Dunia ini memang aneh. Ada orang yang ingin terkenal tapi malah ditolak mentah-mentah oleh spotlight, dan ada juga yang niatnya ingin menghilangkan sesuatu tapi justru sukses membuatnya makin mendunia. Itulah yang disebut dengan Streisand Effect, fenomena di mana sesuatu yang berusaha ditutupi malah jadi makin viral dan terkenal. Dan ya, baru-baru ini kita disuguhkan contoh nyata dari efek ini: kasus lagu "Bayar, Bayar, Bayar" dari band punk asal Purbalingga, Sukatani.
Awalnya, mungkin hanya sekumpulan punkers di sudut warung kopi yang tahu lagu ini. Tapi begitu ada 'pihak tertentu' yang merasa perlu memberikan tanggapan serius—boom! Lagu ini melesat ke permukaan. Publik pun penasaran, bertanya-tanya: Lagu macam apa yang sampai bikin ada permintaan maaf segala?
Lagu yang Mengguncang Dunia (Eh, Maksudnya Indonesia)
"Bayar, Bayar, Bayar" adalah lagu yang liriknya bisa bikin dompet mendadak kosong sebelum akhir bulan. Sejak pertama kali dirilis pada Juli 2023 dalam album Gelap Gempita, lagu ini memang sudah menohok. Liriknya menyinggung praktik yang katanya sudah diberantas tapi entah kenapa tetap langgeng bak hubungan toxic yang nggak bisa move on.
Lirik seperti:
Mau bikin SIM bayar polisi
Ketilang di jalan bayar polisi
Touring motor gede bayar polisi
Angkot mau ngetem bayar polisi
bukan cuma sekadar rangkaian kata yang enak dinyanyikan, tapi juga gambaran realitas yang, ya, tahu sendiri lah. Siapa pun yang pernah berhadapan dengan 'surat tilang berwarna biru' pasti paham betul konteksnya. Tapi mungkin karena terlalu "real", lagu ini akhirnya harus 'dibumihanguskan' dari platform musik digital. Bukan karena lagunya berbahaya seperti teori konspirasi alien, tapi karena, sepertinya, ada yang merasa tersindir.
Mohon Maaf, Kritiknya Dihapus
Setelah viral, band Sukatani tiba-tiba muncul dengan pernyataan maaf. Lagu mereka dihapus dari berbagai platform musik digital. Dan di sinilah publik mulai curiga: Kenapa harus minta maaf? Ada yang suruh? Atau tiba-tiba sadar kalau isi liriknya terlalu jujur?
Para penggiat demokrasi pun langsung menangkap aroma yang tidak sedap dari kejadian ini. Dugaan pun bermunculan: Apakah ada tekanan? Apakah ada intimidasi terselubung? Kalau benar mereka dipaksa untuk minta maaf, maka ini bukan cuma soal lagu lagi. Ini sudah menyentuh isu kebebasan berekspresi. Masih adakah ruang untuk kritik di negeri ini?
Sebagai perbandingan, di luar negeri, lagu-lagu punk sering kali menjadi alat perlawanan terhadap ketidakadilan sosial dan institusi yang menyalahgunakan kekuasaan. Sex Pistols, Dead Kennedys, Rage Against the Machine—mereka semua pernah menyuarakan hal yang sama dalam bentuk yang lebih keras, tapi entah kenapa tetap bisa eksis. Kenapa di sini malah seolah ada sensor tak kasat mata yang langsung bekerja begitu ada kritik? Ah, mungkin kita memang bukan negara yang anti kritik, hanya saja kita lebih suka kritik yang ramah dan tidak menyakitkan hati. Kritik yang kalau bisa, ditulis pakai kata-kata manis dengan senyum penuh pengertian.
Streisand Effect: Semakin Dilarang, Semakin Viral
Sebenarnya, kalau tujuannya ingin menghilangkan lagu ini dari peredaran, cara yang dipilih jelas salah besar. Justru dengan dihapus dan dengan munculnya permintaan maaf yang penuh tanda tanya, orang-orang makin penasaran. Fenomena Streisand Effect bekerja dengan sempurna: semakin ingin dikubur, semakin dalam orang-orang menggali.
Dulu, mungkin hanya pendengar punk indie yang tahu lagu ini. Tapi begitu kasusnya viral, masyarakat awam pun ikut mencari. Bahkan, lagu ini sampai diputar dalam aksi Kamisan—demonstrasi rutin yang memperjuangkan keadilan di Indonesia. Artinya, efeknya justru makin meluas. Alih-alih meredam, ini malah jadi bensin yang menyulut api lebih besar.
Lalu, Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Dari kasus ini, ada beberapa hal yang bisa kita petik:
Kalau mau menghilangkan sesuatu, jangan terlalu heboh. Begitu terlihat ada usaha membungkam, orang malah makin penasaran. Sama seperti ketika seorang selebriti bikin skandal terus bilang "Saya nggak mau bahas ini", ya justru itu yang bikin makin digali.
Lagu punk memang harusnya seperti ini. Punk bukan genre yang diciptakan untuk lagu-lagu romantis mellow. Punk itu perlawanan, suara dari jalanan, dan ekspresi dari keresahan. Jadi, kalau ada yang marah gara-gara lagu punk, berarti lagu itu sukses.
Kritik itu sehat. Kalau kritik selalu dianggap ancaman, ya kita bakal terus stagnan. Kritik seharusnya jadi cermin, bukan bom waktu yang harus dijinakkan.
Indonesia belum sepenuhnya nyaman dengan kebebasan berekspresi. Setiap kali ada kritik yang tajam, pasti ada konsekuensi. Entah itu tekanan, intimidasi, atau sekadar cap "pengacau". Mungkin, kita masih berada di tahap di mana kritik hanya boleh kalau bentuknya sindiran halus, yang disampaikan dengan senyum ramah dan kata-kata berbunga-bunga.
Penutup: Berhenti Takut dengan Musik!
Di zaman di mana informasi menyebar lebih cepat dari kilat, menekan sebuah lagu bukan solusi. Justru sebaliknya, biarkan musik berbicara. Kalau memang ada yang salah dari isi liriknya, tanggapi dengan argumen, bukan paksaan. Kalau memang ingin membantah, tunjukkan dengan bukti, bukan dengan sensor.
Toh, kalau benar kritik itu nggak relevan, orang-orang juga nggak akan peduli. Tapi kalau sampai ada usaha untuk membungkam, ya jangan salahkan kalau makin banyak orang yang ingin mendengar.
Jadi, siap-siap saja, mungkin suatu hari nanti ada band punk lain yang bakal bikin lagu tentang kasus ini. Dan kalau itu terjadi, ya... selamat datang di Streisand Effect jilid dua!
Comments
Post a Comment