Skip to main content

Gelembung Kemewahan vs. Realitas Rakyat Jelata


Belakangan ini, media sosial penuh dengan keluhan soal ekonomi yang makin sulit. Harga kebutuhan pokok naik, gaji segitu-gitu aja, masa depan terasa semakin gelap. Tapi di sisi lain, muncul juga kaum "cendekiawan Twitter" yang hobi nyinyir: "Katanya susah, tapi kok konser jutaan tetap penuh?" atau "Indonesia gelap, tapi kok masih banyak yang jalan-jalan ke luar negeri?"

Sebentar, kita berhenti dulu buat mencerna ini. Ada dua kemungkinan. Pertama, memang kondisi ekonomi tidak separah yang dibilang, atau kedua, yang komentar ini hidup di dalam gelembung kemewahan yang begitu tebal sampai-sampai nggak bisa lihat realitas di luar sana. Tebak yang mana yang lebih masuk akal? Betul. Yang kedua.


Realitas vs. Dunia Para Pesohor yang Hidup di 'Planet Lain'

Orang kaya di negeri ini memang eksis, bukan mitos. Menurut Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), per November 2024, ada lebih dari 737.000 rekening bank dengan saldo di atas 1 miliar rupiah. Itu belum termasuk yang duitnya numpuk dalam bentuk aset properti, bisnis, atau investasi di kafe kekinian yang harga kopinya setara gaji harian buruh pabrik.

Nah, orang-orang dalam kasta ini tidak pernah pusing soal harga minyak goreng. Bagi mereka, minyak itu bukan buat masak, tapi buat pijat di spa eksklusif. Jadi, wajar kalau mereka bingung melihat orang lain mengeluh soal ekonomi.

Mereka melihat konser Coldplay, Taylor Swift, dan band k-pop ludes dalam hitungan menit, restoran fine dining tetap penuh, dan bandara selalu padat. Lalu dengan santainya mereka berkata: "Kalian aja lebay! Susah apanya?"

Lucu, ya? Mereka pikir ekonomi Indonesia bisa diukur dari seberapa cepat tiket konser habis terjual.


Sementara Itu, di Dunia Nyata…

Mari kita turun dari angkasa dan kembali ke bumi. Di sini, ada 24 juta penduduk Indonesia yang masuk kategori miskin ekstrem, dengan pengeluaran kurang dari Rp 595.000 per bulan. Itu bahkan nggak cukup buat beli satu tiket konser, apalagi buat makan sebulan.

Kalau satu keluarga terdiri dari empat orang, artinya mereka hidup dengan kurang dari Rp 2,4 juta per bulan. Bayangkan ini: biaya makan, ongkos transportasi, listrik, sekolah anak, semua dari angka segitu. Sementara di belahan lain negeri ini, ada orang yang dengan santainya keluarin duit segitu cuma buat skincare atau brunch cantik.

Dan ini baru kelompok miskin ekstrem. Di atas mereka, ada ratusan juta orang yang masuk kategori rentan miskin dan menengah bawah. Mereka ini punya gaji tetap, tapi tetap saja, menabung itu barang langka. Hidup dari gaji ke gaji, berharap tidak ada kejadian mendadak seperti sakit atau motor mogok, karena tabungan darurat? Apa itu?

Jadi, ketika mereka mengeluh soal ekonomi, itu bukan karena iri dengan yang bisa konser atau liburan ke Jepang. Mereka cuma pengen hidup lebih layak tanpa harus jungkir balik.


Ketimpangan yang Tidak Terlihat dari Dalam Gelembung Emas

Masalahnya, kaum elite ini hidup dalam dimensi yang berbeda. Mereka tidak perlu khawatir soal harga telur atau tarif dasar listrik. Tagihan mereka autodebet, belanja mereka swipe tanpa lihat angka, dan hidup mereka dihiasi promo kartu kredit yang kita bahkan nggak tahu cara apply-nya.

Buat mereka, mengeluarkan belasan juta buat tiket konser bukan hal besar. Mereka nggak sadar kalau kursi-kursi VIP itu hanya dibeli oleh segelintir orang dari total 281 juta penduduk Indonesia. Mereka pikir kalau bandara penuh, berarti semua orang bisa liburan ke luar negeri. Padahal, sebagian besar yang ada di bandara itu pekerja migran yang mau cari duit di negeri orang karena di sini gaji mereka nggak cukup buat beli pampers.

Dan inilah kenapa komentar-komentar seperti "Indonesia baik-baik saja, buktinya mal masih ramai!" atau "Kalau susah, kok Starbucks tetap penuh?" terdengar sangat bodoh. Sama bodohnya dengan melihat seseorang pakai jas hujan lalu menyimpulkan bahwa musim kemarau sudah berakhir.


Keluhan Rakyat Itu Nyata, Bukan Cuma Ngeles!

Jadi, kalau ada orang yang mengeluh soal ekonomi, bukan berarti mereka merengek atau nggak bersyukur. Mereka benar-benar sedang berjuang, mencoba bertahan hidup di negara yang semakin lama semakin menekan mereka.

Sebaliknya, kalau kamu termasuk golongan beruntung yang bisa tetap menikmati konser jutaan dan liburan ke Eropa tiap tahun, syukuri saja tanpa harus menyepelekan realitas orang lain. Tidak semua orang punya privilese yang sama denganmu. Jangan sok jadi filsuf ekonomi hanya karena kamu lihat feed Instagram isinya orang jalan-jalan terus. Itu algoritma, Bro. Bukan statistik nasional.

Karena faktanya, ada jutaan orang yang sedang kesulitan bertahan hidup. Mereka nggak butuh dikuliahi soal "hidup itu harus dinikmati" dari seseorang yang setiap bulan bisa ganti iPhone tanpa cicilan.

Jadi, lain kali kalau lihat orang bilang "Ekonomi makin susah", coba berhenti sejenak sebelum nyinyir. Karena mungkin, satu-satunya yang susah buat kamu adalah memilih menu di restoran bintang lima, sementara mereka bahkan susah memilih mau bayar listrik atau beli susu buat anak.


Akhir Kata: Berhenti Sok Bijak, Mulai Pakai Akal Sehat

Mari berhenti menilai kondisi ekonomi dari seberapa cepat tiket konser terjual atau dari seberapa banyak orang yang bisa liburan. Itu cara berpikir orang yang hidup di gelembung dan nggak pernah turun ke bawah buat melihat realita.

Kenyataannya, 5 juta orang kaya di negeri ini tidak mewakili mayoritas rakyat Indonesia. Sisanya? Sedang sibuk bertahan hidup. Jadi, kalau kamu nggak bisa bersimpati, setidaknya diamlah. Biar nggak makin kelihatan bebal.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...