Sudah menjadi tontonan sehari-hari, para pejabat dengan segala kebijaksanaannya (atau justru kebijak-bijakannya) kerap mengeluarkan pernyataan yang bikin dahi berkerut. Tapi jangan salah, bukan karena mendalamnya pemikiran mereka, melainkan karena betapa absurdnya logika yang mereka pakai. Kadang kita bertanya-tanya, ini benar-benar pemikiran mereka atau sekadar trik ngeles ala anak sekolah yang belum belajar tapi pede maju ke depan kelas?
Mari kita kulik satu per satu lima logical fallacy yang sering dipakai para pejabat saat berbicara. Siap-siap ketawa, emosi, atau mungkin keduanya!
1. Slippery Slope: Logika "Nanti Bakal Begini dan Begitu"
Pernah dengar argumen seperti, "Gak usah takut nanam pohon sawit. Namanya juga pohon, ada daunnya. Bisa nyerap oksigen." Nah, ini contoh klasik dari kesesatan berpikir Slippery Slope. Argumen ini mengasumsikan bahwa karena satu hal memiliki kemiripan dengan hal lain, maka dampaknya pasti sama. Ibarat bilang, "Ular dan cacing sama-sama panjang, berarti sama-sama nggak berbahaya."
Sayangnya, kenyataan tak sesederhana itu. Pohon sawit memang pohon, tapi efek ekologisnya berbeda dengan hutan alami yang menyimpan keanekaragaman hayati. Tapi ya begitulah, kalau logika serampangan seperti ini terus dipakai, nanti bisa-bisa ada pejabat yang bilang, "Buat apa kuliah? Elon Musk juga nggak tamat kuliah, tapi kaya raya."
2. Hasty Generalization: "Saya Bisa, Berarti Semua Bisa!"
Contoh sempurnanya: "Gak perlu nilai tinggi. Buktinya, nilai saya kecil tapi saya bisa jadi pejabat." Ini adalah Hasty Generalization, atau kesimpulan yang diambil terlalu cepat tanpa data yang cukup.
Ini seperti bilang, "Saya sering telat tapi tetap sukses, berarti telat itu bukan masalah." Atau lebih parah, "Saya nggak pernah pakai helm tapi belum pernah kecelakaan, berarti helm nggak penting." Ya ampun, logika macam apa ini?
Faktanya, satu atau dua kasus tidak bisa mewakili realitas secara keseluruhan. Ada ribuan, bahkan jutaan orang yang bekerja keras, berpendidikan tinggi, tapi tetap sulit mendapatkan pekerjaan. Sementara itu, ada segelintir orang yang karena faktor keberuntungan atau nepotisme, bisa melenggang mulus ke posisi atas meski prestasi akademiknya mengenaskan. Kalau semua berdasarkan "bukti pribadi", kenapa nggak sekalian saja kita percaya kalau hujan turun gara-gara cucian yang baru dijemur?
3. Argumentum Ad Hominem: "Kamu Anak Kemarin Sore, Jadi Diam!"
Salah satu teknik favorit pejabat saat tidak bisa membantah argumen lawannya adalah menyerang pribadinya. Contoh klasik: "Tidak usah ikut-ikutan bahas politik. Kamu masih anak kemarin sore."
Alih-alih menjawab argumen dengan logis, mereka memilih jalan pintas dengan menyerang kredibilitas orang yang berbicara. Ini seperti menolak masukan dari seorang dokter hanya karena dokter itu masih muda. Atau menolak hasil penelitian ilmuwan hanya karena mereka tidak punya banyak followers di media sosial. Padahal, yang dibahas adalah isi argumennya, bukan siapa yang mengatakannya.
4. Argumentum Ad Populum: "Banyak Orang Melakukan, Berarti Benar"
"Banyak orang telat. Itu artinya telat tidak jadi masalah." Kalau semua orang melanggar aturan, apakah itu berarti aturan itu tidak perlu diikuti?
Logika ini sering dipakai untuk membenarkan sesuatu yang salah hanya karena banyak orang melakukannya. Seperti membenarkan korupsi dengan alasan "Hampir semua pejabat juga korupsi, cuma yang ketahuan aja yang sial." Ya jelas salah! Banyaknya orang yang melakukan sesuatu tidak serta-merta membuatnya jadi benar.
Kalau pakai logika ini, maka mencuri, mencontek, atau melanggar lalu lintas juga bisa dianggap benar karena "banyak yang melakukannya." Kalau semua orang nyebur ke sumur, apakah kita juga harus ikut-ikutan?
5. Argumentum Ad Baculum: "Kalau Tidak Suka, Pergi Saja!"
Kalimat sakti pejabat saat kehabisan argumen: "Kalau kalian mau tinggal di luar negeri, silakan saja. Kalau perlu jangan balik lagi."
Ini adalah contoh klasik Argumentum Ad Baculum, alias "logika ancaman." Daripada membahas solusi, mereka lebih memilih menakut-nakuti atau memberi ancaman.
Logika semacam ini mirip dengan atasan yang berkata, "Kalau nggak suka kerja di sini, keluar aja!" daripada meningkatkan kesejahteraan karyawan. Atau seperti orang tua yang bilang, "Kalau kamu terus membantah, jangan anggap aku orang tua lagi!" daripada mencoba memahami perbedaan pendapat.
Kesalahan berpikir ini sering digunakan oleh mereka yang merasa berkuasa. Bukannya mendebat dengan fakta dan data, mereka malah main gertak. Padahal, dalam demokrasi, kritik itu bagian dari kebebasan berpendapat. Kalau semua orang yang tidak setuju harus diusir, lama-lama negara ini isinya tinggal para penjilat saja.
Kesimpulan: Jangan Mau Dibodohi!
Jadi, kalau mendengar pejabat mengeluarkan pernyataan yang terdengar aneh atau tidak masuk akal, coba cek lagi: apakah mereka sedang memakai logical fallacy untuk mengelabui kita? Jangan sampai kita terbawa oleh permainan kata-kata mereka dan malah ikut-ikutan terjebak dalam logika sesat.
Penting bagi kita sebagai masyarakat untuk kritis, mempertanyakan segala hal yang terdengar aneh, dan tidak mudah termakan omongan pejabat yang doyan ngeles. Karena kalau kita diam saja, bukan tidak mungkin kita akan terus disuguhi logika absurd yang makin lama makin ngawur. Masa iya, kita mau hidup di negara yang kebijakan publiknya didasarkan pada pemikiran "kalau saya bisa, berarti semua bisa" atau "karena banyak yang begini, berarti ini benar"?
Jangan sampai!
Comments
Post a Comment