Di dunia yang semakin bising dengan retorika kebebasan, globalisme, dan solidaritas universal, ada satu jenis ikatan yang tak bisa ditiru oleh slogan-slogan kosong itu: ukhuwah Islamiyah. Bukan sekadar kedekatan emosional, bukan sekadar kepentingan politik, apalagi sekadar kemanusiaan generik. Ini adalah ikatan iman — hubungan batiniah yang ditanamkan langsung oleh wahyu langit.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an:
"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara." (QS. Al-Hujurat: 10)
Ayat ini bukan kutipan hiasan. Ia adalah fondasi sosial umat Islam. Persaudaraan bukan sekadar pilihan, tapi kewajiban. Bukan sekadar wacana manis di seminar internasional, tapi darah dan napas yang menghidupi umat ini.
Nabi Muhammad Saw. menguatkannya dengan sabda-sabda yang tajam:
-
"Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Ia tidak menzaliminya, tidak menghinanya, dan tidak merendahkannya." (HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim)
-
"Orang mukmin terhadap mukmin lainnya seperti bangunan, saling menguatkan." (HR. Muslim)
-
"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta dan kasih sayang ibarat satu tubuh. Jika satu bagian sakit, seluruh tubuh ikut merasakan sakitnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Bersaudara dalam iman artinya merasakan sakit yang sama. Bukan karena kebetulan satu ras, bukan karena satu kewarganegaraan, bukan karena satu bendera, tapi karena satu kalimat: Laa ilaaha illallaah.
Itulah sebabnya ketika umat Islam di Palestina ditembaki, ketika muslim Rohingya dibantai, ketika saudara kami di Uyghur dikurung di kamp-kamp, dada kami di Indonesia ikut sesak. Ada amarah yang tidak bisa dipalsukan. Ada duka yang tidak bisa dibungkus basa-basi.
Dan kami bergerak: berdoa, berdonasi, berdemo, memboikot. Dengan segala cara yang kami punya, sekecil apapun. Karena diam berarti berkhianat kepada persaudaraan suci itu.
Tapi tentu saja, semua ini tampak aneh bagi sebagian orang di luar Islam.
Mereka, yang hidup dalam dunia individualistik, melihat solidaritas hanya sebatas proyek. Mereka menghitung dukungan dengan kalkulator geopolitik: "Apa untungnya bagiku?" Mereka mengukur empati dengan neraca ekonomi: "Seberapa besar investasi yang bisa kutarik dari simpati ini?"
Mereka lupa — atau memang tidak pernah tahu — bahwa bagi umat Islam, membantu saudara yang dizalimi bukan soal proyek, bukan soal bisnis, apalagi soal pencitraan. Ini soal iman.
Makanya jangan heran kalau ada sebagian dari mereka yang mencibir:
"Mengapa umat Islam selalu ribut kalau ada konflik di negara lain?"
"Mengapa kalian marah untuk orang-orang yang bahkan tidak kalian kenal?"
"Mengapa peduli pada Palestina? Bukankah itu jauh dari Indonesia?"
Lucu. Seakan-akan solidaritas harus berdasarkan jarak geografis. Seakan-akan rasa sakit harus diukur dengan jarak tempuh pesawat.
Mereka tidak tahu — atau tidak mau tahu — bahwa bagi kami, tubuh ini satu. Bahwa peduli itu bukan karena dekat, tapi karena seiman.
Lebih menyedihkan lagi, ada juga sebagian dari kita sendiri, yang terjangkiti penyakit yang sama:
Penyakit apatis. Penyakit skeptis. Penyakit minder menjadi bagian dari umat besar ini.
Dengan enteng mereka berkata:
"Ngapain sih demo untuk Palestina? Negara sendiri aja belum beres."
"Nggak usah bawa-bawa agama lah. Urus aja diri masing-masing."
"Itu urusan politik mereka, bukan urusan kita."
Inilah mentalitas budak zaman modern: merasa cukup hanya dengan mengurusi perut sendiri, enggan peduli pada keadilan di luar batas nyaman hidupnya.
Mereka lupa bahwa umat Islam diajarkan untuk merasa satu tubuh. Bukan diajarkan untuk menjadi zombie-zombie individualis yang cuma peduli pada tagihan listrik dan saldo ATM.
Mereka lupa — atau pura-pura lupa — bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"Barang siapa tidak peduli terhadap urusan kaum muslimin, maka ia bukan bagian dari mereka." (HR. Hakim)
Pedas? Ya, pedas. Tapi itulah kenyataan yang harus ditelan.
Hari ini, kita melihat betapa ukhuwah Islamiyah diuji habis-habisan.
Ada yang berusaha mengoyaknya dengan sekat-sekat nasionalisme picik. Ada yang ingin mencabiknya dengan fitnah sektarianisme. Ada pula yang menawarkan "solidaritas universal" kosong, yang hanya bergerak kalau sesuai selera media barat.
Tapi ukhuwah Islamiyah bukan produk politik. Ia lahir dari langit. Ia ditulis dengan tinta iman, dan ia hidup dalam dada setiap muslim sejati.
Selama masih ada satu muslim yang menangis karena dizalimi, selama itu pula dada-dada ini akan tetap bergetar.
Dan selama getaran itu masih ada, umat ini belum mati.
Mereka boleh mencibir. Mereka boleh meremehkan. Tapi satu hal yang harus mereka tahu:
Kami tidak butuh pengakuan dari dunia yang mati rasa.
Kami hanya butuh ridha Allah, dan cinta terhadap saudara seiman kami.
Dan selama ukhuwah itu tetap hidup, mereka tidak akan pernah bisa memadamkan nyala umat ini.
Comments
Post a Comment