Malam itu, angin berembus dengan bisikan rahasia, seakan pepohonan Berlin sendiri tahu bahwa darah akan mengalir sebelum fajar menjelang. Di langit, bulan pucat menggantung tanpa cahaya, seolah enggan menyaksikan apa yang akan terjadi. Jam berdetak pelan, mengiringi langkah-langkah rahasia yang bergerak di bawah tirai malam.
Di kedalaman fajar yang belum lahir, gerombolan bayangan menjelma menjadi algojo tak bernama, membawa titah seorang pemimpin yang haus kuasa. Mereka bukan sekadar prajurit, bukan pula patriot—mereka adalah tangan-tangan yang dikirim untuk memotong benang takdir. Dengan seragam abu-abu yang menyatu dengan kegelapan, mereka memasuki rumah-rumah yang sunyi, hotel-hotel yang bisu, dan barak-barak yang tak bersuara.
Di kamar-kamar yang dahulu penuh tawa, jeritan menggema. Di sudut-sudut kota yang pernah menyaksikan perjamuan, kini hanya tersisa genangan merah yang menguarkan wangi besi. Ernst Röhm, sang pemimpin Sturmabteilung yang dulu dielu-elukan, kini duduk di kegelapan selnya, menatap pisau pengkhianatan yang tak kasatmata. Tangannya, yang dulu menggenggam kendali atas ribuan pasukan berbaju cokelat, kini terkepal dalam kebisuan. Di luar dinding penjaranya, sang Führer telah memutuskan: tak ada belas kasih untuk sahabat lama yang telah menjadi duri dalam daging.
Dari Berlin hingga Munich, malam itu berubah menjadi simfoni kematian. Mobil-mobil hitam melaju tanpa suara, membawa daftar nama yang telah dituliskan dengan tinta nasib. Beberapa diberi pilihan, namun tak ada jawaban yang bisa menyelamatkan mereka dari takdir yang telah digariskan. Peluru-peluru yang dingin bersenandung dalam kesunyian, menembus dada yang pernah membusung dengan kebanggaan.
Ketika fajar menyingsing, dunia telah berubah. Matahari yang terbit menyinari tanah yang telah dimandikan darah. Nazi telah meneguhkan tahtanya, dan Hitler berdiri sebagai penguasa mutlak, tak lagi berbagi bayangan dengan siapa pun. Sturmabteilung, yang dulu menjadi tombak revolusi, kini telah dipatahkan dan dibuang seperti besi tua yang berkarat.
Dan demikianlah, Malam Pisau Panjang menjadi dongeng kelam dalam sejarah manusia—kisah tentang bagaimana pengkhianatan bisa tumbuh dari benih kesetiaan, bagaimana persahabatan bisa dikorbankan di altar kekuasaan, dan bagaimana malam yang gelap dapat melahirkan dunia yang lebih dingin dari sebelumnya.
Comments
Post a Comment