Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2025

Negara Itu Ibu, Pemerintah Itu Penjaga Warung

  Negara Itu Rumah, Bukan Milik Pemerintah Ada kalimat yang sering terlontar di ruang diskusi, unggahan sosial media, bahkan dalam bisik-bisik warung kopi: “Saya mencintai negara ini, tapi tidak dengan pemerintahnya.” Dan seperti biasa, akan selalu ada yang buru-buru merasa tersinggung. Katanya, kalau tak hormat pada pemimpin, berarti tak cinta tanah air. Seolah negara ini identik dengan penguasa, seolah mencintai negeri ini artinya wajib menyembah yang sedang duduk di kursi kekuasaan. Padahal, logika paling dasar pun tahu: negara dan pemerintah bukan satu paket yang tak terpisah. Negara dan Pemerintah: Dua Entitas, Dua Sifat Negara adalah tanah, rakyat, bahasa, sejarah, luka-luka kolektif, dan cita-cita bersama yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia adalah rumah besar yang kita tinggali, yang kita bela, dan yang kita perjuangkan, bahkan ketika cat temboknya mulai mengelupas dan atapnya bocor. Pemerintah? Hanyalah penghuni sementara rumah itu. Mereka bukan pemilik, b...

Apakah Kita Sudah Merdeka? Sebuah Cerita tentang Harapan yang Belum Tuntas

Ketika para pendiri bangsa duduk di bawah cahaya lampu minyak, menyusun naskah kemerdekaan dengan tangan gemetar dan hati menyala, mereka tidak hanya memimpikan sebuah negara yang bebas dari penjajahan. Mereka membayangkan sebuah tanah air di mana setiap anak bisa tumbuh tanpa rasa takut, di mana petani bisa memanen hasilnya tanpa dihimpit oleh harga yang tak masuk akal, dan di mana hukum berdiri tegak, bukan membungkuk di hadapan kekuasaan. Bung Karno pernah berkata,  “Kemerdekaan hanyalah jembatan emas.”  Ia tahu, kemerdekaan bukan tujuan akhir, melainkan awal dari perjuangan panjang menuju keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Tapi delapan puluh tahun lebih berlalu, dan kita masih berdiri di ujung jembatan itu, belum benar-benar menyeberang. Di desa-desa, petani masih menunduk bukan karena hormat, tapi karena beban hidup yang tak kunjung ringan. Mereka menanam padi di tanah yang semakin sempit, bersaing dengan proyek-proyek besar yang datang membawa janji, tapi pergi me...

Indonesia di Antara Konoha, Bajak Laut Topi Jerami, dan Wakanda yang Kita Ciptakan Sendiri

  Ada momen menarik di dunia maya yang mungkin bagi sebagian orang hanya sekadar hiburan, tetapi sebenarnya menyimpan ironi besar: Indonesia disebut sebagai Konoha, bendera bajak laut Topi Jerami berkibar di bawah Sang Saka Merah Putih, dan Wakanda yang muncul bukan di Afrika fiksi, tetapi di imajinasi para netizen lokal. Di titik ini, rasanya kita sedang hidup di sebuah negeri yang identitasnya semakin kabur antara realitas dan meme. Menyebut Indonesia sebagai Konoha bukan hal baru. Netizen sudah lama gemar membungkus frustrasi politik dengan referensi anime, karena menyebut langsung nama tokoh bisa berisiko, sementara memanggil “Hokage” terasa lebih aman dan bahkan mengundang tawa. Konoha adalah desa ninja yang tampak damai di permukaan, tetapi di dalamnya penuh intrik: kudeta keluarga sendiri, konspirasi militer, eksperimen rahasia, sampai ninja pengkhianat yang kabur dan malah jadi tokoh penting di luar. Rasanya familier? Seolah kita benar-benar tinggal di desa yang penuh “jur...

Lambaikan Tangan ke Kamera, Pak. Uji Nyalinya Sudah Cukup.

