Skip to main content

Posts

Negara Itu Ibu, Pemerintah Itu Penjaga Warung

  Negara Itu Rumah, Bukan Milik Pemerintah Ada kalimat yang sering terlontar di ruang diskusi, unggahan sosial media, bahkan dalam bisik-bisik warung kopi: “Saya mencintai negara ini, tapi tidak dengan pemerintahnya.” Dan seperti biasa, akan selalu ada yang buru-buru merasa tersinggung. Katanya, kalau tak hormat pada pemimpin, berarti tak cinta tanah air. Seolah negara ini identik dengan penguasa, seolah mencintai negeri ini artinya wajib menyembah yang sedang duduk di kursi kekuasaan. Padahal, logika paling dasar pun tahu: negara dan pemerintah bukan satu paket yang tak terpisah. Negara dan Pemerintah: Dua Entitas, Dua Sifat Negara adalah tanah, rakyat, bahasa, sejarah, luka-luka kolektif, dan cita-cita bersama yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia adalah rumah besar yang kita tinggali, yang kita bela, dan yang kita perjuangkan, bahkan ketika cat temboknya mulai mengelupas dan atapnya bocor. Pemerintah? Hanyalah penghuni sementara rumah itu. Mereka bukan pemilik, b...
Recent posts

Apakah Kita Sudah Merdeka? Sebuah Cerita tentang Harapan yang Belum Tuntas

Ketika para pendiri bangsa duduk di bawah cahaya lampu minyak, menyusun naskah kemerdekaan dengan tangan gemetar dan hati menyala, mereka tidak hanya memimpikan sebuah negara yang bebas dari penjajahan. Mereka membayangkan sebuah tanah air di mana setiap anak bisa tumbuh tanpa rasa takut, di mana petani bisa memanen hasilnya tanpa dihimpit oleh harga yang tak masuk akal, dan di mana hukum berdiri tegak, bukan membungkuk di hadapan kekuasaan. Bung Karno pernah berkata,  “Kemerdekaan hanyalah jembatan emas.”  Ia tahu, kemerdekaan bukan tujuan akhir, melainkan awal dari perjuangan panjang menuju keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Tapi delapan puluh tahun lebih berlalu, dan kita masih berdiri di ujung jembatan itu, belum benar-benar menyeberang. Di desa-desa, petani masih menunduk bukan karena hormat, tapi karena beban hidup yang tak kunjung ringan. Mereka menanam padi di tanah yang semakin sempit, bersaing dengan proyek-proyek besar yang datang membawa janji, tapi pergi me...

Indonesia di Antara Konoha, Bajak Laut Topi Jerami, dan Wakanda yang Kita Ciptakan Sendiri

  Ada momen menarik di dunia maya yang mungkin bagi sebagian orang hanya sekadar hiburan, tetapi sebenarnya menyimpan ironi besar: Indonesia disebut sebagai Konoha, bendera bajak laut Topi Jerami berkibar di bawah Sang Saka Merah Putih, dan Wakanda yang muncul bukan di Afrika fiksi, tetapi di imajinasi para netizen lokal. Di titik ini, rasanya kita sedang hidup di sebuah negeri yang identitasnya semakin kabur antara realitas dan meme. Menyebut Indonesia sebagai Konoha bukan hal baru. Netizen sudah lama gemar membungkus frustrasi politik dengan referensi anime, karena menyebut langsung nama tokoh bisa berisiko, sementara memanggil “Hokage” terasa lebih aman dan bahkan mengundang tawa. Konoha adalah desa ninja yang tampak damai di permukaan, tetapi di dalamnya penuh intrik: kudeta keluarga sendiri, konspirasi militer, eksperimen rahasia, sampai ninja pengkhianat yang kabur dan malah jadi tokoh penting di luar. Rasanya familier? Seolah kita benar-benar tinggal di desa yang penuh “jur...

Lambaikan Tangan ke Kamera, Pak. Uji Nyalinya Sudah Cukup.

  Tahun 2002, televisi Indonesia mengenalkan kita pada sebuah acara realitas yang memadukan hiburan, rasa takut, dan keingintahuan kolektif: Dunia Lain . Peserta diminta bermalam di lokasi angker, sendirian, ditemani kamera infra merah dan alat komunikasi sekenanya. Jika mereka tidak kuat, mereka cukup melambaikan tangan ke kamera. Itu saja. Sinyal universal untuk menyerah. Isyarat bahwa batas sudah dilewati, bahwa keberanian harus digantikan dengan kesadaran: saya tidak sanggup. Dua dekade kemudian, rakyat Indonesia duduk di ruang tamu, menyaksikan tayangan yang jauh lebih absurd: Dunia Nyata . Isinya bukan hantu, melainkan pemerintah yang berakting seolah tak ada yang salah. Padahal aroma kegagalan sudah seperti bau anyir dari kulkas mati. Mari kita mulai dari episode favorit rezim saat ini: Makan Bergizi Gratis (MBG) . Program ini katanya dibuat untuk memberantas stunting — penyakit kronis hasil dari kemiskinan struktural dan kegagalan gizi lintas generasi. Tapi bagaimana ca...

