Skip to main content

Ketika Allah Cemburu (Sebuah Muhasabah Diri)


Saat hidup kita sedang susah. Tidak ada pekerjaan tetap sedangkan pengeluaran terus bertambah. Belum lagi utang yang tiada habisnya. Semua cara dijalankan, semua cara diupayakan. Dari yang mencoba usaha apa saja, mengirim surat lamaran kemana saja, hingga menghubungi teman dan orang-orang yang dulu pernah dekat dan pernah kita bantu berharap mereka mau berbaik hati membantu kita. Sekedar mencarikan pekerjaan, atau syukur-syukur malah memberikan pekerjaan. Kita sangat berharap kepada mereka. Malah mungkin sangat berharap. Hingga janji-janji mereka menjadi keniscayaan di dalam pikiran kita. "Mereka pasti bantu saya."

Kita akhirnya menggantungkan harapan kepada manusia. Kita menggantungkan harapan kepada mahkluk-Nya. Kita lebih percaya akan janji, "Nanti akan kami hubungi lagi," atau "Nanti aku coba tanyain ke HRDnya ya." Seakan janji mereka lebih terpercaya dibandingkan janji Allah. Akhirnya Allah pun cemburu. Namun di balik cemburu-Nya ada terselip rasa sayang kepada hamba-Nya. Allah mencoba menghilangkan ilah lain dari dalam diri hamba-Nya. Maka dihancurkan semuanya, dihilangkan semua janji-janji itu. Tak ada satu pun yang terealisasi, tak ada yang terwujud. Dia ingin hamba-Nya kembali kepada-Nya. Lewat sujud, air mata dan kekecewaan kepada manusia yang menyebabkan kesadaran kembali akan keterikatan dia kepada Rabb-nya.

Dia ingin hamba-Nya kembali menggantungkan harapannya kepada Dia. Dia tidak ingin ada ilah lain dari diri hamba-Nya. Itu semua karena kecintaan Allah kepada hamba-Nya.

Mengapa takut miskin sedangkan kita adalah hamba dari Yang Maha Kaya. Kenapa putus asa saat tertimpa kesulitan, sedangkan Allah telah berjanji "Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan." Tidak ada yang salah dengan janji-janji Allah itu. Hanya saja kita..... saya yang cenderung abai dan sering menafikkannya.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...