  Tahun 2002, televisi Indonesia mengenalkan kita pada sebuah acara realitas yang memadukan hiburan, rasa takut, dan keingintahuan kolektif: Dunia Lain . Peserta diminta bermalam di lokasi angker, sendirian, ditemani kamera infra merah dan alat komunikasi sekenanya. Jika mereka tidak kuat, mereka cukup melambaikan tangan ke kamera. Itu saja. Sinyal universal untuk menyerah. Isyarat bahwa batas sudah dilewati, bahwa keberanian harus digantikan dengan kesadaran: saya tidak sanggup. Dua dekade kemudian, rakyat Indonesia duduk di ruang tamu, menyaksikan tayangan yang jauh lebih absurd: Dunia Nyata . Isinya bukan hantu, melainkan pemerintah yang berakting seolah tak ada yang salah. Padahal aroma kegagalan sudah seperti bau anyir dari kulkas mati. Mari kita mulai dari episode favorit rezim saat ini: Makan Bergizi Gratis (MBG) . Program ini katanya dibuat untuk memberantas stunting — penyakit kronis hasil dari kemiskinan struktural dan kegagalan gizi lintas generasi. Tapi bagaimana ca...

Merah Putih: One For All — Nasionalisme Rasa Mi Instan

  Film animasi Merah Putih: One For All lahir dengan premis yang di atas kertas terdengar megah: delapan bocah dari suku Betawi, Papua, Medan, Jawa Tengah, Tegal (bukannya ini di Jawa Tengah juga ya?), Makassar, Manado, dan Tionghoa, bersatu padu menyelamatkan bendera pusaka menjelang 17 Agustus. Masalahnya, bendera ini cuma Merah Putih biasa, yang di dunia nyata bisa dibeli di Shopee atau Tokopedia pakai gratis ongkir. Tapi di tangan pembuatnya, ia dijadikan simbol nasionalisme membara. Hasilnya, visual kaku, dialog seperti teks pidato, dan tempo cerita seperti nafas orang bengek. Trailer dirilis 8–9 Agustus 2025 dan langsung dibanjiri kritik. Tanggal rilis bioskop adalah 14 Agustus 2025, tiga hari sebelum HUT ke-80 RI. Kalau ini lomba lari estafet, mereka bukan cuma sprint, tapi sprint sambil bawa batu di punggung. Respons warganet tidak ada rem. Ada yang bilang grafisnya mirip “grafis keluarga Somat”, ada yang menyebut ini “tugas PPKn anak SMA yang dikerjakan seminggu sebelum d...

Mereka yang Tak Pernah Mengucapkan Maaf: Warisan Sunyi dari Orang Tua Kita

  Ada yang hilang di antara kita dan orang tua kita — mereka yang lahir di era 1940-an dan 1950-an. Bukan karena mereka tak menyayangi kita. Bukan pula karena mereka tak menginginkan kita bahagia. Tapi ada tembok tebal yang seolah membatasi aliran kasih itu dari hati mereka ke hati kita. Tembok yang dibangun bukan dari batu bata, tapi dari gengsi, ego, dan luka zaman yang tak pernah sembuh. Pelukan, kata sayang, atau sekadar sentuhan hangat? Itu nyaris menjadi kemewahan yang langka di masa kecil kita. Kata-kata sederhana seperti “maaf”, “tolong”, dan “terima kasih” seolah terlalu mahal untuk diucapkan kepada anak-anaknya sendiri. Bagi mereka, mengaku salah adalah menistakan martabat. Meminta tolong kepada anak adalah menurunkan wibawa. Mengucapkan terima kasih? Ah, bukankah menolong orang tua itu kewajiban anak, jadi untuk apa diucapkan? Mereka merasa sudah cukup membayar semua itu — dengan menyediakan rumah untuk berteduh, nasi untuk mengisi perut, pakaian untuk menutup tubuh. Sel...

