Ada kalanya sejarah ditulis bukan oleh tank, bukan oleh jet tempur, tapi oleh perahu-perahu kecil yang berani menabrak ombak politik. Global Sumud Flotilla bukan sekadar iring-iringan kapal; ia adalah tamparan keras kepada dunia, khususnya kepada para raja dan emir Arab yang duduk di kursi empuk, membiarkan Gaza berlumuran darah sementara mereka sibuk menata ghutrah agar tidak kusut di depan kamera. Para relawan dari puluhan negara berangkat membawa hal-hal remeh bagi standar istana: bahan makanan pokok, susu bayi, obat-obatan generik hingga alat penyaring air. Barang-barang yang di negeri para raja bisa dibeli sekali swipe kartu platinum, tapi di Gaza bisa menjadi garis tipis antara hidup dan mati. Mereka tahu kapal bisa ditembaki drone, bisa dihalangi kapal perang, bisa dibombardir propaganda. Tapi mereka tetap berangkat. Karena dalam kamus nurani, keberanian tidak menunggu konferensi pers, ia menunggu laut terbuka. Sementara itu, apa kabar para pemimpin Arab? Mereka masih sib...
Masjid, yang seharusnya jadi rumah sunyi bagi doa dan dzikir, tiba-tiba jadi panggung glamor untuk politikus dengan rekam jejak yang lebih cocok dipajang di papan meme ketimbang di kitab sirah. Bayangkan, Bahlil Lahadalia—sosok yang namanya kerap muncul di berita karena urusan gelar S2 yang kabur kabarnya, kebijakan investasi yang bikin rakyat kecil megap-megap, dan foto viral bersama botol minuman dewasa, sekarang diangkat jadi Ketua Dewan Pembina Pemuda Masjid Dunia. Pertanyaannya sederhana: apa yang dilihat oleh para formatur rapat di Singapura selain fatamorgana politik? Masjid sebagai Etalase Citra Keterangan resmi berbunyi manis: Bahlil dipilih karena “peduli organisasi pemuda masjid” dan “aktif membantu Palestina, Rohingya, hingga Thailand Selatan.” Klaim yang terdengar seperti brosur motivasi MLM: penuh jargon, minim verifikasi. Masjid, yang seharusnya jadi tempat pembinaan akhlak, dijadikan etalase citra. Cukup tunjuk satu nama pejabat, kasih embel-embel “peduli umat,” lal...