Skip to main content

Dari Mengayomi ke Menggimmick: Ketika Seragam Polisi Lebih Mirip Kostum Tokusatsu

 

Di negeri ini, ada dua hal yang selalu sukses memancing gelak tawa netizen tanpa harus bayar stand-up comedian: kebijakan pemerintah yang absurd, dan konten gimmick aparat berseragam. Kali ini, bintang utamanya datang dari institusi yang harusnya jadi pelindung rakyat, penjaga ketertiban, sekaligus simbol ketegasan hukum: Kepolisian.

Tapi entah sejak kapan, seragam dinas yang dulu identik dengan wibawa, perlahan bergeser jadi bahan meme, cosplay tidak resmi, bahkan konten viral yang lebih layak masuk timeline Instagram ketimbang ruang sidang.

"Mengayomi Tanpa Henti?" atau "Menghibur Tanpa Akal Sehat?"

Coba kita telaah gambar yang beredar ini. Di latar belakang, ada burung Garuda bergaya Phoenix yang bersinar gagah, seolah habis menetas dari telur kebijakan publik yang katanya "reformasi." Barisan polisi berdiri dengan pose heroik, dada membusung, tangan mengepal, siap mengayomi… setidaknya dalam video.

Tapi, alih-alih menghadirkan rasa aman, gambar itu malah memunculkan rasa deja vu yang kuat bagi generasi yang tumbuh besar dengan serial Kamen Rider. Tak heran, netizen pun cepat mengaitkan adegan ini dengan ritual transformasi yang dikenal sebagai "Henshin!"

Dan hasilnya? Kumpulan Rider lengkap muncul di bawah gambar, bak parodi institusional yang terlalu mudah diparodikan.

Ironis, bukan? Di saat masyarakat masih berkutat dengan isu premanisme berseragam, tilang elektronik yang seringnya lebih kejam dari kamera CCTV malaikat maut, dan laporan kriminal yang sering "tak tertangani karena bukti kurang lengkap," di sisi lain, institusi ini justru sibuk memperkuat citra lewat visual gimmick yang lebih cocok jadi iklan sabun ketimbang kampanye keamanan.

Citra Diatas Realita, Branding Melebihi Bukti

Mari kita bicara soal branding. Di era algoritma, reputasi memang jadi barang mahal. Tapi, ketika citra didorong terlalu keras tanpa fondasi nyata, yang terjadi hanyalah paradoks: makin keras kau promosikan diri, makin keras juga rakyat menguliti kekuranganmu.

Toh netizen sekarang bukan makhluk yang gampang disulap dengan visual murahan. Mereka sudah kenyang dengan video polisi menari TikTok, konten motivasi berlatar seragam, atau kampanye "Polisi Humanis" yang lebih sering tampil di media sosial ketimbang di jalanan saat demonstran dipukul atau kasus kriminal dibiarkan menggantung.

"Henshin!" — Transformasi Kosmetik Tanpa Substansi

Dalam dunia Tokusatsu, kata "Henshin!" adalah momen sakral: sang pahlawan berubah, bukan hanya secara visual, tapi juga esensial — dari manusia biasa jadi simbol keadilan.

Tapi dalam realitas birokrasi kita, transformasi sering kali berhenti di permukaan: seragam ganti desain, logo lebih modern, jargon lebih catchy, tapi masalah tetap klasik — pungli di jalan, kriminalitas tak tuntas, penanganan hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas.

Maka, saat netizen menyandingkan polisi dengan Kamen Rider, itu bukan sekadar lelucon estetika. Itu sindiran kolektif. Pesan tersiratnya jelas: "Kalau mau bergaya pahlawan, setidaknya perbaiki dulu kinerjanya."

Ketika Institusi Jadi Konten, Siapa yang Jaga Rakyat?

Ada fenomena menarik dalam strategi komunikasi publik modern: institusi bukan lagi sekadar pelaksana tugas, tapi juga produsen konten. Polisi bukan lagi hanya petugas hukum, tapi juga influencer dengan akun resmi di setiap platform, lengkap dengan editor video, fotografer profesional, bahkan tim kreatif.

Pertanyaannya sederhana tapi getir: saat energi dihabiskan untuk membuat video gimmick, siapa yang turun ke lapangan? Saat polisi sibuk latihan pose heroik untuk syuting, siapa yang menyelidiki kasus penipuan, pembunuhan, atau kekerasan?

Boleh saja ada yang berdalih, "Ini bagian dari pendekatan humanis, biar masyarakat dekat dengan aparat." Tapi rakyat kita bukan anak-anak yang mudah terpukau dengan animasi bersayap api. Mereka lebih butuh tindakan konkret: rasa aman yang nyata, perlindungan yang konsisten, dan penegakan hukum yang tidak tebang pilih.

Akhirnya, Rakyat Hanya Bisa Ketawa... Pahit

Gimmick ini menunjukkan satu hal: ketika institusi gagal memperbaiki citra lewat perbaikan kinerja, maka yang dilakukan adalah mengalihkan perhatian dengan hiburan visual. Tapi seperti pepatah lama berkata, "Kertas kado tak akan menyembunyikan isi hadiah yang kosong."

Dan rakyat kita, yang sudah terlalu sering dikecewakan, memilih cara paling elegan untuk menanggapi: roasting berjamaah di kolom komentar, meme-meme sarkastik, hingga editan foto kocak yang lebih viral dari pesan aslinya.

Sebagai rakyat, kita cuma bisa tertawa getir. Karena di balik tawa itu, ada kesadaran kolektif bahwa di negeri ini, transformasi sesungguhnya belum pernah benar-benar terjadi.

Polisi mungkin bisa bergaya bak Kamen Rider, tapi rakyat tetap berharap mereka berubah seperti konsep asli Tokusatsu: bukan sekadar berganti kostum, tapi benar-benar hadir sebagai pelindung keadilan.

Sampai hari itu datang, kita hanya bisa bilang:

"Henshin? Mungkin. Tapi substansi? Masih ditunggu."

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...