Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2025

Dari Teh Boston ke Jalan Jakarta: Sejarah Selalu Menghukum yang Lupa

  Di jalanan kota-kota Indonesia, dari Senayan sampai Makassar, dari Bandung sampai Surabaya, terdengar bunyi yang sangat purba sekaligus modern. Bunyinya bukan hanya dari toa dan pekikan, tetapi juga dari rasa perih di dompet, dari tagihan yang merangkak, dari tarif yang naik pelan namun pasti. Pemerintah menyebutnya penyesuaian. Rakyat menyebutnya beban. Lalu tiba-tiba gedung dewan daerah dilalap api di Makassar dan tiga nyawa padam bersama malam yang makin panas. Di Jakarta halte hangus, layanan bus dihentikan, jalur kereta bawah tanah dipangkas, dan seorang pengemudi ojek yang sedang mencari nafkah tewas setelah terlindas kendaraan taktis. Di saat seperti ini, alasan apa pun terdengar tidak cukup meyakinkan dibanding suara sirene dan isak keluarga. Fakta-faktanya sudah telanjang, dan negara yang baik seharusnya tidak merasa malu saat bercermin. Orang boleh berdebat tentang penyebab utama. Apakah karena kemarahan pada fasilitas perumahan wakil rakyat yang terasa mewah saat lapa...

Ketika Polisi Menjadi Pembunuh, Kepada Siapa Kita Melapor?

  Siapa yang bisa kau panggil ketika algojo memakai seragam penolong. Di negeri yang setiap hari menjual jargon “Presisi”, kita justru menyaksikan presisi paling kejam: ban baja yang menemukan tulang manusia. Nama anak itu Affan Kurniawan, 21 tahun, pengemudi ojek online yang sedang mencari nafkah, bukan mencari masalah. Di tengah kekacauan pembubaran massa dekat DPR, sebuah kendaraan taktis Brimob melaju, berhenti sesaat, lalu melindas tubuhnya. Affan dibawa ke rumah sakit dan dinyatakan meninggal. Polisi minta maaf, tujuh personel disebut ditahan, dan negara mendadak bicara tentang proses yang transparan. Naskahnya sudah kita hafal seperti hafal lagu pengantar tidur, penuh janji, minim akhir yang memulihkan. Tarik pandangan lebih luas. Demonstrasi pecah karena publik muak melihat wakil rakyat hidup bak bangsawan, menikmati tunjangan perumahan puluhan juta rupiah per bulan, sementara upah minimum masih berkutat dengan harga cabai di pasar. Polisi menyebutnya penegakan ketertiban. ...

Siapa Bilang Rakyat Tak Punya Jam Tangan?

  (Sebuah esai satir—filosofis tentang amuk yang datang tepat waktu) Di buku sejarah kita, rakyat selalu muncul seperti tokoh sampingan yang menunggu cue dari sutradara: Filipina punya People Power (lampu padam—kediktatoran ikut padam), Korea Selatan punya Gwangju (sebuah kota berkata “cukup”), Tiongkok punya Tiananmen (sebuah lapangan mengajarkan dunia arti tank), Indonesia punya Mei ’98 (ekonomi kolaps, rezim ikut rubuh). Setiap kali jam besar di dinding negeri berdentang, rakyat keluar; dan seperti yang selalu diperingatkan para ibu: kalau sudah marah, pasti ada piring yang pecah. Agustus di Jakarta: Dua Babak dalam Satu Pekan Tanggal 25 Agustus 2025, Senayan menggelar drama: mahasiswa—ditemani ojek online—mendekat ke kompleks DPR, menuntut akal sehat soal gaji dan tunjangan wakil rakyat. Polisi membalas dengan gas air mata dan water cannon; massa menanggapi dengan batu, botol, dan kembang api; satu sepeda motor dilaporkan dibakar. Inti kemarahan? Kontras antara penghasilan waki...

Lumpuh, Buta, dan Lupa Diri: Ketika Sains dan Agama Dijadikan Olok-olok

  Di tengah derasnya arus media sosial yang penuh kutipan motivasi setengah matang dan kebijaksanaan palsu berselimut meme, saya menjumpai satu kalimat yang menggoda untuk dibedah, bukan karena kebenarannya, tapi karena kedangkalannya yang merasa dalam: “Sains tanpa agama jadinya lumpuh. Seperti Stephen Hawking. Dan agama tanpa sains jadinya buta. Seperti Gus Dur.” Hebat, bukan? Sebuah kutipan yang berusaha tampil filosofis, terdengar seperti hasil perenungan mistis sambil ngopi di kafe literasi—padahal tak lebih dari hasil olahan setengah matang dari kutipan Albert Einstein yang di- twist agar tampak edgy: “Science without religion is lame, religion without science is blind.” Einstein bicara dalam konteks spiritualitas dan etika ilmiah. Tapi warganet kita, seperti biasa, merasa perlu menambahkan ilustrasi biografis—agar lebih “ngena”. Lalu dipilihlah dua nama besar yang, kebetulan, memiliki disabilitas fisik: Stephen Hawking dan Gus Dur. Dan seperti yang sering terjadi di...

