Skip to main content

Mesin Waktu


"You know what, Joe... lo nggak perlu mesin waktu untuk kembali ke masa lalu."

Sekonyong-konyong temanku, Billy, membahas mesin waktu. Mungkin karena dia terinspirasi setelah melihat aku menonton Back to the Future di laptopku, di pojok sofa kantor tempat kami sering brainstorming. Aku tekan tombol pause di film yang dibintangi Michael J. Fox dan Christopher Lloyd itu, lalu mencoba mencerna maksudnya.

"Maksud lo gimana, Bil?" tanyaku sambil menyandarkan tubuh ke sofa.

"Kalau lo sekadar pengen ngerasain, atau feeling the moment again, lo cukup setel lagu yang berhubungan dengan momen itu," katanya sambil melipat tangan di belakang kepala, seperti profesor yang baru saja menemukan teori brilian.

Aku mengangkat alis. "Lagu?"

"Iya, lagu! Contohnya nih... pas gue pertama kali belajar main gitar, awal-awal ngeband di SMA, gue sering mainin lagunya Radiohead yang Creep."

Billy memejamkan mata dan tersenyum kecil. "Jadi kalau gue pengen ngerasain lagi momen itu, gue cukup setel Creep, pasang headphones, terus pejamin mata. Beres. Gue langsung balik ke momen itu."

Aku memperhatikan wajahnya yang terlihat damai. "Serius lo?" tanyaku skeptis.

Billy membuka mata, mengembuskan napas pendek, lalu berkata dengan nada tegas, "Serius, Joe. Lo coba deh. Gue yakin lo bakal ngerti maksud gue."

Aku mengangguk pelan. "Oke, gue coba kapan-kapan."

"Eh, besok jangan lupa ya, pitching buat Nike. Siapin presentasi lo yang bener!" katanya sambil bangkit dari sofa.

"Sí jefe!" jawabku sambil memberi hormat ala tentara.

"Adios, hasta mañana!" Billy melambaikan tangan, lalu menghilang di balik pintu.

Aku terdiam sejenak, mencerna ide Billy. Tanganku bergerak menuju mouse, lalu membuka playlist di iTunes. Aku mencari sebuah lagu yang terasa seperti lembaran kenangan yang lama tak kubuka.

"The Loneliest" by Rufio. Gumamku.

Aku menarik napas panjang, memasang headphones, dan menutup mata.

"Oh, Erika…" pikirku, perlahan. “Masih ingatkah kau, saat kita menyusuri gang kecil itu, berbagi earphone yang hanya berfungsi sebelah?” Suara melodi mulai mengalun di pikiranku, membawa ingatan yang kusimpan di sudut hati.

Sejenak, waktu terasa membeku. Aku bukan lagi Joe yang duduk di sofa kantor, tapi Joe yang berlari melawan gerimis bersama Erika, tertawa di bawah lampu jalan yang remang-remang. Lagu itu mengisi kekosongan, melintasi ruang dan waktu.

Aku tersenyum kecil. Mungkin Billy benar. Mesin waktu itu tidak selalu harus berbentuk alat canggih. Kadang, ia hanya membutuhkan sepotong lagu, sepasang headphone, dan mata yang terpejam.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...