Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini, ada satu fenomena politik yang lebih ampuh daripada kebijakan berbasis data, lebih memukau daripada APBD yang terserap maksimal, dan lebih sakti daripada program pembangunan jangka panjang. Namanya: blusukan.
Ya, blusukan, sidak, atau apapun istilah keren yang digunakan, adalah jurus pamungkas para pemimpin daerah untuk menunjukkan bahwa mereka "bekerja". Cukup modal sepatu kets, wajah serius, sedikit akting prihatin, dan tentunya kamera yang selalu siap merekam momen haru-biru, maka selesailah tugas seorang kepala daerah! Prestasi? Ah, siapa peduli? Yang penting viral!
Manajer? Ah, Itu Terlalu Ribet!
Seharusnya, kalau kita mau berpikir sedikit lebih dalam, seorang gubernur, wali kota, atau bupati itu tugasnya memimpin, mengelola, dan memastikan sistem pemerintahan berjalan dengan baik. Tapi, duh, kerja di balik meja itu tidak fotogenik! Gimana bisa dapat like dan share kalau cuma duduk rapat sambil diskusi kebijakan?
Blusukan adalah solusi! Lupakan koordinasi dengan dinas terkait, abaikan pertemuan strategis, tinggalkan laporan statistik. Pakai baju kasual, turun ke pasar, cicipi gorengan sambil bertanya harga cabai. Jangan lupa tunjukkan ekspresi “Oh, ternyata rakyat susah ya?” di depan kamera. Kalau ada warga curhat, anggukkan kepala penuh simpati sambil berkata, “Nanti saya tindak lanjuti.” Tindak lanjutnya? Ah, itu urusan nanti. Yang penting konten sudah diunggah.
Antara Kepedulian dan Pencitraan
Blusukan sering dikemas seolah-olah ini adalah bentuk kepemimpinan yang dekat dengan rakyat. Padahal, kalau benar-benar peduli, mestinya ada sistem birokrasi yang efektif sehingga kepala daerah tidak perlu turun langsung untuk mengetahui ada jalan berlubang atau harga tempe naik.
Tapi di negeri ini, kalau pemimpin tidak turun ke jalan, dianggap tidak bekerja. Kalau hanya sibuk di kantor menyusun kebijakan berbasis data? Wah, itu namanya pemimpin pemalas! Yang dianggap rajin itu yang jalan kaki di gang sempit, pegang pundak nenek-nenek, dan sesekali meresapi penderitaan rakyat sambil merenung.
Dan jangan lupa, tim media sosial harus selalu siaga. Apa gunanya blusukan kalau tidak direkam dengan angle dramatis? Lengkapi dengan caption, “Bersama rakyat, kita kuat!” atau “Saya hadir bukan untuk pencitraan, tapi untuk mendengar suara rakyat” (sambil memastikan pencitraannya tetap optimal).
Media? Partner Pencitraan Sejati!
Media, terutama media sosial, adalah kawan terbaik dalam industri pencitraan ini. Coba bayangkan, mana yang lebih cepat viral:
Seorang gubernur yang sukses menurunkan angka kemiskinan lewat kebijakan ekonomi yang baik?
Seorang gubernur yang ketahuan tiba-tiba sidak ke kantor pemerintahan dan marah-marah di depan kamera karena ada pegawai datang telat?
Tentu saja opsi kedua! Publik suka drama! Jadi, kepala daerah yang cerdas tahu betul bahwa blusukan harus selalu diiringi dengan gimmick emosional. Entah itu pura-pura marah, meneteskan air mata, atau tiba-tiba masuk ke rumah warga dan duduk lesehan tanpa alas kaki. Kesederhanaan yang dipertontonkan dengan megah!
Solusi? Ah, Siapa yang Butuh?
Masalah sebenarnya adalah masyarakat kita terlalu mudah tertipu oleh yang tampak kasat mata. Kalau pemimpin rajin muncul di TV dan media sosial, pasti dianggap kerja keras. Kalau jarang tampil tapi kebijakannya bagus? Pasti dianggap malas.
Padahal, yang benar-benar bekerja keras itu justru tidak punya waktu untuk tampil di media. Mereka sibuk mengurusi dokumen, menyusun strategi, dan memastikan program berjalan. Tapi apa daya, kerja sunyi itu tidak bisa dijual sebagai konten.
Kalau masyarakat tetap termakan pencitraan, maka jangan heran kalau setiap pemilu yang menang adalah yang paling sering turun ke pasar dan makan di warteg, bukan yang paling kompeten dalam mengelola anggaran.
Harapan yang Entah di Mana
Jadi, bagaimana cara kita keluar dari jebakan ini? Harus ada edukasi publik tentang apa sebenarnya tugas kepala daerah. Harus ada media yang lebih kritis dalam menilai kinerja pemimpin, bukan sekadar jadi perpanjangan tangan pencitraan mereka.
Tapi jujur saja, ini sulit. Karena di negeri ini, konten blusukan lebih penting daripada kebijakan, dan pemimpin yang fotogenik lebih laku daripada yang kompeten. Jadi, mari kita nikmati saja parade pencitraan ini sambil berharap suatu hari nanti, ada masyarakat yang lebih peduli pada hasil daripada sekadar aksi.
Atau, ya sudah, mari kita semua daftar jadi tim media sosial pejabat. Lumayan, kerjaannya seru, dan yang pasti, tidak perlu repot-repot memahami kebijakan!
Comments
Post a Comment