Negara Itu Rumah, Bukan Milik Pemerintah Ada kalimat yang sering terlontar di ruang diskusi, unggahan sosial media, bahkan dalam bisik-bisik warung kopi: “Saya mencintai negara ini, tapi tidak dengan pemerintahnya.” Dan seperti biasa, akan selalu ada yang buru-buru merasa tersinggung. Katanya, kalau tak hormat pada pemimpin, berarti tak cinta tanah air. Seolah negara ini identik dengan penguasa, seolah mencintai negeri ini artinya wajib menyembah yang sedang duduk di kursi kekuasaan. Padahal, logika paling dasar pun tahu: negara dan pemerintah bukan satu paket yang tak terpisah. Negara dan Pemerintah: Dua Entitas, Dua Sifat Negara adalah tanah, rakyat, bahasa, sejarah, luka-luka kolektif, dan cita-cita bersama yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia adalah rumah besar yang kita tinggali, yang kita bela, dan yang kita perjuangkan, bahkan ketika cat temboknya mulai mengelupas dan atapnya bocor. Pemerintah? Hanyalah penghuni sementara rumah itu. Mereka bukan pemilik, b...
Ketika para pendiri bangsa duduk di bawah cahaya lampu minyak, menyusun naskah kemerdekaan dengan tangan gemetar dan hati menyala, mereka tidak hanya memimpikan sebuah negara yang bebas dari penjajahan. Mereka membayangkan sebuah tanah air di mana setiap anak bisa tumbuh tanpa rasa takut, di mana petani bisa memanen hasilnya tanpa dihimpit oleh harga yang tak masuk akal, dan di mana hukum berdiri tegak, bukan membungkuk di hadapan kekuasaan. Bung Karno pernah berkata, “Kemerdekaan hanyalah jembatan emas.” Ia tahu, kemerdekaan bukan tujuan akhir, melainkan awal dari perjuangan panjang menuju keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Tapi delapan puluh tahun lebih berlalu, dan kita masih berdiri di ujung jembatan itu, belum benar-benar menyeberang. Di desa-desa, petani masih menunduk bukan karena hormat, tapi karena beban hidup yang tak kunjung ringan. Mereka menanam padi di tanah yang semakin sempit, bersaing dengan proyek-proyek besar yang datang membawa janji, tapi pergi me...