Anak yang Tak Lagi Menoleh: Saat Luka Emosional Lebih Tajam dari Rotan

Di zaman ketika rotan sudah diganti kode etik, dan sabetan digantikan seminar parenting, kita merasa sudah jadi orang tua yang “modern”. Sudah tidak memukul, sudah tidak bentak-bentak, sudah kasih makan bergizi dan mainan edukatif. Tapi anehnya, kenapa anak-anak zaman sekarang tetap tumbuh dengan rasa asing terhadap kita? Kenapa ketika dewasa, mereka tidak ingin dekat, malas bicara, bahkan merasa lebih nyaman curhat ke dunia maya daripada ke orang tua mereka sendiri? Mungkin kita lupa satu jenis kekerasan yang tetap hidup diam-diam, bahkan makin canggih dalam penyamarannya: kekerasan emosional. Ia tidak berbentuk luka di kulit. Tidak terdengar seperti bentakan. Tapi ia hadir lewat keheningan. Lewat pandangan yang tidak diberikan. Lewat kehadiran yang hanya fisik, tapi jiwanya entah di mana. Mari kita tarik satu momen kecil. Seorang anak, sebut saja Naya , datang membawa gambar kupu-kupu ke ayahnya. “Pah, warna apa yang bagus buat sayap kupu-kupu ini?” Tapi sang ayah hanya menjawab...

Misteri Kaburnya Trio Alcatraz: Sendok, Kepala Palsu, dan Rakit dari Jas Hujan

Bayangkan ini: Kamu terjebak di sebuah pulau berbatu, dijaga ketat, dan dikelilingi oleh air dingin yang konon katanya penuh hiu. Bukan setting film horor, tapi Penjara Alcatraz. Dan di sanalah tiga pria nekat—Frank Morris serta dua bersaudara, John dan Clarence Anglin—menyusun rencana kabur paling epik dalam sejarah kriminal Amerika. Mereka tidak sekadar kabur, tapi meninggalkan tanda tanya besar: mereka berhasil atau tenggelam selamanya? Peralatan Canggih? Nope. Cuma Sendok dan Kipas Angin! Kalau kamu pikir mereka pakai alat berat atau kerja sama dengan tim profesional, kamu salah besar. Senjata utama mereka? Sendok logam dari kantin penjara dan sebuah bor darurat yang mereka rakit dari motor kipas angin bekas. Gila, kan? Mereka menggali lubang kecil di dinding belakang ventilasi sel masing-masing, sedikit demi sedikit, setiap malam. Dan biar suara bor rakitan ini nggak terdengar? Morris yang memang otaknya encer punya ide brilian: pakai musik akordeon sebagai "peredam suara....

Pluto dan Kutukan Planet yang Tak Diundang ke Reuni Keluarga Tata Surya

  Pernahkah kamu didepak dari grup WhatsApp keluarga hanya karena kamu terlalu jarang mengirim stiker Selamat Pagi? Atau lebih parah: kamu tetap datang ke reuni keluarga, tapi namamu tidak ada di daftar undangan, dan semua orang berpura-pura tidak melihatmu berdiri canggung di pojokan sambil makan pastel. Begitulah nasib Pluto sejak tahun 2006. Dulu, Pluto adalah si bungsu kesayangan tata surya. Kecil, jauh, beku—tapi tetap dihitung. Masuk silabus pelajaran IPA. Namanya tercetak rapi di buku SD, ditemani ilustrasi lucu: bola es mungil yang mengelilingi matahari dengan polos. Tapi pada suatu siang yang tak mengenakkan, sekelompok ilmuwan yang terlalu serius memutuskan bahwa Pluto… bukan planet . Tiba-tiba, dia didepak. Dibuang. Dipensiunkan secara paksa. Tanpa pesangon. Tanpa upacara perpisahan. Alasannya? Karena Pluto terlalu kecil, terlalu miring orbitnya, dan tak mampu “membersihkan lingkungan orbitnya dari objek lain.” Ya ampun, bahkan jadi planet sekarang butuh kebijakan tata r...