Di negeri yang katanya demokratis, ada satu fenomena yang selalu muncul setiap kali ada kritik terhadap pemerintah: para fanatik garis keras langsung naik darah. Kritik sedikit, langsung dicap benci. Tanya kebijakan, dituduh tak menghargai pemimpin. Dan yang lebih parah, fenomena ini nggak cuma terjadi di kalangan awam, tapi juga menjerat mereka yang bergelar tinggi. Profesor, doktor, akademisi—mereka yang seharusnya berpikir kritis, malah ikut terseret dalam pengkultusan individu.
Jadi, kenapa semua kebijakan pemerintah harus dikritisi? Kenapa banyak orang sulit membedakan antara pemimpin sebagai individu dan pemimpin sebagai pejabat publik? Dan kenapa, oh kenapa, fanatisme politik bisa melumpuhkan logika?
Kritik Itu Wajib, Karena Pemerintah Itu Bukan Nabi
Seperti yang dikatakan Lord Acton, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." Kekuasaan itu candu, dan semakin lama seseorang menggenggamnya tanpa diawasi, semakin besar kemungkinan mereka menyalahgunakannya. Maka, kritik adalah rem yang menjaga agar pemerintah tidak ugal-ugalan.
Tapi di sini, kritik sering dianggap dosa besar. Kalau ada kebijakan yang kurang beres, lalu kita protes, pasti ada yang bilang, "Ya sudah, kalau nggak suka, pindah aja ke negara lain!" Seolah-olah negara ini warisan kakek buyut mereka. Padahal, yang bayar pajak itu kita, yang hidup di negara ini kita, yang kena dampak kebijakan juga kita. Maka, wajar kalau kita bersuara.
Lagi pula, tidak semua kebijakan lahir dari niat suci. Ada yang dibuat demi kepentingan segelintir orang, ada yang lahir karena lobi-lobi bisnis, dan ada juga yang sekadar pencitraan biar terlihat heroik di media. Kalau rakyat nggak kritis, kebijakan ngawur bisa melenggang tanpa hambatan.
Dan yang paling penting, uang yang mereka pakai itu uang kita. Gaji presiden, menteri, staf ahli, semua berasal dari pajak rakyat. Kalau ada yang bilang, "Udahlah, biar mereka bekerja dengan tenang," coba tanyakan balik, "Kalau uangmu dikelola orang lain tanpa bisa kamu awasi, apa kamu akan tenang?"
Fanatisme Politik: Ketika Logika Mati dan Puja-Puji Menjadi Gaya Hidup
Salah satu penyakit akut dalam dunia politik adalah fanatisme buta. Begitu seseorang memilih pemimpin, tiba-tiba mereka berubah jadi cheerleader yang selalu bertepuk tangan, apa pun yang terjadi. Kritik sedikit, langsung dianggap penghinaan. Pertanyaan tajam? Langsung dituduh ingin menggulingkan pemerintah.
Padahal, pemimpin itu bukan nabi. Mereka bukan manusia suci yang tak mungkin salah. Seorang pemimpin adalah pejabat publik, bukan selebriti yang harus dijaga citranya mati-matian. Abraham Lincoln pernah berkata, "Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man's character, give him power." Artinya, kekuasaan adalah ujian sejati. Kalau rakyatnya cuma bisa memuja tanpa mengawasi, pemimpin bisa kehilangan akal sehat.
Fanatisme ini juga yang membuat banyak orang tidak bisa membedakan antara pemimpin sebagai individu dan pemimpin sebagai pejabat publik. Misalnya, seorang presiden mungkin orang yang baik secara pribadi—mungkin dia suami yang setia, ayah yang penyayang, dan teman yang menyenangkan. Tapi begitu dia duduk di kursi kepresidenan, yang kita nilai bukan lagi pribadinya, melainkan kebijakan dan tindakannya sebagai pemimpin negara.
Sayangnya, banyak yang susah menerima ini. Mereka merasa kalau sudah memilih seseorang, maka wajib membela habis-habisan, bahkan jika ada keputusan yang jelas-jelas keliru. Akibatnya, ruang diskusi yang seharusnya sehat malah berubah jadi ajang perang antara fans club dan haters club.
Gelar Akademik Tinggi Tidak Menjamin Kedewasaan Berpolitik
Salah satu ironi dalam politik adalah bahkan orang berpendidikan tinggi pun bisa terjebak dalam pengkultusan individu. Tidak jarang kita melihat profesor dan doktor yang biasanya kritis dalam bidang akademik, mendadak berubah jadi penjaga gawang pemerintah. Mereka bukan lagi ilmuwan yang obyektif, tapi lebih mirip influencer politik yang membela mati-matian.
Kenapa bisa begitu? Karena pendidikan tinggi tidak otomatis berarti kedewasaan dalam berpikir. Seorang profesor mungkin jenius dalam bidang fisika kuantum, tapi kalau sudah menyangkut politik, dia bisa terjebak dalam fanatisme yang sama dengan orang-orang yang hanya mengandalkan slogan.
Padahal, dalam demokrasi, yang dibutuhkan adalah objektivitas. Pemimpin yang baik tidak butuh pengkultusan. Mereka butuh kritik, evaluasi, dan umpan balik yang jujur. Pemimpin yang dikelilingi oleh orang-orang yang selalu bilang "semua baik-baik saja" justru akan semakin jauh dari realitas.
Seperti kata John Stuart Mill, "The worth of a state, in the long run, is the worth of the individuals composing it." Artinya, kualitas sebuah negara bergantung pada kualitas rakyatnya. Kalau rakyatnya fanatik dan menolak kritik, ya jangan kaget kalau negaranya jalan di tempat.
Demokrasi Butuh Kritik, Bukan Sekadar Tepuk Tangan
Yang sering dilupakan oleh para pemuja pemimpin adalah demokrasi bukan sekadar memilih presiden setiap lima tahun sekali. Demokrasi yang sehat adalah ketika rakyat ikut mengawasi, mempertanyakan, dan menuntut akuntabilitas.
Kalau setiap kritik selalu dianggap sebagai bentuk kebencian, maka demokrasi perlahan akan mati. Bukan karena ada kudeta, tapi karena rakyatnya sendiri yang enggan berpikir kritis. Akhirnya, yang terjadi adalah pemerintahan yang dikelilingi oleh orang-orang yang hanya pandai memuji, sementara kritik dibungkam dengan dalih menjaga stabilitas.
Plato pernah berkata, "The price of apathy towards public affairs is to be ruled by evil men." Kalau rakyatnya malas berpikir kritis, maka mereka akan diperintah oleh orang-orang yang tidak layak.
Jadi, kalau ada yang bilang, "Kalau nggak suka, pindah negara saja!" Jawab saja: "Kenapa saya yang harus pindah? Seharusnya pemerintahnya yang perlu diperbaiki."
Comments
Post a Comment