Ada satu profesi yang tak tercatat dalam buku pelajaran sekolah, tak ada jurusan khusus di universitas, dan tak perlu sertifikasi keahlian. Profesi ini unik, tak butuh moral, cukup dengan loyalitas dan jari-jari yang lincah. Mereka adalah para buzzer politik, tukang cebok rezim, para juru tepuk, juru sorak, sekaligus juru selamat bagi citra pemerintahan yang mulai kusam. Pemadam kebakaran kalau istilahnya di perusahaan-perusahaan. Mereka beroperasi dalam bayangan, menjajakan narasi, dan kalau perlu, menyulap kebohongan menjadi kebenaran mutlak.
Bayangkan seorang pelayan kerajaan di zaman dahulu, yang tugasnya memastikan raja selalu terlihat hebat, meski kerajaan sedang terbakar. Nah, buzzer politik ini tak jauh beda. Bedanya, mereka tak perlu mengenakan pakaian resmi, cukup bermodal akun anonim, sedikit kreatifitas dalam memutarbalikkan fakta, dan tentu saja, keberanian untuk menelan kehormatan sendiri demi sesuap nasi. Tapi ada juga sih yang pakai nama asli di akunnya. Dengan gelar akademisi bererot, merasa lebih pintar dari lawan bicaranya, tapi menggunakan gaya bahasa akamsi yang emosian.
Seni Beropini Tanpa Logika
Jangan kira menjadi buzzer itu mudah. Ini pekerjaan yang butuh teknik tinggi dalam mengolah kata dan membangun narasi. Ada seni tersendiri dalam cara mereka membela rezim—logika tak perlu ikut campur, yang penting serangannya telak.
Misalnya, ketika ada kebijakan ngawur yang merugikan rakyat, para buzzer segera bersiap dengan skrip mereka. "Ini demi kepentingan nasional!" atau "Kalian cuma iri karena nggak bisa kerja di pemerintahan!". Kalau masih ada yang kritis, tinggal keluarkan jurus pamungkas: "Kalau nggak suka, pindah aja ke negara lain!". Tapi giliran pada #KaburAjaDulu mereka malah nyinyir, "Dasar nggak nasionalis!" Sungguh, argumen sekelas pejuang digital tanpa otak.
Bahkan, kalau perlu, mereka bisa menyulap kenyataan. Kebijakan yang absurd? "Ini strategi jangka panjang!" Korupsi yang ketahuan? "Fitnah dari oposisi!" Ekonomi ambruk? "Negara lain juga sama kok!" Lihat? Semua ada solusinya, asalkan kenyataan bisa dimanipulasi.
Maha Benar Rezim, Buzzer Adalah Nabinya
Dalam dunia buzzer, pemerintahan itu suci, pemimpinnya tak pernah salah, dan yang mengkritik pasti antek asing atau punya kepentingan terselubung.
Misalnya, kalau ada kebijakan yang jelas-jelas menyusahkan rakyat, mereka akan buru-buru menenangkan suasana. "Sabar, ini demi masa depan!" Walaupun rakyat sudah megap-megap, mereka tetap teguh pada keyakinan bahwa ini hanya fase sementara. Persis seperti seseorang yang dijanjikan kebahagiaan oleh pasangan toxic, tapi bertahun-tahun tetap jadi korban.
Mereka juga jago dalam membangun citra pemimpin. Bahkan kalau si pemimpin berkali-kali mengeluarkan kata-kata kasar, para buzzer akan mengatakan: "Beliau sedang berkata apa adanya, itulah kejujuran!" Luar biasa sekali bukan? Kalau ada kebijakan nggak masuk akal, mereka dengan cepat membelokkan narasi: "Beliau lebih tahu dari kita semua, jangan sotoy!". Ketaatan tingkat dewa, taqlid buta kalau kata Ustadz Romli.
Musuh Besar Buzzer adalah Akal Sehat
Buzzer ini punya satu musuh bebuyutan yang tak akan pernah bisa mereka kalahkan, yaitu akal sehat. Karena sekuat apa pun mereka berusaha, kenyataan tetap tak bisa diputarbalikkan sepenuhnya. Mau serajin apa pun mereka memoles citra, tetap saja ada celah yang tak bisa ditutupi.
Mereka bisa mengaburkan fakta sesaat, tapi ketika rakyat mulai sadar, buzzer akan keteteran. Itulah sebabnya mereka sangat agresif menyerang siapa saja yang mencoba membongkar kebobrokan. Mereka tak segan menggunakan serangan personal, membongkar privasi, bahkan membuat hoaks untuk mendiskreditkan siapa pun yang mengancam narasi mereka.
Akhir dari Buzzer: Terbuang Setelah Tak Lagi Berguna
Namun, nasib buzzer ini tragis. Mereka dielu-elukan selama masih bisa membela rezim, tapi ketika kekuasaan berganti, mereka bagai tisu toilet yang sudah dipakai—dibuang tanpa perasaan. Semua upaya mereka untuk menjilat selama ini sia-sia. Mereka kembali menjadi orang biasa, terlupakan, bahkan kadang ikut menjadi korban dari kebijakan yang dulu mereka bela mati-matian.
Maka, untuk para buzzer yang masih setia berjuang, selamat menikmati jerih payah kalian. Dunia mungkin tak mengingat jasa kalian, tapi setidaknya kalian punya kenangan manis: pernah menjadi perpanjangan lidah kekuasaan, meskipun akhirnya tergigit sendiri.
Dan untuk kita yang masih percaya akal sehat? Mari tetap menjaga nalar, sebab di dunia yang penuh kepalsuan, berpikir kritis adalah bentuk perlawanan terbaik.
Comments
Post a Comment