Irlandia, Darah, dan Seni: Ketika Sejarah Tidak Pernah Mati

  Ada sesuatu yang sangat kelam namun memesona tentang Irlandia Utara. Seperti luka lama yang tak sembuh tapi justru melahirkan puisi. Dunia mengenalnya dengan nama yang cukup halus untuk menyamarkan bau mesiu: The Troubles . Tapi jangan tertipu. Tak ada yang lembut dari 30 tahun penuh kekacauan, ledakan bom, dan darah yang tumpah di jalan-jalan Belfast. Konflik ini, bagi sebagian orang, adalah pertikaian antara Katolik dan Protestan. Bagi yang lain, ini soal kolonialisme Inggris yang belum selesai. Tapi pada dasarnya, The Troubles adalah cerita tentang dua identitas yang tidak mau hidup berdampingan dalam bingkai politik yang sama—Unionis yang ingin tetap dalam pelukan Britania Raya, dan Nasionalis yang menginginkan penyatuan dengan Republik Irlandia. Dan di tengahnya: tentara Inggris, agen rahasia, dan generasi yang tumbuh besar dengan suara ledakan sebagai pengantar tidur. Tapi yang menarik adalah bagaimana tragedi ini justru menghasilkan karya-karya seni yang luar biasa. Irlan...

Kesabaran: Kecerdasan Emosional yang Bekerja Diam-diam

Di zaman di mana segalanya dituntut serba cepat — dari kopi yang harus jadi dalam hitungan detik, email yang wajib dibalas sebelum tanda "typing" menghilang, sampai keputusan-keputusan besar yang diambil secepat swipe layar ponsel — kesabaran sering kali dipandang sebagai sesuatu yang kuno. Nyaris seperti fosil perilaku yang tidak relevan lagi. Siapa yang sempat sabar di dunia yang bergerak sekencang ini? Tapi justru di tengah kecepatan itulah, ada satu hal yang sering dilupakan orang: kesabaran bukan soal lambat. Kesabaran adalah tentang kendali. Tentang kekuatan untuk tidak terburu-buru ketika situasi memancing reaksi spontan. Kesabaran adalah wujud paling nyata dari kecerdasan emosional yang bekerja diam-diam. Ada satu adegan sederhana yang sering kita anggap sepele, tapi menyimpan pelajaran besar. Bayangkan seekor burung yang berdiri di pinggir danau dengan sepotong roti di paruhnya. Ia menjatuhkan roti itu ke air, lalu mundur, memperhatikan. Umpannya diam, tak ada ikan...

Office Assemble: Drama, Deadline, dan Bos Superpowered

Kalau Para Avengers Jadi Bos Kantor: Siap-Siap Pusing, tapi Kantormu Keren Banget Pernah nggak sih lo kerja di kantor yang bosnya kayak karakter komik? Maksud gue beneran kayak karakter komik—bukan sekadar dramatis, ambisius, atau suka meeting dadakan jam 5 sore—tapi literally kayak superhero Marvel. Coba bayangin seandainya divisi di kantor lo dipimpin sama Nick Fury, Tony Stark, Thor, Steve Rogers, Dr. Strange , sama Natasha Romanoff . Ini bukan sekadar tim Avengers, ini HR nightmare sekaligus mimpi basah departemen marketing. Kantor lo bakal viral tiap minggu, tapi siap-siap burnout mental juga. Yuk kita bahas satu-satu, gaya ngalir aja ya, kayak hidup lo pas digantung gebetan. Nick Fury — Bos Misterius dengan KPI Gaib Pertama, Nick Fury . Lo bakal kerja di bawah komando dia? Selamat, hidup lo sekarang penuh rahasia, intrik, sama file-file yang sebagian besar udah di- redact . Lo bakal dapet email isinya cuma: "Kerjakan sesuai rencana. Detail? Classified." Tiap ka...

Gary McAllister: Ketika Usia Tak Lagi Jadi Soal dan Dunia Kerja Perlu Belajar dari Sepak Bola

  Tahun 2000, Liverpool Football Club membuat sebuah keputusan yang saat itu dianggap banyak orang sebagai langkah "ajaib tapi bodoh". Mereka merekrut seorang pemain yang di mata sebagian besar penggemar dan pengamat, sudah berada di ujung kariernya. Namanya Gary McAllister. Usianya? 35 tahun. Di era ketika sebagian klub-klub besar berlomba-lomba berburu pemain muda penuh potensi, Liverpool justru datang ke pasar dengan membawa koper penuh keyakinan dan menandatangani pemain yang, menurut standar umum, “sudah tua”. Banyak yang heran. Beberapa bahkan langsung sinis. “Buat apa rekrut pemain tua?” “Masih kuat lari 90 menit, nggak tuh?” “Liverpool ini mau juara atau mau jadi panti jompo?” Kalimat-kalimat semacam itu bergema di media dan forum-forum penggemar saat itu. Tapi seperti kisah-kisah klasik yang menolak tunduk pada logika umum, Gary McAllister membungkam semua keraguan dengan cara yang paling elegan: prestasi . Musim Ajaib Seorang “Tua-Tua Keladi” Di musim 2000–2001, Liv...

