Pernahkah kita berpikir, bagaimana rasanya jika tidak lagi mendengar adzan dalam kehidupan sehari-hari?
Saya punya seorang kawan, seorang perempuan dari etnis Cina beragama Katolik. Dari kecil, ia tinggal di lingkungan Betawi, di mana dua masjid berdiri tak jauh dari rumahnya. Suara adzan, dari Subuh hingga Isya, adalah bagian dari kesehariannya. Namun, semua berubah ketika ia pindah ke Amerika dan menetap di sana selama sepuluh tahun.
Ketika ia kembali ke Indonesia, saya bertanya, apa yang paling ia rindukan dari tanah air? Jawabannya mengejutkan: suara adzan. Bagi saya, mendengar seorang non-Muslim mengatakan hal itu adalah pengalaman yang menggetarkan.
Bahkan mendiang Anthony Bourdain, saat shooting di Indonesia, terpesona mendengar adzan. Ia menyebutnya sebagai “call to prayer”, seruan yang melampaui sekadar ritual keagamaan. Baginya, adzan adalah pengingat spiritual, bukan panggilan untuk Tuhan, melainkan untuk manusia.
Kontrasnya, di Kyoto, Jepang, suasana sangat berbeda. Seorang kawan saya, lulusan pesantren yang kini menjadi imam di masjid kecil di sana, hanya bisa melantunkan adzan di dalam ruangan. Kota itu memuja keheningan. Tidak ada suara adzan yang bergema di luar. Namun, dalam diam itu, ada ketenangan yang menyentuh jiwa.
Bukankah ironis jika kita yang hidup di Indonesia, tempat adzan berkumandang bebas, justru merasa terganggu oleh kehadirannya? Adzan bukan sekadar seruan. Ia adalah pengingat, seruan yang dirindukan bahkan oleh mereka yang tak menjalankannya.
Comments
Post a Comment