Skip to main content

Dari Idiot Tunggal ke Partai Oligarki: Komedi Tragis Politik Negeri Ini


Dalam sebuah dunia yang penuh warna, ada pepatah yang mengatakan: "Satu idiot adalah satu idiot. Dua idiot adalah dua idiot. Sepuluh ribu idiot adalah partai politik." Ungkapan radikal itu pernah disampaikan oleh seorang penulis novel berkebangsaan Jerman akhir abad ke-19 bernama Franz Kafka (1883) dan populer hingga awal abad ke-20. Pepatah ini, meskipun terdengar seperti lelucon, tampaknya menjadi kenyataan pahit dalam lanskap politik negeri ini belakangan ini.

Babak I: Ketika Keluarga Jadi Segalanya

Negeri ini, yang katanya demokratis, belakangan ini lebih mirip sinetron keluarga. Seorang pemimpin yang awalnya dikenal sederhana tampaknya sangat peduli dengan masa depan keluarganya. Putra sulungnya tiba-tiba muncul sebagai calon pemimpin dalam kontestasi politik. Tak ketinggalan, menantu dan putra bungsunya juga ikut meramaikan panggung kekuasaan. Apakah ini bentuk nyata dari "Negeri Maju" atau sekadar "Keluarga Maju"?

Babak II: Militer Masuk, Demokrasi Tersingkir?

Baru-baru ini, parlemen negeri ini dengan semangat tinggi mengesahkan revisi undang-undang yang kontroversial. Kini, para perwira aktif diberikan tiket emas untuk menduduki berbagai posisi sipil tanpa perlu pensiun dini. Posisi-posisi strategis seperti di bidang hukum, pengadilan, hingga kementerian kini terbuka lebar bagi mereka.

Para aktivis pro-demokrasi pun berteriak, "Apakah kita sedang memutar ulang kaset lama era otoritarianisme?" Namun, pemerintah dengan tenang menjawab, "Ini demi adaptasi terhadap tantangan geopolitik dan teknologi masa kini." Tentu saja, karena siapa yang lebih paham tentang teknologi terbaru selain para petinggi yang masih berjuang memahami cara kerja smartphone?

Babak III: Dana Abadi atau Dana Abadi-Abadi?

Tak mau kalah, pemerintah meluncurkan program pengelolaan dana besar-besaran yang digadang-gadang akan menyejahterakan negeri. Untuk memastikan dana ini dikelola dengan "baik," dibentuklah dewan penasihat yang terdiri dari tokoh-tokoh "netral" seperti mantan pemimpin negeri, ekonom ternama, hingga mantan pemimpin negara lain yang juga kontroversial.

Pasar merespons dengan "antusiasme" yang luar biasa, ditandai dengan anjloknya indeks saham dan nilai mata uang yang terjun bebas. Namun, pemerintah tetap optimis, karena apa artinya sedikit gejolak ekonomi dibandingkan dengan visi besar menuju "Negeri Emas"?

Babak IV: Oligarki, Populisme, dan Rakyat yang Bingung

Di tengah semua ini, muncul fenomena menarik yang disebut sebagai "populisme oligarkis." Seorang pemimpin yang awalnya dikenal sebagai "orang biasa" kini tampak nyaman berdampingan dengan para elit ekonomi. Kebijakan-kebijakan yang diambil pun seringkali lebih menguntungkan segelintir kelompok dibandingkan rakyat jelata.

Rakyat pun dibuat bingung. Di satu sisi, mereka disuguhi retorika populis yang manis di telinga. Di sisi lain, realitas menunjukkan konsolidasi kekuasaan yang semakin mengarah pada otoritarianisme. Seperti menonton sinetron dengan plot twist yang tak terduga, rakyat hanya bisa berharap episode berikutnya membawa kejutan yang lebih menyenangkan.

Babak V: Protes, Meme, dan Harapan

Tak tinggal diam, mahasiswa dan aktivis turun ke jalan dalam aksi protes besar-besaran. Mereka membawa spanduk, meneriakkan yel-yel, dan tentu saja, membuat meme-meme kreatif yang menyindir kebijakan pemerintah. Di era digital ini, meme menjadi senjata ampuh untuk menyampaikan kritik dengan cara yang menggelitik.

Namun, di balik tawa dan canda, tersimpan harapan bahwa negeri ini masih memiliki peluang untuk kembali ke jalur demokrasi yang sehat. Rakyat berharap bahwa para pemimpin dapat mendengar suara mereka, bukan hanya suara dari lingkaran elit yang sempit.

Epilog: Dari Idiot ke Oligarki

Ungkapan tentang idiot dan partai politik tadi mungkin terdengar kasar, namun dalam konteks politik negeri ini saat ini, ada kebenaran yang tak bisa diabaikan. Ketika individu-individu dengan kepentingan sempit berkumpul dan membentuk kekuatan politik, hasilnya bisa jadi adalah kebijakan-kebijakan yang jauh dari kepentingan rakyat banyak.

Sebagai penonton setia drama politik ini, rakyat hanya bisa berharap bahwa episode berikutnya membawa plot yang lebih masuk akal, dengan karakter-karakter yang benar-benar peduli pada kesejahteraan bersama, bukan hanya pada rating dan popularitas semata.


Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...