Ijazahmu Bukan Takdirmu: Sebuah Drama Epik Antara Transkrip dan Takdir

Di lapangan luas bernama kehidupan, kita semua adalah pemain. Beberapa datang dengan seragam penuh bintang—Sarjana Hukum, Teknik, Ekonomi—masuk dengan gelar seolah mereka starter utama dalam final Liga Champions. Sementara yang lain, duduk di bangku cadangan, mengenakan jaket almamater dari jurusan yang bahkan ibunya sendiri pun tak paham: antropologi digital , filsafat kelautan , atau teknik lingkungan tropis basah . Tapi pertandingan belum dimulai. Dan seperti biasa, wasit kehidupan tidak peduli siapa lulusan universitas mana, atau siapa yang IPK-nya cumlaude. Ia hanya meniup peluit, dan dunia berjalan. Kadang lambat. Kadang brutal. Dan seringkali—tidak adil. Mimpi dan Mitos yang Ditanamkan Di tanah tempat matahari terbit pukul enam tapi harapan muncul sejak dalam kandungan, ada dogma yang tak tertulis tapi diwariskan turun-temurun: “Pilih jurusan yang tepat, maka hidupmu selamat.” Keluarga menjual sawah demi S1. Remaja 17 tahun disuruh memilih jurusan, seperti memilih pasanga...

“Eye of the Tiger”: Ketika Lagu Legendaris Lahir dari Penolakan

  Kadang, hidup menampar kita di waktu yang nggak tepat. Tapi siapa sangka, tamparan itu bisa jadi titik balik—kalau kita cukup nekat untuk menantangnya. Cerita tentang lagu “Eye of the Tiger” ini adalah contoh nyata dari bagaimana sebuah kegagalan bisa jadi awal dari sesuatu yang luar biasa. Semuanya berawal dari seorang pria bernama Sylvester Stallone , satu karakter keras kepala yang percaya bahwa semangat nggak boleh padam, bahkan saat pintu ditutup di depan muka kita. Tahun 1982. Stallone lagi sibuk menggarap film ketiga dari franchise Rocky , karakter yang udah jadi bagian dari napasnya sendiri. Di kepala Sly (panggilan akrab Stallone), dia udah punya bayangan: film ini butuh lagu yang keras, kuat, dan punya irama yang bisa bikin darah naik. Dan lagu yang dia incar adalah “Another One Bites the Dust” dari Queen . Beat-nya pas. Energinya cocok. Pesannya sejalan sama perjuangan Rocky yang harus bangkit dari kekalahan menyakitkan. Awalnya, semuanya terlihat mudah. Freddie Me...

Mereka yang Menulis untuk Raja, Tapi Tak Diundang di Jamuan

“History is written by the victors,” kata pepatah lama. Tapi sejarah juga mencatat: para penulisnya seringkali tidak pernah disebut dalam pidato kemenangan. Mari kita buka kembali satu babak yang sempat membuat dunia menoleh ke Indonesia—IMF–World Bank Annual Meeting di Bali, tahun 2018. Di hadapan para pemimpin dunia, Presiden Jokowi berdiri, tersenyum tipis, dan mengucapkan tiga kata yang tidak lazim terdengar di forum keuangan internasional: “Winter is Coming.” Bukan angka. Bukan kurva. Bukan jargon ekonomi. Tapi sebuah kutipan dari serial Game of Thrones , lengkap dengan analogi tentang Great Houses, Iron Throne, dan Evil Winter yang mengancam dunia. Para hadirin tertawa. Sebagian bertepuk tangan. Sebagian lainnya mencatat: "Indonesia has arrived." Dunia internasional mendengar pidato itu bukan karena Jokowi presiden negara besar—tapi karena pidato itu punya cerita . Dan seperti semua cerita yang bagus, ada satu orang di balik layar yang menulisnya: Tom Lembong. ...