Dulu kita diajari bahwa demokrasi adalah kekuatan rakyat. Ada Trias Politika yang katanya saling mengawasi agar tidak ada yang berbuat semaunya. Eksekutif mengelola pemerintahan, legislatif mengawasi, dan yudikatif menegakkan hukum. Tapi itu semua ternyata cuma teori buat lulus ujian sekolah. Realitanya? Ini semua cuma trik sulap murahan, semacam permainan kartu di emperan terminal. Dari tiga kartu yang ada, rakyat disuruh tebak mana yang asli, padahal semuanya sudah diatur sejak awal.
DPR yang katanya punya hak istimewa untuk mengontrol eksekutif kini lebih mirip asisten pribadi pemerintah. Hak angket, hak interpelasi, dan hak-hak lainnya? Ah, itu seperti menu di restoran mahal, terlihat menggoda tapi realitanya tidak bisa dipesan. Sekarang semua jadi formalitas, pertunjukan sandiwara politik yang bahkan lebih buruk dari FTV tengah malam. Debat-debat di parlemen hanya sekadar bumbu agar terlihat ada dinamika. Padahal kesepakatan sudah dibuat jauh sebelum masuk ruang sidang.
Lalu kenapa bisa begini? Jawabannya simpel: karena semua pemain berasal dari satu grup yang sama. Presidennya dari partai. Menteri-menterinya dari partai. Pimpinan DPR dari partai. Anggota legislatif? Juga dari partai. Jadi berharap ada kontrol independen dari mereka sama saja seperti berharap serigala menjaga kandang ayam. Mereka semua tunduk pada satu komando: perintah ketua partai. Mau ada kebijakan aneh, regulasi yang menguntungkan segelintir orang, atau keputusan yang jelas-jelas merugikan rakyat? Tidak ada yang berani menentang, karena loyalitas kepada partai lebih penting daripada akal sehat.
Contoh paling segar? RUU TNI yang baru saja melenggang mulus di DPR. Tidak ada perdebatan berarti, tidak ada diskusi serius. Seolah-olah ini cuma formalitas, sekadar stempel legalisasi bagi keinginan pemerintah. Karena apa? Karena yang berkuasa adalah ketua partai, yang duduk di pemerintahan pun orang-orang partai, dan yang duduk di parlemen juga bagian dari orkestra yang sama. Semua sudah diatur. Voting? Ah, itu cuma cara elegan untuk memastikan hasil yang sudah ditentukan sebelumnya.
Jadi, apakah kita benar-benar masih hidup dalam demokrasi? Atau hanya dalam sistem yang menyerupai demokrasi tapi dikendalikan oleh segelintir orang? Demokrasi di negeri ini hanya ada saat kampanye, ketika politisi mendadak ramah dan suka blusukan demi suara. Begitu terpilih, mereka menghilang di balik pagar tinggi kekuasaan, sibuk mengamankan kepentingan sendiri. Sementara rakyat? Tetap berjuang sendiri di tengah kebijakan yang makin hari makin menyesakkan.
Yang lebih menyedihkan, ketika rakyat mulai protes, mereka dianggap tidak tahu apa-apa. Dibilang kurang memahami politik, dibilang termakan hoaks, atau bahkan dituding mengganggu stabilitas. Lha, stabilitas siapa? Stabilitas rakyat atau stabilitas kursi empuk mereka? Ketika hukum lebih berpihak pada penguasa daripada pada keadilan, ketika lembaga pengawas justru menjadi pelayan kekuasaan, ketika rakyat dianggap cuma pion dalam catur kekuasaan, maka saat itulah kita sadar: kita tidak hidup dalam demokrasi, tapi dalam sandiwara politik yang semakin tidak lucu.
Jadi, masih percaya kita punya Trias Politika? Atau sudah sadar bahwa ini semua cuma permainan tiga kartu yang hasilnya sudah diatur sejak awal?
Comments
Post a Comment