Skip to main content

Guru dan Pejabat: Ketimpangan Upah di Negeri Tanpa Logika

 


Bayangkan Ini:

Seorang guru honorer mengajar dengan penuh dedikasi. Setiap hari, ia berdiri di depan kelas, berusaha mencetak generasi penerus bangsa dengan segala keterbatasan fasilitas dan gaji. Dengan upah rata-rata Rp500 ribu hingga Rp1 juta per bulan, ia harus memutar otak, bukan hanya untuk mengajar, tapi juga untuk bertahan hidup. Di sisi lain, seorang pejabat dengan gaji pokok Rp19 juta per bulan duduk nyaman di kursinya, berdiskusi mengenai “peningkatan kualitas pendidikan.” Ironis? Tentu saja. Tapi, ini bukan fiksi; ini realita Indonesia.gov

Sebelum kita masuk lebih dalam, mari kita perjelas satu hal: guru bukanlah “pahlawan tanpa tanda jasa.” Itu istilah yang sudah ketinggalan zaman. Guru adalah profesional yang layak mendapatkan imbalan layak, bukan hanya tepukan di pundak. Bagaimana mungkin kita mengharapkan pendidikan berkualitas sementara para pendidiknya harus memulung atau bekerja sampingan untuk menyambung hidup?

Gaji Pejabat vs. Gaji Guru: Ada yang Salah?

Coba kita hitung. Gaji seorang menteri bisa mencapai Rp19 juta per bulan, belum termasuk tunjangan. Jika dihitung dengan tunjangan, angka ini bisa melonjak hingga lebih dari Rp200 juta per tahun Indonesia.gov

Di sisi lain, gaji seorang guru honorer—mereka yang sering kali mengabdi di daerah-daerah terpencil dengan segala keterbatasan fasilitas—hanya berkisar antara Rp500 ribu hingga Rp1 juta per bulan Tempo Bisnis

Bahkan setelah program ASN PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang diluncurkan sejak 2021, sebagian besar guru honorer masih bergulat dengan ketidakpastian ekonomi Indonesia.gov

Mengapa ada ketimpangan yang begitu besar? Apakah pejabat negeri ini bekerja dua puluh kali lebih keras dari seorang guru? Apakah mereka memberikan kontribusi dua puluh kali lebih besar kepada masyarakat? Jawaban yang jujur adalah tidak. Malah, sering kali kebijakan mereka justru menambah beban para guru yang sudah bekerja keras di lapangan.

Janji Kosong dan Pengangkatan ASN PPPK

Program pengangkatan guru honorer menjadi ASN PPPK memang terdengar seperti angin segar. Sejak 2021, sekitar 544.000 guru honorer telah diangkat menjadi ASN PPPK Indonesia.gov

Namun, apakah ini benar-benar menyelesaikan masalah? Tidak juga. Banyak guru yang masih terjebak dalam proses seleksi yang rumit, dan mereka yang telah diangkat pun sering kali masih harus menghadapi gaji yang tidak sebanding dengan tanggung jawab mereka Indonesia.gov

Menurut tokoh pendidikan Abdul Mu'ti, “Jika guru sejahtera, maka pendidikan berkualitas. Jika guru miskin, kualitas pendidikan pun ikut miskin.” Ini bukan hanya teori, tetapi fakta di lapangan. Bagaimana seorang guru bisa fokus mengajar jika pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang bagaimana membayar tagihan listrik atau biaya sekolah anak-anaknya sendiri?

Ironi: Guru Pemulung dan Pejabat Hedonis

Beberapa waktu lalu, muncul berita tentang seorang guru yang terpaksa menjadi pemulung demi mencukupi kebutuhan sehari-hari Tempo Bisnis

Bayangkan, seorang yang seharusnya dihormati dan dihargai karena mendidik anak-anak bangsa, terpaksa mencari barang-barang bekas untuk dijual demi bertahan hidup. Di sisi lain, kita sering kali mendengar tentang pejabat yang mendapatkan fasilitas mewah, mulai dari mobil dinas hingga rumah jabatan yang super nyaman.

Ini bukan hanya ketidakadilan; ini adalah penghinaan terhadap mereka yang benar-benar berkontribusi pada masa depan bangsa. Bagaimana bisa seorang guru, yang seharusnya fokus mendidik generasi muda, harus menghabiskan waktu luangnya dengan pekerjaan tambahan hanya untuk bertahan hidup?

Kata Mereka: Apa Solusinya?

Dalam sebuah wawancara, mantan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim pernah menyatakan bahwa “profesi guru harus menjadi profesi yang terhormat dan profesional.” Namun, di lapangan, kenyataannya jauh dari harapan tersebut. Meski pemerintah telah meluncurkan berbagai program, termasuk pengangkatan ASN PPPK, masih banyak guru honorer yang terjebak dalam ketidakpastian Indonesia.gov

Prof. Anies Baswedan, mantan Menteri Pendidikan, juga pernah berkata, “Ketika guru-guru diperlakukan secara layak, kita akan melihat dampak langsung pada kualitas pendidikan.” Tapi, bagaimana kita bisa berharap perubahan jika para pemangku kebijakan lebih sibuk memikirkan anggaran untuk fasilitas pribadi mereka dibandingkan memikirkan kesejahteraan guru-guru ini?

Satir Kesejahteraan: Laporan Fiksi di Negeri Nyata

Melihat kondisi ini, kita seolah sedang hidup di negeri dongeng. Pejabat-pejabat yang mengklaim diri sebagai pembuat kebijakan terbaik ternyata hidup dalam ilusi, berpikir bahwa pendidikan bisa diperbaiki dengan seminar dan rapat-rapat tanpa akhir. Padahal, kenyataannya, mereka gagal memberikan apa yang paling dibutuhkan para guru: kesejahteraan yang layak.

Guru, pada akhirnya, bukanlah pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka adalah pekerja profesional yang layak dihargai. Dan penghargaan itu tidak hanya berupa pujian atau medali, melainkan dalam bentuk gaji yang layak, tunjangan yang memadai, serta jaminan masa depan yang lebih baik.

Penutup: Sudah Cukup, Beri Guru Apa yang Layak!

Sudah saatnya kita berhenti memandang guru sebagai martir pendidikan yang harus rela hidup dalam kemiskinan. Kita butuh tindakan nyata dari pemerintah untuk memperbaiki kondisi ini, bukan hanya janji-janji kosong atau program-program yang setengah hati. Jika benar pemerintah serius ingin meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, maka langkah pertama adalah memastikan para guru mendapatkan apa yang layak mereka terima: penghargaan yang setara dengan dedikasi mereka.

Seperti yang pernah dikatakan Ki Hajar Dewantara, "Guru adalah kunci dari pendidikan." Maka, jika kunci ini dibiarkan berkarat dan tidak terurus, bagaimana mungkin kita bisa membuka pintu masa depan yang lebih baik?


Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...