Kadang, kalau kita dengar kata "kerusuhan," yang kebayang cuma api, suara pecahan kaca, sirene meraung, orang-orang berlarian.
Tapi di Los Angeles tahun 1992, lebih dari itu yang terbakar.
Yang benar-benar hancur adalah rasa percaya — kepada hukum, kepada sesama, kepada negara.
Semua meletup setelah dunia melihat dengan mata kepala sendiri: Rodney King, dihajar brutal oleh empat polisi, terekam kamera, lalu dilepaskan tanpa hukuman.
Dan dalam sekejap, LA seperti meledak.
Jalanan berubah jadi medan tempur.
Toko-toko dibakar, orang-orang bersenjata menjaga atap-atap bangunan, dan di udara, selain asap, ada rasa marah yang kental — rasa marah yang sudah terlalu lama ditahan.
Orang-orang seperti Mr. Kim, pemilik toko kecil di Koreatown, akhirnya harus memegang senjata sendiri.
Di atap toko, malam-malam tanpa tidur, mereka berjuang bukan cuma untuk properti, tapi untuk eksistensi — untuk hak dasar di negara yang seringkali terasa bukan milik mereka.
Sementara itu, dari sudut lain kota, Reginald Denny — sopir truk biasa — diseret dari kendaraannya dan dipukuli sampai hampir mati, sebuah tragedi yang disiarkan langsung ke seluruh negeri.
Tapi di tengah kekacauan itu, masih ada harapan kecil: orang-orang yang, tanpa peduli warna kulit atau bahaya, memilih untuk menyelamatkan nyawanya.
Rodney King sendiri, dengan wajah lelah dan mata sedih, sempat berdiri di depan kamera dan bertanya,
"Can we all get along?"
Kalimat sederhana itu, entah kenapa, terdengar lebih keras daripada suara tembakan malam itu.
Tapi, setelah asap reda dan jalanan mulai tenang, luka itu tidak hilang.
Ia malah meresap lebih dalam, masuk ke dalam lagu-lagu, ke dalam film, ke dalam cerita-cerita yang lahir dari generasi yang menyaksikan kota mereka hancur.
Budaya pop Amerika berubah selamanya.
Satu tahun setelah kerusuhan, film Menace II Society keluar — keras, pahit, tanpa sensor.
Tentang anak-anak muda kulit hitam di jalanan LA yang penuh kekerasan dan keputusasaan.
Nonton film ini rasanya seperti menatap langsung luka yang belum sempat kering.
Di tahun yang sama, Falling Down juga hadir.
Bukan tentang kerusuhan secara langsung, tapi tentang seorang pria biasa yang, karena stres sosial, akhirnya meledak — berjalan melintasi Los Angeles dengan kemarahan yang lama dipendam.
Banyak orang melihat film ini sebagai metafora: kalau tekanan cukup besar, bahkan orang biasa bisa berubah jadi bara.
Beberapa tahun kemudian, L.A. Confidential muncul.
Meskipun mengambil latar 1950-an, cerita tentang korupsi polisi dan ketegangan rasial di film ini terasa seperti gema masa kini.
Seolah-olah sutradaranya berkata, "Hei, masalah kita mungkin berganti wajah, tapi akarnya tetap sama."
Dan ketika Dark Blue dirilis tahun 2002, film itu bahkan langsung menempatkan kita di minggu-minggu sebelum vonis bebas polisi pemukul Rodney King diumumkan.
Ending-nya? Kota yang mulai runtuh tepat saat kerusuhan pecah.
Tapi bukan cuma film yang mencatat luka itu.
Di musik, kemarahannya bahkan lebih lantang — lebih tanpa ampun.
Dog Eat Dog, lewat lagu "Who's the King", mempertanyakan siapa yang sebenarnya berkuasa di tengah ketidakadilan yang telanjang.
Nada-nadanya penuh amarah, seakan mewakili suara jalanan yang sudah terlalu lama diabaikan.
The Offspring, yang bahkan sebelum kerusuhan sudah mencium bau busuk brutalitas polisi lewat lagu "L.A.P.D.", tiba-tiba terdengar seperti peramal yang benar.
Kemarahan itu nyata, dan kini semua orang bisa melihatnya.
Lalu ada Rage Against the Machine.
Album debut mereka lahir tepat di tahun kerusuhan.
Setiap riff gitar, setiap teriakan vokal Zack de la Rocha, terdengar seperti dunia yang sudah nggak bisa lagi pura-pura baik-baik saja.
Tupac, yang lewat lagu-lagunya seperti "Changes," menggambarkan rasa hopelessness generasi kulit hitam yang, meski sudah berganti abad, tetap bergelut dengan ketidakadilan yang sama.
Liriknya pahit, tapi jujur.
Seolah-olah dia berkata, "Kita hidup dalam reruntuhan janji yang tidak pernah ditepati."
Sementara itu, Dr. Dre, lewat "The Day The Niggaz Took Over," langsung bercerita tentang hari LA terbakar.
Bukan lewat metafora, tapi lewat kisah nyata — mentah, brutal, tanpa disaring.
Dan di sudut lain, Sublime menyanyikan "April 29, 1992 (Miami)."
Judulnya memang "Miami," tapi lagu itu sebenarnya tentang LA.
Tentang malam-malam saat hukum runtuh dan orang-orang mencari keadilan dengan cara mereka sendiri.
Setiap lagu, setiap film, setiap cerita dari masa itu, sebenarnya adalah potongan-potongan catatan tentang luka yang belum pernah benar-benar sembuh.
Mereka adalah bisikan — atau kadang teriakan — yang mengingatkan kita:
Ketidakadilan yang dibiarkan, tidak akan pernah hilang.
Ia hanya akan bersembunyi di bawah permukaan, membara perlahan, menunggu saat untuk meledak lagi.
LA 1992 bukan cuma cerita tentang kota yang terbakar.
Itu adalah cerita tentang dunia yang berhenti percaya.
Tentang rasa marah yang terlalu lama dibungkam.
Tentang bagaimana, ketika suara orang-orang kecil tidak didengar, dunia akhirnya mendengarnya lewat jeritan api.
Dan sampai hari ini, bara itu — bara yang lahir dari rasa tidak adil — masih ada.
Mungkin tidak selalu kelihatan.
Tapi ia tetap menyala, diam-diam, di bawah tanah.
Menunggu.
Comments
Post a Comment