Skip to main content

Valentine dalam Timbangan Islam: Cinta Sejati atau Perayaan Semu?


Setiap tanggal 14 Februari, dunia dipenuhi dengan simbol cinta seperti bunga, cokelat, dan kartu ucapan yang dikomersialisasikan dalam perayaan yang dikenal sebagai Hari Valentine. Bagi banyak orang, ini adalah momen untuk mengekspresikan kasih sayang kepada pasangan atau orang tercinta. Namun, dari perspektif Islam, perayaan ini lebih terlihat sebagai ajang konsumtif daripada sebagai simbol kasih sayang yang hakiki.

Sejarah Awal Valentine

Valentine’s Day berasal dari legenda Santo Valentinus, seorang pendeta Kristen pada abad ke-3 yang konon menentang larangan Kaisar Romawi Claudius II terhadap pernikahan prajurit muda. Valentinus kemudian dihukum mati pada tanggal 14 Februari, yang akhirnya dikenang sebagai hari kasih sayang. Beberapa sumber lain juga mengaitkannya dengan festival pagan Romawi bernama Lupercalia, yang merupakan ritual kesuburan dan perayaan penuh hura-hura.

Seiring berjalannya waktu, Gereja Katolik mengadaptasi perayaan ini sebagai hari peringatan bagi Santo Valentinus, yang kemudian menyebar ke berbagai negara dengan beragam tradisi. Pada abad ke-19 dan 20, perayaan ini semakin dikomersialisasikan, terutama dengan hadirnya industri percetakan, cokelat, dan perhiasan yang melihat peluang bisnis dalam peringatan ini.

Penyimpangan di Masa Sekarang

Saat ini, Valentine bukan lagi sekadar hari untuk mengungkapkan perasaan, tetapi telah berubah menjadi ajang konsumtif yang didorong oleh kepentingan bisnis. Berbagai industri, mulai dari makanan, pakaian, hingga barang-barang mewah, memanfaatkan momen ini untuk meningkatkan penjualan. Pasangan merasa “dituntut” untuk membeli hadiah agar menunjukkan cinta, sementara yang tidak merayakan sering kali dianggap kurang romantis atau bahkan dianggap aneh oleh budaya populer.

Lebih jauh lagi, perayaan ini juga mendorong perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, seperti pergaulan bebas dan budaya hedonisme yang bertumpu pada hawa nafsu. Padahal, dalam ajaran Islam, kasih sayang bukan sesuatu yang hanya diungkapkan pada satu hari tertentu, tetapi harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, baik kepada keluarga, pasangan, maupun sesama Muslim. Ucapan salam seperti "Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh" sendiri merupakan bentuk kasih sayang yang mendalam, karena mendoakan keselamatan dan keberkahan bagi orang lain setiap saat.

Pandangan Islam terhadap Valentine

Dalam Islam, kasih sayang adalah bagian dari iman yang tidak terbatas oleh waktu atau momen tertentu. Rasulullah SAW telah memberikan teladan dalam menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada istri, anak-anak, sahabat, dan umatnya setiap hari tanpa perlu perayaan khusus. Oleh karena itu, Islam tidak membutuhkan Valentine sebagai hari “khusus” untuk mengekspresikan cinta, terutama jika perayaannya justru dipenuhi dengan perilaku yang bertentangan dengan syariat.

Selain itu, perayaan yang berasal dari tradisi non-Islam dan memiliki akar sejarah yang bertentangan dengan nilai-nilai tauhid sebaiknya dihindari oleh umat Muslim. Islam telah memiliki konsep cinta yang lebih agung dan abadi, yakni cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kasih sayang dalam bentuk ibadah dan kepedulian kepada sesama.

Kesimpulan

Hari Valentine yang awalnya berasal dari tradisi non-Islam telah berkembang menjadi ajang konsumtif dan bahkan mendukung budaya hedonisme yang bertentangan dengan ajaran Islam. Kasih sayang dalam Islam bukanlah sesuatu yang dirayakan secara seremonial, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata setiap hari. Oleh karena itu, daripada ikut serta dalam perayaan yang lebih menguntungkan kapitalisme daripada membangun makna sejati cinta, umat Islam sebaiknya kembali kepada ajaran kasih sayang yang diajarkan oleh Rasulullah, yang lebih tulus, mendalam, dan jauh dari unsur komersialisasi.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...