Di sudut sebuah kedai kopi kecil yang tenang di tengah kota, dua pria duduk saling berhadapan di sebuah meja kayu yang dipenuhi dengan buku-buku dan laptop. Aroma kopi yang harum memenuhi udara, memberikan rasa nyaman dan santai.
Ardi, seorang pekerja kantoran berusia 35 tahun, sedang menyeruput kopi Americano-nya. Dia baru saja menyelesaikan presentasi besar di kantornya dan memutuskan untuk mengambil waktu sejenak untuk bersantai. Di seberangnya, Bimo, seorang pengusaha berusia 40 tahun, menikmati secangkir kopi latte. Bimo baru saja keluar dari rapat penting dengan beberapa klien.
Awalnya, mereka hanya duduk dalam diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ardi sesekali melirik ke arah layar ponselnya, membaca berita terbaru tentang pertandingan bola semalam. Sementara itu, Bimo memeriksa email dari asistennya yang berisi update tentang proyek terbaru.
"Mas, nonton pertandingan bola semalam?" Ardi memecah keheningan, mencoba memulai percakapan.
Bimo menoleh dan tersenyum, "Oh, tentu saja. Pertandingan yang luar biasa, bukan?"
"Ya, sangat seru. Saya hampir tidak bisa duduk tenang saat melihat gol penentu itu," jawab Ardi dengan semangat.
"Ah, saya fans Arsenal. Sakit hati juga musim ini, padahal sudah sempat di puncak klasemen," kata Bimo sambil menghela napas.
Ardi mengangguk. "Ya, Arsenal sudah berjuang keras. Tapi Man City memang tangguh sekali. Gagal di pertandingan terakhir pasti pahit."
Bimo mengangguk. "Betul, pertandingan terakhir itu sangat menentukan. Arsenal sudah menuntaskan tugas mereka dengan baik, menang 2-1 lawan Everton. Tapi sayangnya, Man City juga menang lawan West Ham, jadi Arsenal cuma bisa finis di peringkat dua."
"Memang pahit. Tapi Arsenal musim ini sangat impresif. Mereka memecahkan banyak rekor pribadi, termasuk 28 kemenangan dalam semusim. Luar biasa," puji Ardi.
"Iya, musim ini terbaik dalam sejarah mereka di Premier League. Tapi tetap saja, nggak dapat trofi rasanya tetap berat," tambah Bimo.
Ardi tertawa kecil. "Saya sebagai fans Liverpool juga pernah merasakan itu, Mas. Jadi saya ngerti banget. Tapi, Arsenal punya skuad muda yang menjanjikan. Masa depan mereka cerah."
Percakapan beralih ke isu global. Mereka membahas konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia dan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari.
"Wah, dunia memang tidak pernah sepi dari konflik ya," kata Bimo sambil menghela napas. "Terkadang saya berpikir, kenapa manusia selalu sulit untuk hidup berdampingan dengan damai."
"Betul, Mas. Contohnya seperti yang terjadi di Ukraina dan Palestina. Negara-negara Barat sangat vokal tentang pendudukan ilegal dan penderitaan di Ukraina, tapi terkesan abai terhadap penderitaan di Gaza," kata Ardi dengan nada prihatin.
Bimo mengangguk. "Itulah yang saya sebut standar ganda. Ribuan orang di Palestina hidup dalam ketakutan setiap hari, tapi dunia seolah-olah diam saja."
Ardi menghela napas panjang. "Tren ini adalah fakta nyata, terlepas dari sejauh mana hal tersebut dapat dibenarkan. Ini merupakan kemunduran serius bagi negara-negara Barat yang telah lama berupaya menjalin hubungan lebih erat dengan negara-negara lain, terutama negara Islam."
Bimo melanjutkan, "Namun, saya perhatikan sikap Barat tidak sepenuhnya monolitik. Amerika Serikat, yang merupakan pendukung besar Israel, membiarkan resolusi PBB yang menyerukan gencatan senjata tanpa mengutuk serangan Hamas. Sementara negara-negara seperti Spanyol, Belgia, dan Irlandia sudah mulai mengkritik pemerintahan Benjamin Netanyahu."
Ardi mengangguk. "Posisi Barat memang berubah-ubah, tapi keragu-raguan awal untuk mengkritik penderitaan warga sipil Palestina sudah memicu rasa kemunafikan. Ada persepsi bahwa undang-undang ini tidak berlaku secara universal, melainkan selektif."
"Benar sekali," kata Bimo. "Persepsi ini semakin diperkuat jika dibandingkan dengan tanggapan Eropa terhadap perang Rusia di Ukraina. Setiap konflik memang punya ciri khasnya masing-masing, tapi dari sudut pandang hukum internasional, terdapat kesamaan yang jelas antara Ukraina dan Gaza. Kedua kasus ini sama-sama menyoroti pentingnya meminimalkan kerugian terhadap warga sipil dan tidak boleh ada akuisisi wilayah dengan kekerasan."
Obrolan mereka semakin dalam. Dari konflik dunia, topik pembicaraan berlanjut ke kebijakan pemerintah yang sering kali membuat mereka merasa geram. Mereka berbicara tentang keputusan-keputusan yang dirasa tidak masuk akal, birokrasi yang berbelit-belit, dan kebijakan yang dirasa tidak berpihak pada rakyat kecil.
"Kadang saya merasa kebijakan pemerintah itu hanya menguntungkan segelintir orang," keluh Ardi. "Seperti kebijakan soal kenaikan uang kuliah tunggal (UKT)."
Bimo setuju. "Betul, Mas. Kenaikan UKT itu memberatkan sekali. Bayangkan saja, biaya pendidikan tinggi yang semakin mahal. Ini berpotensi menyempitkan akses bagi masyarakat dengan latar belakang ekonomi menengah dan bawah."
