Skip to main content

Roro Jonggrang dan Deadline yang Keterlaluan


Bandung Bondowoso bukanlah sembarang pria. Di usia muda, ia sudah menjadi CEO startup konstruksi bernama Bondowoso Build & Co. yang terkenal karena kecepatannya membangun gedung. Dengan teknologi AI, tenaga kerja robotik, dan inovasi beton instan, ia berhasil menyelesaikan proyek-proyek besar dalam waktu singkat. Namun, ada satu proyek yang membuatnya benar-benar tertantang: Prambanan City.

Proyek ini adalah impiannya—sebuah kota futuristik dengan arsitektur megah yang akan menjadi ikon baru. Sayangnya, ada satu rintangan besar yang menghalangi: lahan utama milik keluarga Roro Jonggrang.

Roro Jonggrang, seorang pewaris tanah sekaligus influencer yang sering memposting tentang kehidupan ala "slow living," bukanlah tipe orang yang gampang luluh oleh proposal bisnis. Waktu Bandung datang dengan tawaran kerjasama, Roro hanya menyeringai dan menjawab santai,

"Kalau mau tanah ini, bangun dulu 1.000 gedung dalam satu malam. Kalau nggak bisa, cari tanah lain."

Bandung hampir menyemburkan kopinya. "Seriusan? Roro, ini bukan game Minecraft. Bahkan di The Sims pun butuh waktu lebih lama dari itu."

"Yaudah kalau nggak bisa, nggak usah dipaksa. Lahan ini udah enak buat camping dan ngeteh sore. Aku nggak mau lihat beton di mana-mana," kata Roro sambil memotret langit senja untuk Instagramnya.

Namun, Bandung bukan orang yang gampang menyerah. Dia menerima tantangan itu.

Malam harinya, tim Bondowoso Build & Co. bekerja dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Drone-drone konstruksi beterbangan, printer 3D raksasa mencetak rangka bangunan, dan robot-robot pekerja sibuk memasang panel kaca dalam hitungan menit. Gedung demi gedung mulai berdiri.

Sementara itu, Roro Jonggrang mulai panik.

"Ini nggak mungkin... mereka beneran bisa?" gumamnya sambil melihat live-streaming proyek dari tablet-nya.

Dalam waktu lima jam, 500 gedung sudah berdiri. Tiga jam kemudian, jumlahnya mencapai 800.

"Gawat. Aku cuma becanda, kok dia beneran ngebangun semuanya?!"

Roro pun mulai berpikir keras. Kalau ini berlanjut, Prambanan City akan jadi kenyataan, dan tanahnya bakal dipenuhi gedung-gedung futuristik alih-alih hutan yang ia cintai. Dia harus bertindak.

Dengan bantuan gengnya—sekelompok mahasiswa desain yang gemar sabotase "estetika urban"—mereka menyusun rencana. Targetnya? Membuat para pekerja AI dan robot berpikir bahwa pagi sudah tiba.

Langkah pertama: Menyalakan semua lampu stadion dan proyektor raksasa untuk menciptakan efek matahari terbit. Langkah kedua: Memutar suara ayam berkokok dari speaker JBL yang disebar di sekitar lokasi proyek. Langkah ketiga: Mengirim notifikasi palsu ke server Bondowoso Build & Co. bahwa batas waktu proyek telah berakhir.

"Oke, kita mulai dalam hitungan tiga... dua... satu...!" Roro memberi aba-aba.

Dan dalam sekejap, Prambanan City 'palsu' pun tercipta.

Cahaya terang benderang membanjiri area proyek, para robot mulai melambat, sistem AI membaca notifikasi palsu sebagai tanda untuk "shift berakhir," dan para insinyur mulai berkemas sambil menguap, mengira sudah masuk jam pagi.

Bandung yang sedang menghitung progres tiba-tiba mengernyit.

"Lho, kok udah pagi? Aku yakin masih ada waktu..." Ia melihat jam tangannya. 03:45.

Ia segera mengecek server dan menyadari sesuatu yang aneh. Alarm pagi palsu.

"Oh, Roro. Kamu pikir bisa menipuku?" Bandung tersenyum tipis, segera memeriksa jumlah gedung yang sudah selesai.

999.

Satu gedung lagi, dan ia menang. Tapi para robot sudah mati, sistem sudah shut down, dan pekerja manusia sudah pulang.

"Nggak... ini nggak bisa dibiarkan," gumamnya sambil mengacak rambutnya frustasi.

Ia lalu berlari ke rumah Roro, yang sedang bersantai di hammock sambil ngopi.

"Roro! Kamu curang!" Bandung menunjuknya dengan ekspresi gemas.

"Eh? Curang apaan? Kan aku cuma nyiptain suasana pagi yang lebih awal." Roro terkekeh, berusaha tetap cool.

"Ya tapi... aku tinggal satu gedung lagi!" Bandung menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Oke, dengar. Kamu nggak benar-benar mau aku menyelesaikan ini, kan? Kenapa?"

Roro menghela napas. "Aku cuma nggak mau tempat ini berubah jadi kota penuh beton. Aku suka alamnya, suasananya... Aku nggak siap kehilangan semua ini."

Bandung mengangguk, akhirnya memahami. "Tapi kamu juga tahu kalau kita butuh pembangunan, kan? Mungkin bukan 1.000 gedung dalam satu malam, tapi konsep kota yang lebih ramah lingkungan dan manusiawi."

Roro terdiam sejenak, lalu tersenyum.

"Oke, gimana kalau kompromi? Aku kasih lahannya, tapi proyeknya harus ada ruang hijau yang besar, dan nggak boleh ada lebih dari 100 gedung tinggi. Deal?"

Bandung berpikir sejenak, lalu tersenyum. "Deal."

Sebagai gantinya, Bandung membuat satu gedung terakhir bukan untuk perkantoran atau apartemen, melainkan museum interaktif yang menceritakan tentang keindahan alam dan warisan budaya tempat itu. Gedung ke-1.000 bukanlah pencakar langit, tapi ruang edukasi dan seni.

Sebagai kejutan, Bandung menamai museum itu "Roro Jonggrang Hall"—sebuah penghargaan untuk wanita yang berhasil mengajarinya arti keseimbangan dalam pembangunan.

Dan begitulah kisah Roro Jonggrang di era modern: bukan lagi kutukan jadi patung, tapi ikon dalam dunia arsitektur hijau.

Epilog

Beberapa tahun kemudian, Prambanan City menjadi contoh kota futuristik dengan keberlanjutan terbaik di dunia. Roro tetap bisa menikmati pemandangan senja sambil menyeruput kopi, dan Bandung bisa tetap mengembangkan inovasi konstruksi ramah lingkungan.

Di salah satu taman kota, terdapat patung hologram Roro Jonggrang yang bukan sekadar pajangan, tetapi asisten AI yang bisa berbicara tentang sejarah dan filosofi kota itu.

Dan setiap kali turis bertanya, "Siapa Roro Jonggrang ini?" Hologram itu akan tersenyum dan berkata,

"Aku adalah orang yang hampir mengalahkan Bandung Bondowoso... dan yang akhirnya membuatnya berpikir lebih baik tentang masa depan."

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...