Skip to main content

Mievember Rain


"Yang hujan turun lagi," suara Ratih Purwasih seakan menggema di pikiranku. Lebih tepatnya mengalun di benakku. Karena sekarang setiap sore langit akan menjadi gelap yang kemudian menurunkan hujan. 


Tidak salah kalau William Bruce Rose Jr terinspirasi dengan keadaan ini, hingga menjadikannya sebuah lagu. Lagu yang membuatku terlempar kembali ke era 90-an. 


Aaaah... aku jadi lapar. 


Sore yang sejuk, ditambah suara jatuhnya air hujan, dan sesekali ditambah gelegar petir membuatku enggan beranjak dari tempat tidurku. Tapi segerombolan cacing tidak tahu diri berunjuk rasa. Memaksaku untuk makan sesuatu. 

Satu yang langsung terlintas di pikiranku. Semangkuk Ind#mie rebus pedas. Dengan sisa-sisa kekuatan di tubuhku, aku melangkah menuju dapur. 


Tak peduli dari varian mana yang akan aku eksekusi. Selama itu ditambahkan telur ayam, cabe rawit, bakso, daun bawang, bawang bombay, bawang merah, bawang putih, minyak bawang merah, minyak bawang putih, minyak wijen, minyak zaitun, jeruk nipis, susu putih, keju dan  daging asap, maka aku akan baik-baik saja. 


Eksekusi dimulai! 


Semua keluarga bawang aku iris tipis, kecuali bawang putih yang aku geprek dulu biar aromanya makin keluar. Begitu mereka masuk wajan, aroma bawang matang langsung meramaikan dapur kecil ini.


Lalu aku mulai memanaskan wajan yang dilanjutkan memasukkan dua sendok makan minyak zaitun. Tidak butuh waktu lama, keluarga bawang yang sudah aku potong-potong tadi aku ceburkan ke dalamnya. Suara potongan bawang dan aroma mereka meramaikan dapur kecil ini. Hanya aku dan beberapa ekor anak bulu yang setia menemaniku. Entah karena mereka sayang padaku, atau hanya ingin meminta bagian mereka. 


Bau itu.... bau bawang yang sudah matang. Menambah ganasnya cacing-cacing di perutku. "Sabar ya, guys!" Aku menenangkan perutku sendiri dan berharap dia akan menjawabnya. Aku masukkan air matang. Tunggu menggelegak kemudian meluncurlah mie instant dari bungkusnya. Sementara menunggunya menjadi setengah matang, aku siapkan bahan yang lain. Beberapa pasang mata kecil di dekat kaki masih memperhatikanku gerak-gerikku dengan seksama. 


Bakso dan potongan daging asap kemudian masuk ke dalam wajan. Berikutnya potongan daun bawang dan irisan cabe rawit tak lama menyusul mereka. Sekarang di dalam sana sudah seperti sebuah ekosistem. Flora dan fauna berkumpul dalam keharmonisan. 


Aku pikir, kini saatnya memecahkan telur ke dalam ekosistem ini. Aku masukkan telur di seperempat akhir waktu merebus agar hasilnya menjadi aldente. Tidak terlalu matang, tidak terlalu mentah. Menyusul kemudian susu putih. 

Tapi tunggu! Mangkuknya masih kosong. 


Segera aku ambil bungkus bumbu dan merobeknya dengan gunting. Aku tahu... aku termasuk golongan yang lemah. Karena hanya orang-orang yang kuat yang merobek bumbu ind#mie dengan tangan kosong. Aku tak peduli. 

Setelahnya menyusul keluarga minyak bawang dan minyak wijen. Dan terakhir, perasaan jeruk nipis. Oh, Tuhan.... hatiku berdegub kencang. Apakah ini yang namanya.....


"Meoooong....."


Rocket si kucing Anggora membuyarkan lamunanku. Dan bertepatan dengan matangnya masakanku. Walau cuma cemplung sana cemplung sini tapi masih pantas disebut masakan bukan?! 


Kini ekosistem itu sudah berpindah ke tempat yang lebih baik. Usaha terakhirku kini adalah memastikan mangkuk yang penuh dengan kenikmatan dunia bisa sampai ke dalam kamarku yang dingin. 


Setiap langkahku diikuti beberapa pasang kaki kecil penuh bulu. Mereka kadang berada di depanku, atau menyerempet kakiku. Aku sempat terpikir, apakah mereka sedang melakukan percobaan pembunuhan kepadaku?

Satu setengah menit perjalanan yang mendebarkan telah aku lalui dengan sukses. Anak-anak bulu itu berhasil aku kecoh dan aku usir ke luar kamar. Saatnya menikmati surga dunia ini. 


"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang." Sesendok mie yang masih mengepul dengan teman-temannya perlahan bergerak menuju mulutku. 


"DING!" Sebuah pesan masuk ke ponselku. 


Aku intip pesannya.


[Mas ada glitch di video, menit ke 3.50. Tolong segera dikoreksi. Ditunggu secepatnya. Terima kasih.]


Aku melirik mie yang masih mengepul. 'Tunggu aku, ya.' Dengan berat hati, aku menyalakan iMac dan memulai kerjaan. Semoga dia nggak terlalu dingin saat aku kembali. Kalau pun iya, aku akan tetap mencintainya—dingin atau hangat, mie ini tetap surga kecilku.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...