"Iya, benar. Privatisasi pendidikan tinggi ini bisa membuat mobilitas sosial semakin sulit. Banyak orang jadi tidak bisa memperbaiki nasib karena biaya kuliah yang terlalu tinggi," tambah Ardi.
"Selain itu, ada juga rencana Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Ini juga berat, Mas. Rencana pemerintah untuk memotong gaji karyawan, termasuk pekerja informal seperti pengemudi ojek daring, akan menambah beban kelas menengah," kata Bimo.
"Terimpitnya kelas menengah ini tidak hanya merugikan individu saja, tapi juga bisa menekan daya beli masyarakat. Kalau daya beli menurun, perputaran ekonomi bisa melambat," jelas Ardi.
Bimo mengangguk. "Dan itu belum semua. Draf RUU TNI yang sekarang tengah dibahas juga mengandung klausul kontroversial. Kalau disetujui, anggota TNI aktif bisa menduduki jabatan di pos institusi publik. Ini mengingatkan saya pada era pemerintahan Suharto yang otoriter."
"Benar, Mas. Kita semua tentu tidak ingin perjuangan reformasi dan upaya untuk menjaganya tuntas akibat diketoknya RUU tersebut," kata Ardi dengan nada serius.
"Jangan lupa juga soal putusan MA terkait batas umur pencalonan kepala daerah. Perubahan ini memantik kontroversi karena sarat akan kepentingan politik," tambah Bimo.
Ardi menghela napas. "Betul, Mas. Sebelumnya syarat usia 30 tahun bagi calon gubernur dan calon wakil gubernur dihitung saat penetapan pasangan calon. Sekarang diubah menjadi saat dilantik. Perubahan yang tiba-tiba ini sangat mencurigakan."
Percakapan mereka terus berlanjut, mengalir tanpa henti. Kedua pria ini menemukan kenyamanan dalam berbagi pandangan dan pengalaman mereka, meski hanya sejenak di sudut kedai kopi yang hangat ini.
Di tengah suasana kedai kopi yang semakin ramai dengan pelanggan yang datang dan pergi, Ardi dan Bimo tetap fokus pada percakapan mereka yang semakin dalam.
"Apa pendapatmu tentang revisi MA terkait syarat pencalonan kepala daerah itu, Mas?" tanya Ardi, mencoba menggali pandangan Bimo lebih dalam.
Bimo mengangguk serius. "Menurutku, perubahan itu sangat berpotensi mempengaruhi dinamika politik lokal. Ketika usia pencalonan dihitung saat dilantik, bisa memberikan ruang lebih bagi politisi senior untuk tetap berkompetisi."
"Aku setuju," sahut Ardi sambil mengangguk. "Ini memang sebuah keputusan hukum yang bisa berdampak besar pada arah politik di daerah. Dan biasanya, kepentingan politik selalu hadir dalam berbagai perubahan aturan."
Percakapan mereka kemudian meluncur ke isu Tapera. Bimo memulai, "Soal Tapera, sebenarnya saya mendukung ide memberdayakan masyarakat untuk menabung. Tapi memotong gaji untuk itu, terutama di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil, bisa membebani banyak orang."
Ardi mengangguk, "Betul, Mas. Konsepnya bagus untuk jangka panjang, tapi diimplementasikan harus tepat. Karena jika tidak, dampaknya bisa sangat dirasakan oleh kelas menengah ke bawah."
"Mereka memang selalu jadi yang paling terpukul dalam kebijakan-kebijakan seperti ini," tambah Bimo dengan nada prihatin.
Percakapan mereka terus mengalir, membahas berbagai kebijakan pemerintah dan dampaknya pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Mereka saling mengamati dari sudut pandang yang berbeda, tetapi dengan tujuan yang sama: mencari solusi terbaik bagi masyarakat.
"Dan soal RUU TNI itu, Mas," kata Ardi, mengalihkan topik kembali ke isu yang kontroversial. "Kita tentu harus hati-hati dalam memberikan akses anggota TNI aktif ke posisi di institusi publik. Kehadiran militer dalam pemerintahan harus diatur dengan sangat ketat."
Bimo mengangguk setuju. "Ya, benar sekali. Ini bisa membuka celah untuk eksploitasi dan penyalahgunaan kekuasaan. Kita harus belajar dari sejarah dan memastikan proses legislasi ini benar-benar mempertimbangkan semua risikonya."
Dalam suasananya yang tenang, percakapan mereka memperdalam wawasan satu sama lain. Meskipun hanya dalam obrolan singkat di sudut kedai kopi, Ardi dan Bimo merasa bahwa berbagi pandangan ini penting untuk menguatkan pemahaman mereka tentang realitas sosial, politik, dan ekonomi yang ada di sekitar mereka.
"Ya, Mas. Semoga ke depannya kebijakan-kebijakan ini bisa lebih berpihak pada kepentingan rakyat banyak," ujar Ardi sambil mengangguk penuh harap.
Bimo tersenyum, "Kita sebagai warga negara juga punya tanggung jawab untuk terus mengawal dan memberikan masukan konstruktif, agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar berdampak positif."
Percakapan mereka berakhir dalam nada optimis. Mereka menyelesaikan secangkir kopi terakhir mereka, saling menyapa dan berjanji untuk bertemu lagi di lain waktu. Di tengah kebisingan kota yang terus bergerak, mereka merasa bahwa percakapan mereka di kedai kopi ini memberi arti dan pengertian yang lebih dalam dalam menjalani kehidupan sehari-hari mereka.
Comments
Post a Comment