Malam itu dingin. Di bawah langit yang gelap
dan tanpa bintang, suara pelabuhan kecil yang terbengkalai terdengar sunyi,
hanya sesekali diselingi oleh deburan ombak. Batman dan Joker, dua musuh
bebuyutan, tengah bertarung sengit. Perkelahian mereka menggema di antara
peti-peti kargo yang berserakan.
Joker tertawa seperti orang gila, darah
mengalir dari sudut bibirnya. “Ayo, Batsy! Bukankah ini yang kau inginkan?
Akhir dari segalanya!” Suaranya menggema, menusuk malam seperti pisau.
Namun, di tengah perkelahian itu, sesuatu yang
aneh terjadi. Batman tanpa sengaja memicu mesin besar berkarat di sudut
pelabuhan. Mesin itu bergemuruh, mengeluarkan cahaya terang yang menyilaukan.
Sebuah pusaran energi muncul, menarik mereka berdua dengan kekuatan tak
terduga.
Saat Batman berusaha melawan daya tarik itu,
Joker kehilangan pijakan dan terlempar ke laut, tubuhnya menghilang di antara
ombak yang dingin. Sementara itu, Batman terpental ke arah mesin yang berputar
cepat. Dunia di sekitarnya memudar, berputar, hingga semuanya menjadi gelap.
Lorong yang Gelap
Ketika Batman membuka matanya, dia terbaring di
tanah berbatu, tubuhnya terasa berat. Dia berdiri perlahan, melihat sekeliling.
Ini bukan pelabuhan. Tempat ini tampak seperti bagian kota, tapi berbeda—lebih
kuno, lebih sederhana.
Dia melepas jubah dan topengnya, menyembunyikan
identitasnya. Baju hitam yang robek dan penuh debu ditanggalkan, diganti dengan
kemeja lusuh dan jaket yang dia temukan di tempat sampah. Batman sekarang hanya
Bruce, pria asing tanpa nama.
Berjalan menyusuri lorong gelap yang terasa
asing, dia berhenti ketika melihat sesuatu. Di depan sana, sebuah keluarga
kecil melintas: seorang pria gagah dengan jas mahal, seorang wanita anggun
dengan kalung mutiara, dan seorang anak laki-laki berumur sembilan tahun yang
tampak bahagia memegang tangan ibunya.
Bruce berhenti. Napasnya tercekat. Dia tahu
tempat ini. Lorong ini. Keluarga itu. Itu dirinya sendiri—bersama ayah
dan ibunya.
Ingatan itu datang seperti badai. Ini adalah
malam itu. Malam ketika kedua orangtuanya dirampok dan dibunuh. Malam yang
mengubah segalanya. Bruce menggenggam erat kepalanya, kebingungan.
Tapi ada sesuatu yang aneh. Lorong tetap sunyi.
Tidak ada bayangan yang muncul. Tidak ada Joe Chill, si perampok yang akan
merenggut nyawa ayah dan ibunya. Mereka terus berjalan mendekati ujung lorong
tanpa gangguan.
Bruce merogoh kantongnya, mencari sesuatu untuk
menguatkan dirinya. Tangan besarnya menyentuh benda metal dingin. Dia
menariknya keluar—sebuah revolver.
Darimana senjata itu datang? Dia tidak tahu.
Tapi sekarang, dalam pikirannya yang kacau, muncul pertanyaan besar: Apa
yang harus kulakukan?
Dia berdiri mematung, gemetar. Jika dia
membiarkan keluarganya hidup, maka Batman mungkin tidak akan pernah ada. Siapa
yang akan melindungi Gotham? Siapa yang akan menyelamatkan mereka yang tak
bersalah?
Namun, jika dia menghentikan keluarga
itu—mengambil tindakan yang tidak terbayangkan—semua bisa kembali seperti
semula. Tetapi, apakah dia sanggup melakukannya? Apakah dia bisa menjadi
pembunuh bagi orangtuanya sendiri?
Bayangan korban-korban yang pernah dia
selamatkan membanjiri pikirannya. Jerit tangis mereka, darah mereka, rasa takut di mata mereka.
Mereka semua ada karena dia—karena Batman. Tanpa dia, mereka tidak akan
selamat. Tanpa dia, Gotham akan tenggelam dalam kekacauan.
Bruce mengangkat revolver itu. Langkahnya
berat, penuh keraguan, tapi dia tahu ini adalah titik takdirnya. Ketika
keluarga kecil itu hampir keluar dari lorong, dia melangkah maju, menghadang
jalan mereka.
“Siapa kau?” tanya Thomas Wayne, suaranya
tenang tapi penuh kewaspadaan.
Bruce tidak menjawab. Matanya penuh dengan air
mata yang tidak terbendung. Tangannya gemetar saat dia mengangkat senjatanya,
mengarahkannya ke Thomas Wayne. Dalam sekejap, dua tembakan meledak di udara.
Dor! Dor!
Thomas dan Martha Wayne terjatuh ke tanah,
tubuh mereka terkulai, darah mengalir di bawah kaki mereka. Anak laki-laki
kecil itu menatap dengan mata terbelalak, menjerit. Suara itu menghantam Bruce
seperti palu, tapi dia tidak berhenti. Dia berlari, meninggalkan tubuh-tubuh
itu, meninggalkan anak kecil yang menangis memeluk jasad orangtuanya.
Bruce berlari tanpa arah, langkahnya seperti
orang kesetanan. Nafasnya berat, pikirannya penuh dengan bayangan apa yang baru
saja dia lakukan. Ketika dia sampai di pantai, dia menatap laut yang luas dan
dingin. Dengan satu teriakan panjang, dia melompat ke dalam ombak yang
bergulung, tubuhnya tenggelam dalam kegelapan.
Pantai yang Sunyi
Pagi itu, beberapa nelayan menemukan sesosok
tubuh di tepi pantai. Tubuh itu lemas, tapi masih bernapas. Mereka membawanya
ke daratan, wajah pria itu pucat, namun matanya terbuka—melotot ke arah langit
dengan seringai yang tak wajar.
Dia tertawa kecil, hampir tak terdengar. Tawa
itu pelan, seperti datang dari kedalaman jiwanya yang telah mati.
“Siapa dia?” tanya salah seorang nelayan dengan
suara gemetar.
Yang lain hanya menggeleng, menatap dengan
ngeri. Mereka tidak tahu, dan mungkin lebih baik tidak tahu.
Comments
Post a Comment