Skip to main content

Ketika Jujur Cari Duit Jadi Dosa di Mata HR


Suatu hari di negeri antah-berantah, seorang HR Manager merasa dirinya seperti dewa, mengontrol nasib setiap pencari kerja dengan pertanyaan magis, "Kenapa Anda ingin bekerja di sini?" Jawaban jujur, "Cari uang," dianggap seperti dosa besar.

Memangnya apa yang diharapkan oleh HR Manager ini? Mungkin mereka ingin mendengar bahwa kandidat ingin menyelamatkan dunia dari kehancuran, membawa kedamaian abadi, atau mungkin menjadi pahlawan super yang mampu mengangkat perusahaan ke langit ketujuh.

Bayangkan jika seorang kandidat berkata, "Saya ingin bekerja di sini untuk memperbaiki ketidakadilan sosial, menghapus kemiskinan, dan menciptakan utopia modern." Pasti HR Manager akan tersenyum lebar seperti baru saja menemukan batu filosof yang hilang.

Apa yang sebenarnya bisa diberikan kepada perusahaan? Nyawa? Jiwa? Atau mungkin sepotong dari hati? Waktu, tenaga, dan pikiran sudah pasti. Tetapi tidak, itu belum cukup bagi HR yang terobsesi dengan pengabdian tanpa batas. Mereka mungkin berharap kita juga bersumpah setia kepada perusahaan seumur hidup, dengan tinta emas di atas kertas surgawi.

Dan ketika HR Manager meminta kita untuk "membantu mengembangkan perusahaan," apakah mereka menawarkan kita saham atau jabatan dewa? Tentu tidak. Kita hanya disuruh bekerja dengan loyalitas tingkat dewa, tetapi dengan gaji manusia biasa.

Ironisnya, ketika generasi Z mulai bicara tentang kesehatan mental dan keseimbangan hidup, HR Manager generasi X menuduh mereka lemah. Padahal, HR ini sendiri mungkin terlalu banyak menonton drama TV dan membaca novel fantasi, hingga lupa bahwa kandidat juga manusia, bukan robot pencari nafkah abadi.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...