Belakangan ini, dunia maya—terutama media sosial—lagi heboh dengan tren AI yang bisa mengubah gambar atau foto menjadi Ghibli style. Dengan sekali klik, wajah seseorang bisa terlihat seperti karakter dalam dunia My Neighbor Totoro atau Spirited Away. Keren? Mungkin. Tapi kalau dipikir lebih dalam, tren ini mulai mengusik sisi moral dan etika seni.
AI yang Meniru Tanpa Izin
Studio Ghibli punya gaya visual yang khas—warna pastel yang lembut, pencahayaan dreamy, dan atmosfer magis yang bikin kita merasa masuk ke dunia dongeng. Tapi gaya ini bukan muncul begitu saja. Butuh puluhan tahun kerja keras, eksperimen, dan dedikasi dari para animator, termasuk tangan dingin Hayao Miyazaki. Sekarang, AI bisa meniru semua itu dalam hitungan detik.
Masalahnya? AI nggak minta izin, nggak memberi kredit, dan nggak membayar siapa pun dari tim kreatif yang membangun estetika Ghibli selama ini. Kalau ilustrator manusia mau meniru gaya Ghibli, mereka harus latihan bertahun-tahun. Tapi AI? Cukup dengan model yang dilatih dari gambar-gambar yang beredar di internet—termasuk gambar yang mungkin diambil tanpa izin.
Ghibli Style = Produk KW?
Analogi yang pas untuk tren ini adalah sepatu KW. Orang yang beli sepatu KW tahu bahwa mereka nggak dapat kualitas asli, tapi tetap tertarik karena merek aslinya sudah terkenal. Sama dengan AI yang meniru Ghibli style—orang menggunakannya bukan karena AI itu sendiri, tapi karena nama besar Ghibli. Mereka menumpang popularitas tanpa memberikan apa pun kembali ke kreator aslinya.
Lalu, apakah AI ini sekadar "terinspirasi"? Atau lebih tepat disebut eksploitasi digital?
Masalah Moral dan Etika
Secara hukum, persoalan ini masih abu-abu. Tapi secara etika, ada beberapa poin yang bikin tren ini meresahkan:
✔ Menunggangi popularitas tanpa izin → Kalau bukan karena Ghibli, tren ini nggak akan seheboh sekarang.
✔ Mengabaikan hak moral seniman → Gaya Ghibli adalah hasil kreativitas manusia, bukan sesuatu yang bisa diklaim AI begitu saja.
✔ Membahayakan industri seni → Kalau AI bisa meniru gaya terkenal dalam sekejap, kenapa harus bayar ilustrator atau animator manusia?
✔ Minim penghargaan terhadap kreativitas → Seni bukan cuma soal tampilan visual, tapi juga pengalaman, emosi, dan usaha yang dikeluarkan untuk menciptakannya.
FOMO yang Merusak
Pada akhirnya, masalah terbesar bukan cuma di AI, tapi juga di kita sebagai pengguna internet. Banyak orang ikut tren ini karena penasaran atau sekadar ingin tampil keren di media sosial. Sama seperti tren NFT, deepfake, atau baju KW—semakin banyak orang pakai, semakin besar industri ini berkembang, dan semakin sulit dikendalikan.
Padahal, kalau dipikir-pikir, apakah kita benar-benar butuh AI yang bisa bikin wajah kita jadi mirip karakter Ghibli? Atau kita hanya terbawa arus FOMO (Fear of Missing Out) tanpa mempertimbangkan konsekuensinya?
Apakah AI Harus Dibatasi?
Tentu, teknologi AI tidak bisa dihentikan begitu saja. Tapi harus ada batasan. Harus ada regulasi yang melindungi seniman dari eksploitasi. Harus ada kesadaran dari pengguna bahwa tidak semua tren layak diikuti.
Mungkin, alih-alih pakai AI yang meniru Ghibli, kenapa nggak coba menggambar sendiri? Atau kalau mau menikmati seni ala Ghibli, lebih baik kita kembali menonton film-filmnya dan mendukung karya asli mereka?
Pada akhirnya, semua kembali ke pilihan kita: mau jadi bagian dari mereka yang menghargai seni, atau ikut-ikutan tren tanpa peduli dampaknya? 😉
Comments
Post a Comment