Skip to main content

Benarkah seorang muslim tidak boleh galau?

Di awal-awal saya bekerja di perusahaan penyiaran saya sempat mengalami kegalauan. Jam kerja yang tidak normal, hari libur yang selalu berpindah serta load kerja yang kadang tidak manusiawi membawa saya kepada titik jenuh. Kadang dalam kontemplasi saya sering muncul pertanyaan, "Apakah kehidupan ini yang saya inginkan?" 

Perubahan perilaku saya rupanya disadari oleh salah seorang kawan kerja saya. Saya akui ke dia kalau saya sedang galau. Dan dengan bijaksananya dia katakan, "Orang Islam itu nggak seharusnya galau, karena dia punya Allah." Saya hanya diam menanggapi hal tersebut. Di samping saat itu saya sedang lelah, ilmu saya pun hanya seujung kukunya. 

Tapi benarkah seorang muslim tidak boleh galau? 

Setelah ratusan purnama berlalu akhirnya saya menemukan jawaban dari pertanyaan yang masih mengganggu saya selama ini. Benarkah seorang muslim tidak boleh galau? Bukankah kegalauan itu adalah tanda kalau kita masih menjadi manusia? Bahkan Rasulullah, manusia mulia kekasih Allah pun pernah mengalami kegalauan. Ini terjadi akibat meninggalnya istri beliau Khadijah dan Abi Thalib sang paman. Hanya saja kesedihan beliau langsung mendapatkan respon dari Allah. Dan tak lama beliau mendapatkan penghiburan berupa Isra' Mi'raj. 

Jadi saya pikir adalah manusiawi jika kita terkadang mengalami set back, galau atau kesedihan karena kadang kehidupan tidak melulu sesuai dengan apa yang kita harapkan. Dan ketika ekspektasi-ekspektasi kita tidak tercapai maka kekecewaan yang akan terkumpul. Semakin banyak kekecewaan yang kita rasakan tanpa ada penyalurnya, maka kemudian memberi celah kepada setan untuk mencelakakan kita. Itulah kenapa penghiburan diri diperlukan. Dan tak ada yang lebih baik selain penghiburan yang berasal dari Tuhan. 

Saya tidak akan menjadi hakim atas apa yang terjadi pada mereka yang tenggelam dalam kegalauan mereka lalu memilih jalan yang salah. Setiap orang punya pertempurannya sendiri. Tapi saya yakin mereka sudah berusaha untuk mencari penghiburannya sendiri. Biarlah kini cerita tentang diri mereka menjadi pelajaran bagi semua orang. 

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...