Skip to main content

Sudut Pandang Itu Murah, Tapi Kebohongan Publik Bayarannya Mahal

Dalam dunia yang katanya serba transparan, satu hal tetap gelap gulita: niat di balik lensa. Dua foto yang viral—satu diambil dari samping, satunya lagi dari depan—menjadi cermin menyakitkan tentang bagaimana sesuatu yang seharusnya sederhana bisa didandani menjadi dramatis, kacau, bahkan menyesatkan. Sekelompok orang berdiri di trotoar kota. Dari samping? Biasa saja, orang-orang jalan santai. Dari depan? Mendadak terlihat seperti barisan panjang penuh kecemasan. Dua realitas, satu lokasi, beda narasi.

Lalu seseorang berseru, “Itu hanya teknik fotografi!” Benar. Tapi hari ini, teknik semacam itu bukan cuma dipakai fotografer. Ia dipakai oleh yang lebih lihai: jurnalis nakal—makhluk berkamera dan pena, tapi lebih mirip dalang tukang gaduh ketimbang pencari fakta.

Judul Memekakkan, Isi Menyesatkan

Pernahkah Anda membuka berita dan merasa seperti baru saja ditampar oleh judulnya?

“MENGEJUTKAN! Tokoh X Sebut Y Adalah Z!”

Padahal isi beritanya? Sama mengejutkannya dengan cuaca mendung saat musim hujan. Tapi begitulah media hari ini: sensasi dulu, akurasi belakangan. Yang penting klik. Yang penting ramai. Yang penting viral. Kalau bisa bikin netizen ribut dua minggu, itu sudah prestasi redaksi.

Jurnalis jenis ini bukan kekurangan informasi. Mereka kekurangan integritas. Bukan tidak tahu mana fakta dan mana drama, tapi memang memilih drama. Karena dalam dunia klik dan rating, kejujuran dianggap terlalu membosankan.

Redaksi sebagai Teater Kegaduhan

Hari ini, ruang redaksi di beberapa media tak ubahnya panggung sandiwara. Wartawan bukan lagi pengumpul kebenaran, melainkan penata skenario. Editor bukan lagi penjaga mutu berita, tapi sutradara emosi publik.

Satu kutipan dipotong. Satu angle dipilih. Satu istilah dipelintir. Maka terciptalah narasi yang menggelegar, penuh bara, siap membakar percakapan warung kopi dan grup WhatsApp keluarga.

Dan ketika kebohongan itu mulai menggigit masyarakat bawah, ketika provokasi itu berbuah perpecahan—mereka akan berkata: “Kami hanya menyampaikan fakta.” Ya, fakta yang sudah digiling, dibumbui, dan disajikan ala drama dapur infotainment.

Dari Mikrofon ke Megafon Kebencian

Media mestinya menjadi mikrofon bagi suara rakyat. Tapi sebagian malah menjadi megafon untuk para provokator elite. Mereka menyuarakan apa yang diinginkan pemilik modal, menyembunyikan apa yang bisa mengguncang relasi bisnis, dan menciptakan kabut narasi untuk menutupi bau busuk kekuasaan.

Dan parahnya, jurnalis semacam ini merasa diri pahlawan. Mereka berdiri di atas tumpukan berita palsu sambil mengibarkan bendera “kebebasan pers.” Padahal, yang mereka lakukan bukan membebaskan informasi, tapi memenjarakan logika publik.

Kebenaran Dikorbankan demi Traffic

Kita hidup di zaman di mana kebenaran bukan prioritas—algoritma adalah tuan yang sebenarnya. Jurnalis tidak lagi menulis untuk mencerdaskan. Mereka menulis untuk menyenangkan mesin pencari.

Ingin bukti? Perhatikan bagaimana satu isu bisa dipelintir menjadi dua kubu yang saling membenci. Bagaimana satu tragedi bisa dimanfaatkan sebagai konten beruntun yang memecah empati publik. Bagaimana satu peristiwa kecil bisa dipoles hingga jadi skandal nasional—semua demi angka di dashboard Google Analytics.

Mereka tidak peduli jika narasi yang mereka bangun menciptakan polarisasi. Toh, yang penting grafis “trending” di pojok layar merah menyala. Mereka lupa, bahwa di balik setiap berita yang dipelintir, ada kerusakan sosial yang nyata. Dan sayangnya, yang jadi korban bukan pembuat narasi—tapi rakyat jelata yang terlalu percaya pada media “resmi.”

Jurnalis atau Jubir?

Dalam konteks politik, sebagian jurnalis telah menjelma jadi juru bicara yang tak resmi tapi sangat efektif. Mereka tahu siapa yang harus dibela, siapa yang harus dijatuhkan. Berita pun dikemas sesuai kepentingan, bukan kebenaran.

Media jenis ini tak jauh beda dari buzzer, hanya lebih bergaya dan dibayar lebih mahal. Mereka bisa membunuh karakter seseorang lewat frasa, bisa menyulap pelaku jadi korban hanya dengan satu paragraf, dan bisa membuat kebohongan tampak suci karena dibacakan dengan gaya “obyektif.”

Ini bukan lagi soal etik jurnalistik. Ini soal moral manusia. Karena tak ada yang lebih memuakkan daripada orang yang tahu dia berbohong, tapi tetap menyebutnya ‘informasi’.

Menolak Jadi Korban Framing

Foto dua dimensi yang kita lihat di awal tulisan ini adalah pengingat keras: realitas bisa dipelintir dengan sangat mudah. Dan dalam tangan yang salah, media bisa lebih berbahaya dari senjata api.

Maka kita, publik, harus lebih waspada. Jangan telan mentah-mentah berita hanya karena logonya terkenal. Jangan terhipnotis oleh narasi hanya karena tampilannya profesional. Karena di balik tiap kata yang diketik dengan penuh “keberpihakan terselubung,” bisa jadi ada bom waktu sosial yang siap meledak kapan saja.

Sudut pandang bisa dibeli. Tapi kesadaran kritis harus diperjuangkan. Jangan biarkan pena yang busuk menulis sejarah kita. Dan jangan biarkan jurnalis nakal merasa aman di balik kredensial pers.

Sudah cukup kita dibohongi dengan gaya yang sopan. Saatnya berkata: kalau tak bisa jujur, setidaknya jangan pura-pura objektif.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...