Skip to main content

Skater Boy


 

Sabrina duduk di bangku taman, pandangannya tertuju pada sekelompok anak muda yang sedang bermain skateboard di lapangan beton di depannya. Mereka tertawa, bersorak, dan bersaing satu sama lain, seakan dunia hanya milik mereka. Di antara mereka, ada seorang pemuda yang mencuri perhatiannya. Topi terbalik, rambut berantakan, dan kaos hitam dengan celana jeans yang sudah robek di lutut – dia adalah skater boy itu. Lelaki yang dulu pernah menawarkan dunianya, dan yang Sabrina tinggalkan.


Nama pemuda itu adalah Ryan. Dua tahun lalu, ketika mereka masih duduk di bangku SMA, dia mendekati Sabrina. Mereka bukan dari dunia yang sama—Sabrina adalah anak populer, kapten tim cheerleader, dengan segudang aktivitas sosial yang menempatkannya di puncak hierarki sekolah. Ryan, di sisi lain, adalah tipikal anak yang selalu muncul terlambat, bolos pelajaran, dan lebih memilih mempraktikkan trik skateboard daripada peduli soal tugas matematika.


Tetapi, ada sesuatu pada diri Ryan yang membuat Sabrina tertarik. Cara dia tersenyum dengan sederhana, bagaimana dia menatap langsung ke matanya, dan betapa dia tidak peduli dengan pendapat orang lain. Meski begitu, tekanan dari teman-temannya, terutama dari sahabat terdekatnya, membuat Sabrina tidak pernah benar-benar bisa mengakui perasaannya.


"Kau serius ingin bersamanya? Seorang skater boy?" cemooh temannya saat itu. "Dia bahkan tidak punya masa depan."


Dan pada akhirnya, Sabrina memilih mendengarkan kata-kata mereka daripada mendengarkan suara hatinya. Dia menolak Ryan saat pemuda itu akhirnya memberanikan diri untuk mengajaknya menonton konser bersama. "Maaf, aku punya rencana lain," kata Sabrina saat itu dengan suara yang dipaksakan tenang, sementara hatinya berteriak sebaliknya.


Ryan hanya tersenyum. "Tak apa-apa," katanya, meski Sabrina bisa melihat kilauan kesedihan di matanya. "Mungkin lain kali."


Tapi, lain kali itu tidak pernah datang.


Waktu berlalu, dan Sabrina terjebak dalam rutinitasnya—pertemuan sosial, pesta prom, dan semua hal yang seharusnya membuat hidupnya sempurna. Namun, ada kekosongan yang tak pernah bisa dia jelaskan. Hingga akhirnya, setelah lulus SMA, Ryan menghilang dari hidupnya.


Sabrina mendengar kabar tentangnya lagi setahun kemudian. Malam itu, ketika dia menonton televisi, wajah Ryan muncul di layar—bukan lagi sebagai anak sekolah yang berantakan, melainkan sebagai bintang rock yang sedang naik daun. Gitar di tangannya, senyum yang dulu dia kenal masih ada, dan kini ribuan orang bersorak memanggil namanya. Hatinya tersentak, menyadari bahwa pemuda yang pernah dia abaikan telah menjadi bintang yang bersinar.

Dan sekarang, dua tahun setelah pertemuan terakhir mereka, Sabrina duduk di bangku taman ini, menatap Ryan yang terlihat bebas seperti dulu. Ada keinginan dalam hatinya untuk menghampirinya, mengatakan bahwa dia menyesal telah menolak, bahwa dia salah memilih. Tetapi dia tidak tahu apakah Ryan masih mau mendengarkan.


Suara langkah kaki mendekat, dan tanpa sadar, Sabrina menoleh. Seorang gadis berambut pendek, memakai jaket denim dan celana jeans dengan gaya yang sangat serasi, berjalan menghampiri Ryan. Mereka tertawa bersama, lalu gadis itu mencium pipinya sebelum Ryan mengangkat gitar dari tasnya dan mulai memainkan sebuah melodi.

Sabrina mendengarkan lagu itu, lirik yang begitu akrab di telinganya.


"Dia adalah gadis cantik, dan aku hanya seorang skater boy..."


Ternyata, kisah mereka telah berubah menjadi lagu. Lagu tentang bagaimana Ryan pernah ditolak oleh seorang gadis yang lebih peduli pada status sosialnya daripada cintanya. Dan di momen itu, Sabrina merasakan bagaimana perasaan Ryan saat dia menolaknya dulu.


Tapi ada sesuatu yang lain di sana—sesuatu yang membuat Sabrina tersenyum tipis meski air mata mulai mengalir di pipinya. Lagu itu bukan tentang kemarahan atau kebencian, melainkan tentang penerimaan. Tentang bagaimana seseorang bisa berubah, dan bagaimana kadang cinta hanya membutuhkan waktu untuk menemukan jalannya sendiri.


Ryan menoleh dan melihat Sabrina di sana. Dia berhenti sejenak, tersenyum kecil, dan mengangguk, seolah mengakui bahwa dia ingat semuanya, tetapi dia juga sudah melupakannya. Ada rasa damai di wajahnya, dan itu cukup untuk membuat Sabrina merasa lega.


Mungkin, pikir Sabrina, Ryan bukan lagi skater boy yang dulu dia kenal. Mungkin, dia telah menjadi sesuatu yang lebih besar. Tetapi di dalam hatinya, Sabrina tahu bahwa dia akan selalu mengenang saat-saat mereka pernah berdiri di dunia yang sama, bahkan jika itu hanya sejenak.


Sabrina berdiri dari bangkunya, mengusap air mata terakhir dari pipinya, dan tersenyum. Meskipun dia bukan bagian dari kisah Ryan lagi, dia senang melihat bahwa akhirnya Ryan menemukan tempatnya.


Dan dengan begitu, Sabrina melangkah pergi, siap menemukan kisahnya sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...