Merah Putih: One For All — Nasionalisme Rasa Mi Instan

  Film animasi Merah Putih: One For All lahir dengan premis yang di atas kertas terdengar megah: delapan bocah dari suku Betawi, Papua, Medan, Jawa Tengah, Tegal (bukannya ini di Jawa Tengah juga ya?), Makassar, Manado, dan Tionghoa, bersatu padu menyelamatkan bendera pusaka menjelang 17 Agustus. Masalahnya, bendera ini cuma Merah Putih biasa, yang di dunia nyata bisa dibeli di Shopee atau Tokopedia pakai gratis ongkir. Tapi di tangan pembuatnya, ia dijadikan simbol nasionalisme membara. Hasilnya, visual kaku, dialog seperti teks pidato, dan tempo cerita seperti nafas orang bengek. Trailer dirilis 8–9 Agustus 2025 dan langsung dibanjiri kritik. Tanggal rilis bioskop adalah 14 Agustus 2025, tiga hari sebelum HUT ke-80 RI. Kalau ini lomba lari estafet, mereka bukan cuma sprint, tapi sprint sambil bawa batu di punggung. Respons warganet tidak ada rem. Ada yang bilang grafisnya mirip “grafis keluarga Somat”, ada yang menyebut ini “tugas PPKn anak SMA yang dikerjakan seminggu sebelum d...

Mereka yang Tak Pernah Mengucapkan Maaf: Warisan Sunyi dari Orang Tua Kita

  Ada yang hilang di antara kita dan orang tua kita — mereka yang lahir di era 1940-an dan 1950-an. Bukan karena mereka tak menyayangi kita. Bukan pula karena mereka tak menginginkan kita bahagia. Tapi ada tembok tebal yang seolah membatasi aliran kasih itu dari hati mereka ke hati kita. Tembok yang dibangun bukan dari batu bata, tapi dari gengsi, ego, dan luka zaman yang tak pernah sembuh. Pelukan, kata sayang, atau sekadar sentuhan hangat? Itu nyaris menjadi kemewahan yang langka di masa kecil kita. Kata-kata sederhana seperti “maaf”, “tolong”, dan “terima kasih” seolah terlalu mahal untuk diucapkan kepada anak-anaknya sendiri. Bagi mereka, mengaku salah adalah menistakan martabat. Meminta tolong kepada anak adalah menurunkan wibawa. Mengucapkan terima kasih? Ah, bukankah menolong orang tua itu kewajiban anak, jadi untuk apa diucapkan? Mereka merasa sudah cukup membayar semua itu — dengan menyediakan rumah untuk berteduh, nasi untuk mengisi perut, pakaian untuk menutup tubuh. Sel...

Irlandia, Darah, dan Seni: Ketika Sejarah Tidak Pernah Mati

  Ada sesuatu yang sangat kelam namun memesona tentang Irlandia Utara. Seperti luka lama yang tak sembuh tapi justru melahirkan puisi. Dunia mengenalnya dengan nama yang cukup halus untuk menyamarkan bau mesiu: The Troubles . Tapi jangan tertipu. Tak ada yang lembut dari 30 tahun penuh kekacauan, ledakan bom, dan darah yang tumpah di jalan-jalan Belfast. Konflik ini, bagi sebagian orang, adalah pertikaian antara Katolik dan Protestan. Bagi yang lain, ini soal kolonialisme Inggris yang belum selesai. Tapi pada dasarnya, The Troubles adalah cerita tentang dua identitas yang tidak mau hidup berdampingan dalam bingkai politik yang sama—Unionis yang ingin tetap dalam pelukan Britania Raya, dan Nasionalis yang menginginkan penyatuan dengan Republik Irlandia. Dan di tengahnya: tentara Inggris, agen rahasia, dan generasi yang tumbuh besar dengan suara ledakan sebagai pengantar tidur. Tapi yang menarik adalah bagaimana tragedi ini justru menghasilkan karya-karya seni yang luar biasa. Irlan...