Skip to main content

Tasamuh Ala Nasi Goreng: Resep Hidup yang Gurih-Gurih Damai

 


Pernah nggak, Anda duduk di warung nasi goreng malam-malam, bau kecap gosong mulai naik ke hidung, dan Anda berpikir, “Eh, hidup ini kok kayak nasi goreng, ya?” Kalau belum pernah, tenang aja, saya juga baru kepikiran sekarang. Tapi serius, konsep tasamuh atau toleransi dalam Islam itu mirip banget dengan seni memasak nasi goreng.

Kenapa nasi goreng? Karena, pertama, semua orang suka nasi goreng. Kedua, bikin nasi goreng itu kelihatannya sederhana, tapi kalau salah langkah, bisa bikin dapur jadi area konflik. Dan ketiga, nasi goreng itu fleksibel, kayak hidup—bisa diubah sesuai kebutuhan, asal nggak melanggar prinsip dasarnya: nasi, minyak, dan wajan.

Jadi, mari kita belajar tentang tasamuh dengan cara yang gurih dan sedikit berbau bawang merah.


Langkah 1: Menghormati Pilihan Bahan Orang Lain

Setiap orang punya preferensi nasi goreng masing-masing. Ada yang suka nasi goreng kampung, ada yang seafood, ada juga yang nggak mau ribet dan cukup puas dengan nasi goreng telur ala anak kos. Tapi ingat, menghormati pilihan orang bukan berarti kita harus ikut-ikutan.

Misalnya, Anda suka nasi goreng super pedas pakai sambal 10 sendok. Teman Anda? Baru mencium baunya aja udah ambil air minum. Solusinya? Jangan paksa dia makan nasi goreng Anda! Masaklah dua wajan: satu pedas buat Anda, satu tanpa sambal buat dia. Ini namanya tasamuh. Anda tetap punya hak untuk menikmati selera Anda, dan dia juga.

Toleransi itu bukan berarti semua orang harus makan dari satu wajan yang sama. Hidup berdampingan damai itu cukup dengan menghormati pilihan masing-masing.


Langkah 2: Jangan Campur-Campur Sembarangan

Pernah coba masak nasi goreng pakai durian? Jangan, saya mohon. Sama halnya dalam hidup: toleransi bukan berarti mencampur semua keyakinan jadi satu. Anda Muslim, teman Anda mungkin beragama lain. Itu nggak berarti Anda harus ikut merayakan ibadahnya atau bahkan mengubah keyakinan Anda.

Misalnya, teman Anda makan nasi goreng pakai saus tomat, sedangkan Anda pakai sambal ulek. Apakah ini berarti Anda harus mencampur saus tomat ke nasi Anda? Tentu tidak. Biarkan dia dengan saus tomatnya, Anda dengan sambal Anda. Toleransi bukan soal menyeragamkan rasa, tapi menerima bahwa ada rasa yang berbeda tanpa merasa terancam.


Langkah 3: Ingat, Semua Orang Butuh Nasi—Bukan Cuma Topping-nya

Apa pun gaya nasi gorengnya, inti dari nasi goreng tetap nasi. Nggak mungkin dong bikin nasi goreng tanpa nasi (kalau iya, itu namanya salad). Topping seperti telur, ayam, atau udang itu cuma tambahan—yang bikin nasi goreng jadi kaya rasa, tapi bukan elemen utama.

Begitu juga dalam hidup. Terlepas dari agama, budaya, atau kebiasaan, kita semua punya kebutuhan dasar yang sama: dihormati, diberi ruang untuk hidup damai, dan diperlakukan dengan adil. Ini mirip dengan nasi dalam nasi goreng—fondasi yang nggak bisa diganggu gugat.

Contohnya, kalau teman Anda suka nasi goreng tanpa telur karena alergi, Anda nggak harus memaksanya makan telur hanya karena menurut Anda itu bikin nasi goreng lebih enak. Sebaliknya, Anda juga nggak perlu merasa tersinggung kalau dia tetap memilih topping lain. Fokuslah pada kesamaan: sama-sama menikmati nasi goreng sebagai makanan.

Dalam kehidupan nyata, ini berarti menghargai kebutuhan dasar semua orang, tanpa memusingkan perbedaan kecil seperti “topping” keyakinan atau tradisi mereka.


Langkah 4: Jangan Paksa Orang Lain Ikut Selera Anda

Toleransi itu bukan soal memaksakan standar kita ke orang lain. Contohnya, Anda suka nasi goreng gosong karena rasanya lebih berkarakter (alias lupa matiin api). Teman Anda lebih suka nasi goreng yang lembut dan nggak bau asap. Jangan bilang, “Nasi goreng gosong itu seni, kamu nggak ngerti apa?”

Begitu juga dalam hidup. Kalau Anda Muslim, nggak perlu memaksa non-Muslim menjalankan aturan agama Anda. Sama seperti Anda juga nggak suka dipaksa ikut keyakinan mereka. Dalam Islam, ada ayat yang jelas, “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqarah: 256). Jadi, tenang aja. Kita bisa hidup damai tanpa harus memaksakan nasi goreng gosong ke semua orang.

Langkah 5: Jangan Menilai Resep Orang Lain dari Standar Resep Anda

Bayangkan ada orang yang bikin nasi goreng pakai nanas. Anda mungkin berpikir, “Ini nasi goreng apa pizza tropikal?” Tapi sebelum buru-buru nge-judge, ingat bahwa standar Anda bukan satu-satunya standar yang ada.

Begitu juga dalam hidup. Toleransi berarti menghargai cara orang lain menjalani hidup sesuai keyakinan mereka, tanpa menilai itu dengan kacamata Anda sendiri. Kalau Anda Muslim, Anda nggak harus memahami ritual atau kebiasaan agama lain berdasarkan ajaran Islam. Mereka punya resep hidupnya sendiri, sama seperti Anda punya resep nasi goreng favorit Anda.

Tugas kita bukan untuk menyamakan rasa atau menyalahkan pilihan mereka, tapi menghormati bahwa setiap orang punya cara sendiri untuk menikmati "hidangan hidupnya." Jadi, fokuslah pada nasi goreng Anda sendiri, dan biarkan orang lain menikmati nasi goreng versinya.

Penutup: Resep Hidup yang Gurih-Gurih Damai

Tasamuh itu seperti memasak nasi goreng:

  1. Hormati bahan dan selera orang lain.
  2. Jangan campur bahan seenaknya.
  3. Ingat bahwa semua orang butuh “nasi”—kebutuhan dasar manusia.
  4. Jangan memaksakan selera Anda ke orang lain.
  5. Jangan menilai resep orang lain dari standar Anda.

Hidup itu seperti nasi goreng, penuh warna dan rasa. Tapi kalau kita bisa masak dengan hati yang lapang dan tangan yang ringan, hasilnya pasti akan gurih-gurih damai. Jadi, yuk masak nasi goreng versi tasamuh—karena dunia ini lebih indah kalau kita saling menghormati tanpa harus mencampur semua bumbu dalam satu wajan.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...