Skip to main content

Posts

Lubang Peluru, Pesawat Tempur, dan Apa yang Nggak Kita Lihat

Zaman dulu, saat dunia masih terbakar oleh Perang Dunia II, ada satu pertanyaan sederhana yang bikin para ahli militer garuk-garuk kepala: “Gimana caranya bikin pesawat tempur kita lebih tahan tembak?” Mereka lalu melakukan hal yang terdengar masuk akal — menganalisis pesawat-pesawat yang berhasil pulang dari medan perang. Jadi setiap kali ada pesawat yang kembali, mereka catat di mana saja si pesawat ini bolong tertembak peluru musuh. Mereka bikin peta besar-besaran dengan titik-titik merah di badan pesawat. Dan hasilnya? Ada pola yang jelas. Mayoritas lubang peluru berada di bagian sayap, ekor, dan sebagian besar badan pesawat. Langkah logis selanjutnya? Tambahin lapisan baja di bagian-bagian yang paling banyak bolongnya itu. Toh, kalau itu yang paling sering kena tembak, berarti itu yang paling butuh perlindungan ekstra, kan? Tapi tunggu dulu. Di sinilah muncul satu nama yang belakangan jadi legenda di dunia statistik: Abraham Wald . Wald bukan tentara. Dia bukan insinyur pesawa...
Recent posts

Jika Dunia Terbakar: Sebuah Narasi tentang Perang Dunia III yang Mengintai

  Bayangkan langit berwarna tembaga. Awan-awan menggantung seperti firasat. Dan dunia, yang dahulu bernyanyi dalam simfoni diplomasi, kini memetik nada-nada terakhir sebelum senyap yang sangat panjang. Ini bukan permulaan kisah, ini adalah bab yang tertunda—perang yang tak lagi butuh deklarasi, hanya pemantik dan sedikit kegilaan. Dan di tengah pusaran sejarah, berdirilah dua tiang api: Iran dan Israel . Bukan sekadar dua negara, tapi dua dunia. Dua narasi. Dua kesumat. Dua alasan bagi dunia untuk mengulangi neraka yang dulu pernah disesali, tapi tak pernah benar-benar dipelajari. Blok-Barat: Mereka yang Berdiri Bersama Israel, Karena Tak Berani Sendiri Amerika. Selalu Amerika. Seperti dewa tua yang letih, tapi tetap ingin mengatur takdir. Mereka menggenggam Israel bukan karena cinta, tapi karena perjanjian, lobi, dan rasa takut. Takut kehilangan kendali. Takut dunia menemukan tatanan baru. Inggris, Prancis, Jerman — seperti orkestra klasik yang dipaksa memainkan lagu perang baru. ...

Dari Mengayomi ke Menggimmick: Ketika Seragam Polisi Lebih Mirip Kostum Tokusatsu

  Di negeri ini, ada dua hal yang selalu sukses memancing gelak tawa netizen tanpa harus bayar stand-up comedian: kebijakan pemerintah yang absurd, dan konten gimmick aparat berseragam. Kali ini, bintang utamanya datang dari institusi yang harusnya jadi pelindung rakyat, penjaga ketertiban, sekaligus simbol ketegasan hukum: Kepolisian. Tapi entah sejak kapan, seragam dinas yang dulu identik dengan wibawa, perlahan bergeser jadi bahan meme, cosplay tidak resmi, bahkan konten viral yang lebih layak masuk timeline Instagram ketimbang ruang sidang. "Mengayomi Tanpa Henti?" atau "Menghibur Tanpa Akal Sehat?" Coba kita telaah gambar yang beredar ini. Di latar belakang, ada burung Garuda bergaya Phoenix yang bersinar gagah, seolah habis menetas dari telur kebijakan publik yang katanya "reformasi." Barisan polisi berdiri dengan pose heroik, dada membusung, tangan mengepal, siap mengayomi… setidaknya dalam video. Tapi, alih-alih menghadirkan rasa aman, gambar itu ...

