Belakangan ini kita makin sering disuguhi pemandangan yang membuat jidat mengernyit: anak-anak SD berjoget lagu remix viral ala TikTok di halaman sekolah, lengkap dengan koreografi yang diambil mentah-mentah dari tren media sosial. Tidak jarang, momen ini terjadi di tengah class meeting, acara perpisahan, hingga senam pagi. Lebih mencengangkan lagi, guru-guru ikut larut dalam euforia, tampil berjoget di TikTok, bahkan mengajak murid-murid mereka untuk turut serta. Ramai? Iya. Seru? Mungkin. Tapi apakah ini pantas? Apakah ini mendidik?
Sekolah: Tempat Didik Nilai, Bukan Normalisasi Tren
Fungsi sekolah bukan hanya tempat transfer pengetahuan akademik, melainkan juga tempat penanaman nilai, pembentukan karakter, dan pendidikan adab. Ketika institusi pendidikan ikut memutar musik remix viral dan menjadikannya bagian dari aktivitas resmi sekolah, apa yang sedang kita ajarkan kepada anak-anak? Bahwa semua yang viral boleh? Bahwa jadi bagian dari tren adalah sesuatu yang patut dirayakan di ruang edukatif?
Sekolah seharusnya jadi ruang kritis, bukan tempat tunduk pada algoritma. Namun kini, kurikulum tak tertulis yang justru dominan adalah: ikut tren, jangan ketinggalan, viralkan semua hal, tak peduli kontennya bermutu atau tidak. Anak-anak pun tumbuh dengan mindset bahwa validasi itu datang dari jumlah likes dan views, bukan dari kerja keras atau kedalaman berpikir.
Ketika Guru Bergeser dari Pendidik Jadi Entertainer
Lebih menyedihkan lagi ketika guru—figur yang digugu dan ditiru—ikut masuk ke pusaran tren ini. Joget bareng murid, membuat konten TikTok di dalam kelas, hingga melakukan tantangan-tantangan viral seperti "human bowling" saat jam pelajaran. Di mana marwah pendidik? Di mana ketegasan profesionalisme seorang guru yang seharusnya menjadi teladan dalam kesantunan, keteguhan prinsip, dan integritas moral?
Ini bukan soal anti-teknologi. Tapi ketika guru mulai memposisikan dirinya sebagai "konten kreator" alih-alih pendidik, ada bias kepentingan yang sangat mengkhawatirkan. Batas antara edukasi dan hiburan jadi kabur. Anak-anak tak lagi bisa membedakan kapan mereka sedang belajar dan kapan mereka sedang jadi objek tontonan.
Anak Belajar dari Apa yang Kita Toleransi
Anak-anak adalah peniru ulung. Ketika mereka melihat guru mereka berjoget dengan musik DJ remix di lingkungan sekolah, mereka tidak hanya meniru gerakan, tapi juga menelan pesan implisit: bahwa ini boleh, bahwa ini normal, bahwa ini bagian dari kegiatan edukatif. Padahal, banyak dari konten musik remix viral itu tidak memiliki nilai edukatif, bahkan sering kali membawa lirik yang tidak pantas, irama yang hiperaktif, dan pesan budaya yang sangat dangkal.
Mereka tak lagi belajar memilah mana yang patut dan tidak, karena orang dewasa di sekitar mereka pun sudah menyerah pada logika tren. Kita tidak sedang mencetak generasi berakhlak dan bernalar tajam, tapi generasi yang fasih berjoget namun gagap membaca realitas.
Budaya Instan Merasuk Kurikulum Diam-Diam
"Sejak kapan Velocity masuk kurikulum pendidikan?" Pertanyaan ini retoris, tapi menyengat. Lagu-lagu remix viral, tren TikTok, dan joget TikTok bukan hanya menyusup, tapi seolah-olah telah mendapat legitimasi dari sekolah. Ini adalah kurikulum gelap yang tak tercatat di silabus, tapi dijalankan dengan sukarela oleh banyak institusi pendidikan. Mengapa? Karena takut dianggap ketinggalan zaman? Karena ingin dianggap gaul?
Jika sekolah saja ikut mengajarkan bahwa eksistensi digital lebih penting dari substansi moral, lalu siapa yang akan mendidik generasi mendatang untuk berpikir jernih, bersikap santun, dan bertindak bijak?
Saatnya Sekolah Berhenti Jadi Penjilat Algoritma
Kita tidak bisa berharap anak-anak punya akhlak mulia dan akal sehat jika ruang-ruang pendidikan malah sibuk mengejar viralitas. Jika guru sibuk membangun persona digital, siapa yang akan membangun karakter murid? Jika kepala sekolah membiarkan lagu remix menggema saat upacara atau senam, siapa yang akan menanamkan rasa hormat dan adab?
Sudah waktunya sekolah kembali ke fitrahnya: mendidik, bukan menghibur. Membentuk karakter, bukan membentuk konten. Mengajarkan nilai, bukan membiarkan noise jadi norma. Dan para guru, kembalilah jadi teladan—bukan selebgram dadakan.
Karena masa depan anak-anak kita terlalu berharga untuk diserahkan pada algoritma yang berubah tiap minggu.
Comments
Post a Comment