyata yang lebih cepat justru kendaraan mereka menuju bengkel.

Dan setelah bertahun-tahun rakyat setia berkontribusi, apa yang mereka dapat? 193 triliun rupiah melayang, kendaraan rusak, dan bonus sambutan penuh tawa dari komisaris serta direksi yang masih bisa tidur nyenyak di atas tantiem miliaran rupiah. Mau marah? Silakan. Tapi apakah ada yang peduli? Ah, pertanyaan retoris.

PERTAMINA & Kawan-kawan: Menari di Atas Tangki Emas

Sementara Anda masih mengais-ngais uang buat isi bensin, di balik gedung-gedung tinggi sana, ada segelintir orang yang masih tertawa terbahak-bahak. Komisaris dan direksi yang mungkin dulu hanya ahli dalam memutar-mutar narasi politik, kini sibuk dalam dunia perminyakan—bukan untuk memperbaiki, tapi untuk mengoptimalkan celah-celah keuntungan bagi kelompok tertentu.

Ketika rakyat mulai sadar dan marah, mereka maju dengan jurus klasik:

  • “Itu bukan kami, itu anak perusahaan!”

  • “Kita harus menunggu hasil investigasi yang akan selesai setelah kalian lupa.”

  • “Tidak boleh suudzon, mari kita dukung bersama!”

Dan tentu, jangan lupakan bagaimana orang-orang ini selalu lolos, tanpa ada yang benar-benar bertanggung jawab. Mereka tetap berada di kursi empuk, menikmati fasilitas, menerima gaji setara harga apartemen mewah tiap bulan, sementara rakyat? Ya, tetap dipermainkan seperti badut yang tidak tahu sedang ditertawakan.

Boikot? Atau Mencari Alternatif?

Apakah rakyat punya pilihan lain? Haha! Lucu sekali. Dengan sistem monopoli yang menjadikan SPBU Pertamina sebagai raja tak tergoyahkan di banyak daerah, boikot bukanlah hal yang mudah. Mungkin, di titik ini, solusi terbaik adalah kembali ke metode klasik: naik kuda atau jalan kaki. Paling tidak, kuda tidak akan mengeluh kalau diberi bahan bakar abal-abal.

Atau, kalau Anda merasa cukup kreatif, mungkin bisa mulai membuat BBM sendiri di rumah? Siapa tahu, justru hasilnya lebih berkualitas daripada yang dijual di SPBU.

Kesimpulan: Tetap Tersenyum dalam Penipuan Nasional

Jadi, setelah semua ini, rakyat harus bagaimana? Apakah harus terus beli Pertamax sambil berdoa agar kali ini tidak dioplos? Atau harus belajar menerima nasib dan tetap tersenyum seperti biasa?

Tapi kalau ada satu pelajaran yang bisa kita ambil dari drama ini, adalah bahwa di negeri ini, bukan yang jujur yang menang. Tapi yang pintar ngeles, yang banyak koneksi, dan yang tahu cara memainkan sistem.

Selamat menikmati Pertamax Oplosan: Kini dengan Rasa Kejutan!

Kalau kendaraan Anda mogok di tengah jalan, ingatlah: itu bukan salah pemerintah. Itu salah Anda yang masih percaya bahwa kejujuran adalah mata uang yang berlaku di negeri ini.

Oke gas, oke gas! 🚗💨🔥

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...