Dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia kembali dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa kebebasan pers masih menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan. Salah satu media independen, Tempo, mengalami aksi teror yang brutal: kiriman potongan kepala babi dan enam bangkai tikus tanpa kepala. Ini bukan sekadar aksi vandalisme biasa, melainkan bentuk nyata dari intimidasi terhadap pers yang bertujuan untuk membungkam suara-suara kritis terhadap kekuasaan.
Namun, yang lebih mengerikan dari tindakan tersebut adalah reaksi pejabat negara yang justru meremehkan peristiwa ini. Salah satu pejabat, Hasan Hasbi, bahkan dengan enteng mengatakan, "Dimasak aja," seolah-olah ancaman terhadap jurnalis adalah sesuatu yang bisa dianggap lelucon. Pernyataan ini bukan hanya tidak sensitif, tetapi juga menunjukkan betapa rendahnya komitmen pemerintah dalam melindungi kebebasan pers dan demokrasi di negeri ini.
Kebebasan Pers: Pilar Demokrasi yang Sedang Diruntuhkan
Sejarah telah membuktikan bahwa demokrasi sejati tidak bisa berjalan tanpa kebebasan pers. Pers yang bebas berfungsi sebagai pilar utama dalam menjaga akuntabilitas pemerintah, mengungkap skandal, dan memastikan masyarakat mendapatkan informasi yang benar. Namun, di Indonesia, kebebasan ini terus-menerus dipertaruhkan. Kasus teror terhadap Tempo hanya salah satu dari banyak kasus di mana jurnalis mengalami kekerasan, ancaman, atau kriminalisasi karena menjalankan tugas mereka.
Menurut data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Bentuk kekerasan ini mulai dari peretasan, ancaman fisik, hingga serangan langsung terhadap media yang berani mengkritik pemerintah atau kelompok-kelompok berkepentingan. Jika tren ini dibiarkan berlanjut, Indonesia akan semakin mendekati rezim otoriter di mana informasi dikendalikan dan kritik terhadap kekuasaan dihancurkan.
Sikap Pemerintah yang Mengecewakan
Salah satu indikator utama bahwa sebuah negara benar-benar demokratis adalah bagaimana pemerintahnya merespons ancaman terhadap pers. Di negara-negara maju, serangan terhadap jurnalis dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan langsung ditindaklanjuti dengan penyelidikan transparan. Namun, di Indonesia, kita justru melihat pejabat yang menanggapi ancaman ini dengan sikap bercanda.
Reaksi seperti yang ditunjukkan oleh Hasan Hasbi bukan hanya mencerminkan kebodohan, tetapi juga menunjukkan bahwa pejabat di negeri ini tidak memiliki kepedulian terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Jika seorang pejabat bisa menganggap remeh ancaman terhadap jurnalis, maka pesan yang dikirimkan kepada pelaku adalah bahwa tindakan mereka tidak akan mendapatkan konsekuensi serius. Ini adalah preseden berbahaya yang bisa memperburuk situasi kebebasan pers di Indonesia.
Apa yang Seharusnya Dilakukan Pemerintah?
Pemerintah Indonesia tidak bisa terus-menerus menutup mata terhadap ancaman terhadap pers. Jika benar-benar ingin menjaga demokrasi, ada beberapa langkah yang harus segera dilakukan:
Menindak Tegas Pelaku Intimidasi
Setiap ancaman terhadap jurnalis harus dianggap sebagai tindakan kriminal yang serius. Aparat penegak hukum harus segera mengusut siapa dalang di balik pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor Tempo. Tidak boleh ada impunitas bagi mereka yang mencoba membungkam media dengan cara-cara biadab seperti ini.Menyediakan Perlindungan bagi Jurnalis
Jurnalis yang melaporkan isu-isu sensitif harus mendapatkan perlindungan dari negara. Jika seorang jurnalis mendapatkan ancaman atau intimidasi, pemerintah harus segera turun tangan dan memastikan keamanan mereka.Mendorong Regulasi yang Lebih Kuat untuk Kebebasan Pers
Pemerintah seharusnya memperkuat Undang-Undang Pers dengan memastikan bahwa setiap upaya intimidasi terhadap jurnalis dapat dihukum berat. Selain itu, regulasi yang menghambat kebebasan pers, seperti UU ITE yang sering digunakan untuk membungkam kritik, harus direvisi atau dihapus.Mendidik Pejabat agar Paham Demokrasi
Pejabat negara harus diberikan pemahaman tentang pentingnya kebebasan pers dan demokrasi. Seorang pejabat yang menganggap remeh ancaman terhadap jurnalis seharusnya tidak memiliki tempat dalam pemerintahan yang demokratis.Membangun Kultur Keterbukaan dan Akuntabilitas
Pemerintah harus mulai belajar menerima kritik sebagai bagian dari demokrasi. Sebuah negara yang sehat adalah negara yang warganya bisa mengkritik pemerintah tanpa takut dibungkam atau diintimidasi.
Kesimpulan: Indonesia Menuju Otoritarianisme?
Jika ancaman terhadap jurnalis terus dibiarkan dan pejabat pemerintah terus menganggap remeh masalah ini, maka Indonesia sedang bergerak menuju otoritarianisme. Demokrasi tidak mati secara tiba-tiba; ia terkikis perlahan ketika pers dibungkam, ketika kritik dianggap sebagai ancaman, dan ketika pejabat lebih peduli mempertahankan kekuasaan daripada melindungi hak-hak rakyatnya.
Masyarakat harus bersuara lebih keras dalam menentang upaya pembungkaman pers ini. Jika kita membiarkan kasus Tempo berlalu tanpa konsekuensi, maka bukan tidak mungkin bahwa dalam waktu dekat, lebih banyak jurnalis akan menjadi korban. Dan ketika pers benar-benar diam, kita akan mendapati diri kita hidup dalam negara yang gelap—tanpa transparansi, tanpa akuntabilitas, dan tanpa kebebasan.
Pemerintah harus segera bertindak, atau sejarah akan mencatat mereka sebagai rezim yang gagal melindungi salah satu hak paling fundamental dalam demokrasi: kebebasan berbicara.
Comments
Post a Comment