Skip to main content

Keledai yang Memikul Kitab Suci Tetaplah Seekor Keledai


Pernah lihat keledai bawa kitab suci? Nggak usah jauh-jauh membayangkan, cukup pahami makna dari pepatah ini: “A donkey carrying a pile of holy books is still a donkey.” Sekilas, kalimat ini terdengar lucu, tapi kalau direnungkan, nyesek juga. Karena bukankah banyak di antara kita yang tak ubahnya seperti keledai itu? Penuh ilmu, tapi kosong makna.

Bayangkan ada seseorang yang mengoleksi buku-buku filsafat, tapi hidupnya masih penuh dengan prasangka dangkal. Atau seseorang yang hafal banyak ayat dan hadis, tapi kelakuannya jauh dari nilai-nilai itu. Mereka bagaikan keledai yang memikul kitab suci—memuat begitu banyak ilmu di punggungnya, tapi tak menyerap esensinya.

Beban Ilmu Tanpa Pemahaman

Ada orang yang bangga bisa mengutip teori-teori hebat, tapi kalau disuruh menerapkannya dalam kehidupan, malah bingung. Ada yang rajin mengikuti seminar motivasi, tapi tetap malas bergerak. Ada juga yang suka menasihati orang lain tentang kebijaksanaan, tapi hidupnya sendiri berantakan. Ilmu itu penting, tapi tanpa penghayatan dan tindakan, ia tak lebih dari beban berat yang cuma dipanggul tanpa manfaat.

Di era digital ini, semua informasi bisa didapat dalam hitungan detik. Tapi apakah dengan membaca banyak artikel, menonton video motivasi, atau menghafal kutipan inspiratif kita otomatis jadi lebih bijaksana? Tidak juga. Tanpa refleksi dan aksi nyata, semua itu hanya menumpuk seperti beban yang makin lama makin berat.

Kenapa Banyak Orang Jadi 'Keledai Pembawa Kitab'?

Ada beberapa alasan kenapa seseorang hanya menimbun ilmu tanpa benar-benar memahaminya:

  1. Pencitraan – Ingin terlihat pintar dan berwawasan luas, tapi sebenarnya cuma pamer.

  2. Takut Berubah – Paham bahwa ilmu menuntut perubahan, tapi lebih nyaman dengan kebiasaan lama.

  3. Pemahaman Dangkal – Hafal teori, tapi nggak ngerti inti sarinya.

  4. Malas Mengamalkan – Mengetahui kebaikan itu satu hal, melakukannya adalah hal lain.

Dari 'Keledai Pembawa Kitab' Jadi Orang yang Bijak

Lantas, bagaimana caranya agar kita tidak terjebak jadi keledai pembawa kitab? Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan:

  1. Belajar dengan Kesadaran – Jangan cuma baca atau dengar, tapi renungkan dan pahami.

  2. Terapkan Ilmu – Jangan berhenti di pengetahuan, lakukan sesuatu dengan apa yang sudah dipelajari.

  3. Berani Berubah – Ilmu sejati mengubah cara kita berpikir dan bertindak.

  4. Fokus pada Pemahaman, Bukan Sekadar Status – Ilmu bukan soal terlihat hebat, tapi soal pertumbuhan diri dan manfaat bagi sekitar.

Kita semua mungkin pernah menjadi 'keledai pembawa kitab' di beberapa titik dalam hidup. Tapi kita punya pilihan: tetap menimbun ilmu tanpa makna, atau mulai memahami dan mengamalkannya. Sebab pada akhirnya, dunia tak butuh orang yang sekadar tahu banyak, tapi orang yang benar-benar bijak dan bertindak.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...