Zaman dulu, saat dunia masih terbakar oleh Perang Dunia II, ada satu pertanyaan sederhana yang bikin para ahli militer garuk-garuk kepala: “Gimana caranya bikin pesawat tempur kita lebih tahan tembak?” Mereka lalu melakukan hal yang terdengar masuk akal — menganalisis pesawat-pesawat yang berhasil pulang dari medan perang. Jadi setiap kali ada pesawat yang kembali, mereka catat di mana saja si pesawat ini bolong tertembak peluru musuh. Mereka bikin peta besar-besaran dengan titik-titik merah di badan pesawat. Dan hasilnya? Ada pola yang jelas. Mayoritas lubang peluru berada di bagian sayap, ekor, dan sebagian besar badan pesawat. Langkah logis selanjutnya? Tambahin lapisan baja di bagian-bagian yang paling banyak bolongnya itu. Toh, kalau itu yang paling sering kena tembak, berarti itu yang paling butuh perlindungan ekstra, kan? Tapi tunggu dulu. Di sinilah muncul satu nama yang belakangan jadi legenda di dunia statistik: Abraham Wald . Wald bukan tentara. Dia bukan insinyur pesawa...
Bayangkan langit berwarna tembaga. Awan-awan menggantung seperti firasat. Dan dunia, yang dahulu bernyanyi dalam simfoni diplomasi, kini memetik nada-nada terakhir sebelum senyap yang sangat panjang. Ini bukan permulaan kisah, ini adalah bab yang tertunda—perang yang tak lagi butuh deklarasi, hanya pemantik dan sedikit kegilaan. Dan di tengah pusaran sejarah, berdirilah dua tiang api: Iran dan Israel . Bukan sekadar dua negara, tapi dua dunia. Dua narasi. Dua kesumat. Dua alasan bagi dunia untuk mengulangi neraka yang dulu pernah disesali, tapi tak pernah benar-benar dipelajari. Blok-Barat: Mereka yang Berdiri Bersama Israel, Karena Tak Berani Sendiri Amerika. Selalu Amerika. Seperti dewa tua yang letih, tapi tetap ingin mengatur takdir. Mereka menggenggam Israel bukan karena cinta, tapi karena perjanjian, lobi, dan rasa takut. Takut kehilangan kendali. Takut dunia menemukan tatanan baru. Inggris, Prancis, Jerman — seperti orkestra klasik yang dipaksa memainkan lagu perang baru. ...