Di jalanan kota-kota Indonesia, dari Senayan sampai Makassar, dari Bandung sampai Surabaya, terdengar bunyi yang sangat purba sekaligus modern. Bunyinya bukan hanya dari toa dan pekikan, tetapi juga dari rasa perih di dompet, dari tagihan yang merangkak, dari tarif yang naik pelan namun pasti. Pemerintah menyebutnya penyesuaian. Rakyat menyebutnya beban. Lalu tiba-tiba gedung dewan daerah dilalap api di Makassar dan tiga nyawa padam bersama malam yang makin panas. Di Jakarta halte hangus, layanan bus dihentikan, jalur kereta bawah tanah dipangkas, dan seorang pengemudi ojek yang sedang mencari nafkah tewas setelah terlindas kendaraan taktis. Di saat seperti ini, alasan apa pun terdengar tidak cukup meyakinkan dibanding suara sirene dan isak keluarga. Fakta-faktanya sudah telanjang, dan negara yang baik seharusnya tidak merasa malu saat bercermin. Orang boleh berdebat tentang penyebab utama. Apakah karena kemarahan pada fasilitas perumahan wakil rakyat yang terasa mewah saat lapa...