Di kedalaman angkasa yang sunyi, Stasiun Luar Angkasa International (ISS) mengorbit planet biru yang tampak kecil, tenang, dan indah. Kapten Barry Wilmore duduk di modul kontrol, mengawasi layar monitor yang menampilkan data sensor. Bersamanya, Ramirez, teknisi berbakat yang selalu mampu menenangkan ketegangan dengan humor khasnya, tampak sibuk memeriksa sistem oksigen. Hari itu tampak seperti hari biasa di orbit, hingga sebuah suara memecah keheningan.
TOK... TOK... TOK...
Barry langsung menoleh ke arah suara itu, begitu juga Ramirez. Ketukan itu datang dari jendela porthole di modul penumpang. Barry merasa bulu kuduknya meremang. Tidak ada yang seharusnya bisa mengetuk dari luar stasiun.
“Siapa di luar sana?” Barry bertanya, mencoba mengendalikan suaranya yang gemetar.
Ramirez menggelengkan kepala, ekspresinya sama bingungnya. “Itu… mustahil. Semua kru ada di dalam. Tidak ada misi EVA hari ini.”
Barry mendekati jendela porthole. Di balik kaca, seorang pria dalam baju antariksa berdiri di luar, melayang dalam kehampaan. Wajahnya tersembunyi di balik helm, tapi dia mengangkat tangannya, melambai pelan. Barry menekan tombol komunikasi.
“Siapa ini?” tanyanya, suaranya tegas.
Dari speaker terdengar suara, terputus-putus oleh interferensi statis. “Ini aku... Ramirez... selesai melakukan perbaikan di modul luar. Biarkan aku masuk, Kapten.”
Barry mematung. Ia menoleh ke Ramirez yang berdiri di sampingnya, wajahnya berubah pucat seperti mayat.
“Aku... aku di sini,” gumam Ramirez, hampir tak terdengar.
Barry kembali ke radio. “Itu tidak mungkin. Ramirez ada di sini bersamaku.”
Pria di luar mengetuk kaca lebih keras, seolah-olah ingin mendobrak masuk. “Dengar, Kapten. Orang di dalam itu bukan aku! Aku yang asli! Dia pemalsu! Aku yang melakukan perbaikan modul!”
Di dalam, Ramirez meraih lengan Barry. “Jangan percaya dia! Jangan buka pintunya! Aku tidak pernah meninggalkan stasiun hari ini!”
Suara dari luar kembali terdengar, semakin panik. “Kapten! Kumohon, aku tidak punya banyak oksigen lagi. Aku benar-benar Ramirez! Kau harus percaya padaku!”
Barry terjebak dalam dilema yang mematikan. Satu Ramirez ada di dalam ruangan bersamanya, memohon agar pintu tetap tertutup. Sementara di luar, seseorang yang mengaku sebagai Ramirez terus mengetuk, suaranya semakin terdesak.
Ketegangan semakin memuncak ketika pria di luar mulai menggedor kaca dengan keras. “AKU TIDAK BERBOHONG! KUMOHON! BIARKAN AKU MASUK!” teriaknya, hampir seperti jeritan.
Barry merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Di kepalanya, pikiran saling bertabrakan. Siapa yang asli? Apa yang sedang terjadi?
“Tolong, Kapten...” Ramirez di dalam ruangan berbicara pelan, hampir berbisik. “Jangan buka pintunya. Jika kau melakukannya, kita semua dalam bahaya.”
Barry memandang kembali ke jendela. Sosok itu kini diam, tidak lagi mengetuk. Namun, ia perlahan mendekatkan helmnya ke kaca. Melalui visor gelap, Barry melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku. Tidak ada wajah manusia di dalam helm itu, hanya kegelapan pekat dengan sepasang mata merah menyala yang menatap balik ke arahnya.
“Buka pintu ini, Kapten,” suara di radio berubah, tidak lagi terdengar seperti Ramirez. “Aku hanya ingin pulang...”
Sadar akan bahaya, Barry dengan cepat memutus komunikasi dan menutup sistem keamanan tambahan di airlock. Ramirez di sebelahnya terduduk, menggenggam salib kecil yang selalu ia bawa.
“Kita tidak sendirian di sini,” bisiknya.
Barry hanya bisa mengangguk, matanya tetap terpaku pada jendela. Di luar, sosok itu perlahan menghilang ke dalam kegelapan, tapi perasaan mengerikan tetap menyelimuti stasiun.
Dan untuk pertama kalinya, Barry menyadari bahwa keindahan Bumi dari angkasa hanya menutupi kengerian yang sebenarnya ada di luar sana.
Comments
Post a Comment