Skip to main content

Adzan yang Dirindukan


Pernahkah kita berpikir, bagaimana rasanya jika tidak lagi mendengar adzan dalam kehidupan sehari-hari?

Saya punya seorang kawan, seorang perempuan dari etnis Cina beragama Katolik. Dari kecil, ia tinggal di lingkungan Betawi, di mana dua masjid berdiri tak jauh dari rumahnya. Suara adzan, dari Subuh hingga Isya, adalah bagian dari kesehariannya. Namun, semua berubah ketika ia pindah ke Amerika dan menetap di sana selama sepuluh tahun.

Ketika ia kembali ke Indonesia, saya bertanya, apa yang paling ia rindukan dari tanah air? Jawabannya mengejutkan: suara adzan. Bagi saya, mendengar seorang non-Muslim mengatakan hal itu adalah pengalaman yang menggetarkan.

Bahkan mendiang Anthony Bourdain, saat shooting di Indonesia, terpesona mendengar adzan. Ia menyebutnya sebagai “call to prayer”, seruan yang melampaui sekadar ritual keagamaan. Baginya, adzan adalah pengingat spiritual, bukan panggilan untuk Tuhan, melainkan untuk manusia.

Kontrasnya, di Kyoto, Jepang, suasana sangat berbeda. Seorang kawan saya, lulusan pesantren yang kini menjadi imam di masjid kecil di sana, hanya bisa melantunkan adzan di dalam ruangan. Kota itu memuja keheningan. Tidak ada suara adzan yang bergema di luar. Namun, dalam diam itu, ada ketenangan yang menyentuh jiwa.

Bukankah ironis jika kita yang hidup di Indonesia, tempat adzan berkumandang bebas, justru merasa terganggu oleh kehadirannya? Adzan bukan sekadar seruan. Ia adalah pengingat, seruan yang dirindukan bahkan oleh mereka yang tak menjalankannya.


Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...