Skip to main content

Ketika Uang Bicara: Manusia, Idealisme, dan Harga yang Tergadai

 

Uang. Benda kecil yang bikin manusia lupa segalanya. Kadang bikin lupa asal-usul, lupa prinsip, bahkan lupa caranya jadi manusia. Lucu ya, lembaran kertas tanpa nyawa bisa bikin manusia yang katanya makhluk paling berakal justru kehilangan akal. "When money speaks, no one checks the grammar." Ketika uang bicara, nggak ada yang peduli tata bahasa. Nggak ada yang peduli salah benar. Yang penting ada angka. Ada nominal.

Berapa banyak kita lihat orang-orang di luar sana yang menjual idealisme demi segepok uang? Dulu berapi-api bicara soal keadilan, giliran dikasih amplop tebal, suaranya mendadak bisu. Nyatanya, banyak yang prinsipnya cuma sekuat saldo rekening. Nihil angka, nihil suara. Tapi begitu ada transferan masuk, langsung cerewet. Ngaku pejuang rakyat, tapi rapat-rapatnya di restoran mahal, pesan makanan aja harganya setara gaji UMR. Ironis? Bukan. Udah jadi kelaziman.

Korupsi, kolusi, suap-menyuap. Tiga dosa klasik yang kayaknya udah mendarah daging di banyak lini. Semua demi apa? Demi uang yang nggak akan pernah bikin puas. Manusia tuh kayak botol bocor. Uang sebanyak apapun dimasukin, tetap aja nggak pernah penuh. Begitu dapet satu, pengen sepuluh. Udah dapet sepuluh, pengen seratus. Terus aja gitu sampai akhirnya tanah yang nyumbat mulut mereka. Baru deh sadar kalau uang segunung pun nggak bisa dibawa ke liang kubur.

Lucunya, kadang bukan karena butuh, tapi karena rakus. Udah kaya tujuh turunan, tetap aja ngemplang duit rakyat. Udah punya rumah mewah, tetap aja ngelirik tanah orang. Punya mobil belasan, masih aja korupsi buat beli lagi. Manusia memang nggak pernah kenal kata cukup kalau udah soal uang.

Yang bikin miris, banyak yang rela ngelakuin apa aja demi uang. Jual teman, jual jabatan, jual kehormatan. Asal ada transferan, semua bisa diatur. Pas ketahuan? Tinggal ngeles, bikin drama. Tangisan buaya di depan kamera, minta maaf seolah khilaf. Besok-besok? Ulang lagi.

Kadang kita pikir, apa manusia udah sebegitu rendahnya sampai harga dirinya ditentukan oleh selembar kertas? Tapi ya mau gimana, uang bikin hidup jadi gampang. Bisa beli kenyamanan, beli gengsi, bahkan beli hukum. Uang bikin salah jadi benar, benar jadi salah. Uang bikin orang jahat keliatan suci, orang baik keliatan bodoh. Uang bikin orang yang tadinya biasa aja mendadak dipuja-puja. Tapi ujungnya, semua orang tahu, uang memang nggak salah. Yang salah ya manusianya sendiri.

Sampai kapan? Entahlah. Selama manusia masih ngelihat kebahagiaan cuma dari angka di rekening, idealisme akan terus tergadai. Prinsip akan terus dilelang. Dan manusia? Ya akan terus kejar sesuatu yang akhirnya bikin mereka dikubur tanpa bisa teriak, karena tanah udah keburu nyumpal mulut mereka.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...