Ada masa ketika nama Joko Widodo terdengar seperti nyanyian baru dalam politik Indonesia. Seorang wali kota dari Solo yang berbicara dengan logat Jawa halus, mengenakan baju putih polos, dan terlihat kikuk kala diwawancara. Ia datang tanpa jas kebesaran partai, tanpa warisan politik, tanpa silsilah keluarga penguasa. Rakyat menyambutnya seperti fajar yang mengusir malam panjang penuh korupsi, feodalisme, dan politik dinasti. Tapi seperti banyak fajar yang terlalu cepat dielukan, kita lupa bahwa pagi bisa berubah mendung sebelum siang datang.
Dari Solo ke Jakarta, dan kemudian ke Istana Merdeka, karier Jokowi menanjak secepat antusiasme rakyat. Saat mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta, ia sempat menolak anggapan bahwa jabatannya hanyalah batu loncatan. “Saya akan menyelesaikan masa jabatan,” katanya. Namun belum dua tahun berjalan, ia sudah mendaftar jadi calon presiden. Banyak yang memaafkan. Waktu itu, euforianya masih kuat. Banyak yang berkata, “Lebih baik dia di istana daripada politisi lama yang itu-itu saja.” Tapi sejak saat itu, satu pola mulai terlihat: apa yang diucapkan tak selalu menjadi kenyataan. Bahkan, kadang justru menjadi antitesisnya.
Ingat Mobil Esemka? Ketika Jokowi mengendarai mobil itu dari Solo ke Jakarta, rakyat menyambutnya sebagai kebangkitan industri nasional. Mobil buatan anak-anak SMK, katanya, siap diproduksi massal. Kini, setelah lebih dari satu dekade, Esemka lebih pantas disebut sebagai artefak museum daripada kendaraan rakyat. Tak ada lini produksi masif, tak ada showroom di kota-kota besar. Mobil itu jadi semacam puisi nasionalisme palsu yang diperdengarkan saat kampanye, lalu dilupakan setelah jabatan diraih.
Lalu datanglah angka Rp11.000 triliun. “Potensi dana repatriasi,” katanya saat pertama menjabat sebagai presiden. Angka fantastis yang seolah bisa menambal segala lubang fiskal negara. Tapi seperti Esemka, angka itu menguap. Tak ada rincian, tak ada laporan, bahkan tak ada pertanggungjawaban. Sekali lagi, narasi bombastis dijadikan peralatan kampanye tanpa niat riil untuk membumikan impian.
Tapi mungkin kontradiksi paling mencolok dari seorang Jokowi adalah pernyataannya soal anak-anak. Dulu, dengan suara penuh kesungguhan, ia berkata bahwa anak-anaknya tidak akan masuk dunia politik. Itu bukan dunia mereka, katanya. Kini, Gibran bukan hanya masuk politik—ia sudah jadi Wali Kota Solo dan kini duduk sebagai Wakil Presiden. Kaesang, bahkan lebih cepat lagi jalurnya—langsung jadi Ketua Umum partai politik sebelum usianya genap 30 tahun. Apa ini kecelakaan demokrasi? Atau justru skenario halus menuju dinasti? Apa bedanya dengan keluarga Cikeas atau Cendana yang dulu katanya ingin ditinggalkannya?
Perjalanan Jokowi dalam soal integritas kelembagaan pun tak kalah penuh tikungan. Dalam debat, wawancara, dan banyak pidato, ia menyebut dirinya pendukung KPK. Tapi pada 2019, UU KPK direvisi dengan restu pemerintah, dan institusi itu berubah dari pemburu koruptor menjadi birokrasi semi-mati. Tak bisa menyadap tanpa izin, tak bisa bergerak tanpa pengawasan, dan kehilangan banyak penyidik andalan lewat Tes Wawasan Kebangsaan yang lebih mirip seleksi loyalitas. Di tangan Jokowi, KPK bukan diperkuat, tapi dibonsai.
Di sisi lain, Jokowi juga pernah berjanji untuk menghentikan impor pangan. Ia ingin swasembada—kata yang selalu dijual untuk mendongkrak simpati petani. Tapi faktanya? Tiap tahun kita tetap impor beras, gula, daging, garam. Bahkan di tengah panen raya. Petani lokal nyaris tak pernah menang dalam perang harga, dan kementerian lebih senang menjalin kontrak dengan importir daripada memperkuat produksi dalam negeri. Janji kedaulatan pangan hanyalah omong kosong di pidato.
Kita belum bicara soal Ibu Kota Nusantara. Saat wacana ini digulirkan, publik dikisahkan bahwa proyek besar ini akan didanai oleh investor—bukan APBN. Tapi lihatlah kenyataan hari ini: justru negara yang paling getol menggelontorkan dana. Investor asing masih tarik ulur, sementara investor lokal lebih banyak menunjukkan niat ketimbang tindakan. “Letter of intent” dirayakan seperti uang tunai. Lagi-lagi, antara janji dan praktik, jurangnya tak terbentang—tapi terpisah benua.
Semua itu terjadi dalam satu napas pemerintahan yang katanya mengutamakan rakyat kecil. Tapi pasca disahkannya UU Cipta Kerja, justru gelombang PHK masif terjadi. Lapangan kerja yang dijanjikan berubah jadi ironi. Dunia usaha dipermudah untuk merekrut dan memecat, tapi tak diberi stimulus berarti untuk bertumbuh. Rakyat diberi ilusi tentang peluang, padahal yang tersedia hanyalah ketidakpastian dan fleksibilitas upah.
Belum lagi soal ijazah. Isu ini mungkin terlihat remeh, bahkan basi. Tapi ketika publik menuntut transparansi atas dokumen yang seharusnya mudah dibuka, Jokowi justru enggan menunjukkan. “Yang menuduh harus membuktikan,” katanya. Padahal dalam tradisi demokrasi sehat, pembuktian justru dimulai dari keterbukaan. Tapi sekali lagi, prinsip hanya berlaku kalau sesuai dengan kepentingan.
Kini, setelah dua periode pemerintahan, rakyat mulai menyadari: Jokowi bukanlah pengecualian dari penyakit politik Indonesia. Ia adalah kelanjutannya. Ia datang bukan untuk membongkar sistem lama, tapi untuk menyempurnakan cara bertahan di dalamnya. Ia bukan antitesis dari kekuasaan elitis, tapi evolusi yang lebih ramah kamera, lebih lihai memainkan bahasa rakyat, dan lebih licin dalam menghindari tanggung jawab.
Sejarah akan menulisnya sebagai simbol transisi—bukan dari otoritarianisme ke demokrasi yang matang—tapi dari harapan ke kejenuhan. Kita pernah berharap terlalu tinggi, dan kini kita mendarat dengan kepala lebih dulu.
Ketika sejarah kelak ditulis ulang, barangkali kita akan ingat era Jokowi bukan sebagai era pembangunan besar atau “jalan tol di mana-mana”, tapi sebagai masa ketika rakyat kembali percaya pada harapan, hanya untuk menyadari bahwa yang mereka peluk hanyalah bayang-bayang.
Comments
Post a Comment