Dari Ojol ke Jurang: Ketika Negara Gagal Menyediakan Pekerjaan Formal

  Ketika driver ojek online memadati jalanan, bukan hanya penumpang yang mereka angkut. Mereka juga membawa beban berat dari sistem ekonomi yang pincang. Pekerjaan yang mestinya bersifat informal dan fleksibel, kini diperlakukan seolah-olah formal, namun tanpa perlindungan apapun dari negara maupun aplikator. Masalah ini bukan sekadar soal tarif potongan yang mencekik atau insentif yang semakin tak masuk akal. Akar permasalahan lebih dalam: kurangnya pekerjaan formal yang layak di Indonesia . Karena kekosongan inilah, jutaan orang akhirnya terjerembab ke gig economy sebagai jalan keluar instan. Sayangnya, jalan keluar ini tak pernah dimaksudkan untuk jadi fondasi kehidupan. Pekerjaan Formal yang Makin Menghilang Di negara dengan struktur ekonomi kuat, sektor formal seperti manufaktur dan jasa produktif menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Mereka menawarkan kontrak kerja, jaminan sosial, hak cuti, dan perlindungan hukum. Namun di Indonesia, sektor ini tak kunjung tumbuh kokoh....

Sudut Pandang Itu Murah, Tapi Kebohongan Publik Bayarannya Mahal

Dalam dunia yang katanya serba transparan, satu hal tetap gelap gulita: niat di balik lensa. Dua foto yang viral—satu diambil dari samping, satunya lagi dari depan—menjadi cermin menyakitkan tentang bagaimana sesuatu yang seharusnya sederhana bisa didandani menjadi dramatis, kacau, bahkan menyesatkan. Sekelompok orang berdiri di trotoar kota. Dari samping? Biasa saja, orang-orang jalan santai. Dari depan? Mendadak terlihat seperti barisan panjang penuh kecemasan. Dua realitas, satu lokasi, beda narasi. Lalu seseorang berseru, “Itu hanya teknik fotografi!” Benar. Tapi hari ini, teknik semacam itu bukan cuma dipakai fotografer. Ia dipakai oleh yang lebih lihai: jurnalis nakal —makhluk berkamera dan pena, tapi lebih mirip dalang tukang gaduh ketimbang pencari fakta. Judul Memekakkan, Isi Menyesatkan Pernahkah Anda membuka berita dan merasa seperti baru saja ditampar oleh judulnya? “MENGEJUTKAN! Tokoh X Sebut Y Adalah Z!” Padahal isi beritanya? Sama mengejutkannya dengan cuaca mend...

Kargo Kesepian di Langit Barat Daya: Refleksi Satir Tentang Dunia yang Tak Lagi Netral

Di antara lautan logam bersayap yang terbang menghindar seperti anak-anak TK menghindari kerupuk sayur lodeh di jam makan siang, ada satu pesawat yang mencolok. Sebuah burung besi kesepian, terbang menembus ruang udara Iran yang sepi dari keramaian komersial. Tidak ada Emirates. Tidak ada Turkish Airlines. Tidak ada Singapore Airlines. Hanya satu—sebuah kargo China yang melintasi zona yang bahkan satelit pun mungkin memilih untuk menghindar. Foto ini viral. Bukan karena keindahannya, tapi karena absurditasnya. Sebuah titik keberanian—atau mungkin kenekadan—di antara kepengecutan yang global. Dan dunia diam. Tak satu pun misil dilepaskan. Tak satu pun tombol merah ditekan. Itu bukan karena kasih sayang. Tapi karena pesawat itu bukan siapa-siapa—atau justru karena dia "seseorang" yang lebih dari sekadar siapa-siapa. “That one lonely Chinese cargo plane no one’s got the guts to shoot down.” Kalimat ini bisa masuk kategori puisi, doa, atau ejekan. Di dunia tempat manusia diger...

Masa Kita Sudah Selesai: Sebuah Elegi untuk Mereka yang Pernah Menemani

Ada masa ketika hari Minggu pagi adalah puncak dari seluruh minggu. Saat suara khas pembuka Dragon Ball mengalun dari televisi tabung, saat sinyal UHF kita perjuangkan dengan antena gantungan baju, dan kita duduk bersila di lantai sambil makan roti tawar dan susu kental manis. Kita tidak punya Netflix, tidak punya streaming HD, tapi kita punya Goku — dan itu sudah cukup. Ada masa ketika Naruto bukan sekadar ninja, tapi perwakilan dari harapan kita sendiri. Harapan bahwa meski diremehkan, ditertawakan, dijauhi, kita bisa jadi sesuatu. Kita bisa berguna. Kita bisa diakui. Kita tumbuh bersamanya. Kita tahu rasanya sepi. Kita tahu rasanya tidak dianggap. Dan ketika akhirnya dia menikah dan jadi Hokage... entah kenapa, kita merasa seperti seorang sahabat yang diam-diam menangis di pesta pernikahan. Kita juga punya Luffy — si bodoh keras kepala yang punya impian mustahil: menemukan harta karun legendaris yang bahkan bentuknya tidak ada yang tahu. Tapi kita ikuti dia, bab demi bab, episode...