Bayangkan dua sosok asing bagi dunia Arab: Chikahiro Naoya, seorang koki ramen dari Jepang, dan Greta Thunberg, ikon aktivisme lingkungan dari Swedia. Mereka bukan Muslim, bukan keturunan Arab, tak punya keluarga di Gaza, tak punya tanah di Tepi Barat. Tapi dari jarak ribuan kilometer, suara mereka menggema lebih lantang daripada para penguasa Muslim yang memiliki tanah, kekuasaan, dan sejarah panjang bersama saudara-saudara mereka di Filistin.
Greta baru-baru ini ikut serta dalam Freedom Flotilla menuju Gaza, berlayar dengan kapal "Madleen" bersama para aktivis lain untuk mengirim bantuan dan menantang blokade Isra-hell atas wilayah tersebut. Kapalnya dicegat oleh IOF. Ia ditahan dan kemudian dideportasi. Padahal yang ia bawa hanyalah satu kalimat sederhana: "Kita tak boleh diam saat terjadi genosida." Kalimat itu membuatnya didepak, bukan dari pesta, tapi dari wilayah yang konon demokratis. Sebelumnya, Greta juga aktif menyerukan boikot terhadap perusahaan seperti Chevron yang dianggap mendukung kebijakan Isra-hell, turun ke jalan dalam berbagai aksi, dan menggunakan media sosialnya untuk menyuarakan penderitaan rakyat Filistin. Tuduhannya kepada Isra-hell keras dan jelas: genosida, kejahatan perang, pelanggaran hak asasi manusia.
Chikahiro, di sisi lain, adalah potret perlawanan yang sunyi tapi konsisten. Seorang koki ramen, yang sejak Februari 2024 meninggalkan kenyamanan restorannya setiap minggu untuk berdiri di depan Kedutaan Isra-hell di Tokyo. Dengan tangan memegang papan bertuliskan "Stop Genocide" dan suara serak meneriakkan tuntutan keadilan, ia berdiri sendirian. Hujan, panas, tekanan polisi—tak membuatnya berhenti. Protesnya menjadi ritual mingguan, satu perlawanan kecil yang kini disorot dunia internasional. Ia tidak berbicara banyak, tapi aksinya berbicara lebih lantang dari khotbah para penguasa.
Sementara itu, istana-istana Arab tetap gemerlap. Pertemuan bisnis dengan perwakilan Isra-hell tetap berlangsung. Jet pribadi lepas landas ke London, Paris, dan Washington dengan membawa portofolio investasi, bukan bantuan kemanusiaan. Dan ketika rumah sakit di Rafah dibombardir IOF, para raja sibuk mempromosikan pariwisata halal dan menandatangani kesepakatan dagang. Nurani digadaikan demi kestabilan ekonomi dan foto bersama pejabat dunia.
Apa yang membuat dua orang non-Muslim ini bisa lebih berani daripada mereka yang mengaku sebagai pelindung umat? Apakah karena mereka tak memiliki beban kekuasaan? Atau justru karena mereka punya satu hal yang tak dimiliki para penguasa itu: keberanian moral?
Greta dan Chikahiro tidak membawa senjata. Mereka hanya membawa suara. Dan suara itu, ternyata, lebih memekakkan telinga daripada dentuman bom, karena suara mereka menusuk diam para raja. Mereka adalah pengingat bahwa kadang kebenaran datang bukan dari dalam rumah sendiri, tapi dari luar pagar, dari mereka yang tidak diundang tapi tahu kapan harus bicara.
Para penguasa Arab mungkin lupa bahwa sejarah tidak ditulis oleh mereka yang duduk manis di singgasana, tapi oleh mereka yang berdiri saat yang lain membungkuk. Filistin tidak butuh simpati pasif. Ia butuh solidaritas aktif. Tapi yang datang justru investor, bukan pembela.
Di antara suara-suara diam yang menggema di aula-aula istana, suara Greta dan Chikahiro seperti lonceng kebangkitan kecil. Mereka bukan nabi. Tapi kadang, suara kecil di padang sunyi lebih tulus daripada khotbah megah di mimbar yang dijaga tentara.
Dan mungkin, di masa depan, anak-anak Filistin akan mengenang bahwa di masa gelap itu, ada dua orang asing yang bersuara ketika dunia Arab memilih untuk diam. Itu pun sudah cukup untuk menuliskan satu babak kecil dalam buku panjang tentang kemanusiaan yang tak kenal batas agama, paspor, atau kepentingan geopolitik.
Comments
Post a Comment