Ada ironi besar dalam dunia yang mengatasnamakan kebenaran, tetapi kemudian justru melukai nurani publik. Di antara kelompok yang mengaku sebagai penjaga akidah, pelindung ajaran tradisional, dan pengawal moral bangsa, ternyata tersimpan bara busuk yang semakin sulit ditutupi.
Kita bicara tentang sekelompok barisan yang sering memakai seragam loreng hijau, yang suka tampil di garda depan menolak pengajian ustadz-ustadz tertentu, yang membanggakan diri sebagai benteng "Ahlussunnah". Entah kenapa, mereka tampak sibuk membangun pagar-pagar kecurigaan ketimbang memperluas ladang dakwah dengan akhlak. Seringkali pengajian-pengajian yang damai — terutama dari kalangan yang mereka stempel sebagai "wahabi" — diusik, diblokir, bahkan ditolak secara terang-terangan. Seolah umat ini milik mereka sendiri.
Lucunya, di balik slogan "menjaga akidah," justru tercium aroma busuk yang menusuk. Beberapa figur penting dari barisan ini belakangan terseret skandal memalukan. Ada yang kepergok berduaan dengan istri orang lain di hotel, membungkus laknatnya dengan jubah kehormatan yang robek tak bersisa. Ada pula yang diduga bermain kotor dengan uang umat, menggelapkan dana yang seharusnya dipakai untuk tujuan mulia.
Semua ini tentu tanpa harus menyebut nama. Karena terlalu banyak berita yang beredar, masyarakat yang peka pasti tahu ke mana arah jari ini menunjuk. Seorang ketua cabang dari gerakan ini di sebuah kabupaten pesisir, yang dulu semangat sekali menolak dakwah seorang ustadz kondang, ternyata justru kepergok skandal asusila yang membuat malu tak hanya dirinya, tapi seluruh komunitas yang katanya suci itu.
Di tingkat nasional, ada pula tokoh seniornya — yang konon dulu sempat memimpin organisasi ini sebelum loncat ke jabatan menteri — kini dikabarkan menghilang bak hantu. Namanya terseret dalam dugaan korupsi dana umat terbesar sepanjang sejarah, meninggalkan ribuan jemaah haji terlantar di tanah suci, menderita, bahkan meregang nyawa. Ironis, karena lisan mereka lantang soal moral, tetapi tangan mereka tak kuat menahan godaan dunia.
Semua itu menunjukkan satu pola besar: kekuasaan yang dipelihara tanpa integritas akan melahirkan monster. Organisasi yang semula berakar pada perjuangan luhur perlahan-lahan membusuk dari dalam, dimakan kerakusan pengurusnya sendiri. Mereka yang di jalanan berteriak "haramkan wahabi," di balik layar ternyata sibuk berburu kenikmatan duniawi tanpa rasa malu.
Lebih menyakitkan lagi, mereka bukan hanya gagal menjaga dirinya sendiri, tapi juga merusak citra Islam yang seharusnya ditampilkan dengan kemuliaan akhlak, bukan dengan premanisme berjubah agama. Dengan memakai simbol-simbol suci, mereka menghalalkan tindakan intoleransi, memonopoli kebenaran, dan memecah belah umat.
Sesekali, sebaiknya mereka berhenti mengintip dosa orang lain dan mulai bercermin melihat kerak yang menempel di wajah sendiri. Mungkin mereka lupa, bahwa pakaian seragam, kopiah hitam, dan sorban bukanlah jaminan keselamatan di hadapan Tuhan. Tuhan tidak memandang baju hijau loreng mereka, tapi menimbang ketulusan hati dan keadilan perbuatan.
Jika terus begini, mereka akan dikenang bukan sebagai penjaga umat, tapi sebagai para penjagal akhlak. Bukan pelindung dakwah, melainkan penista dakwah. Bukan benteng akidah, melainkan pagar makan tanaman.
Mereka boleh saja berkoar di lapangan, mengibarkan bendera dengan bangga, mengacungkan tangan penuh semangat. Tapi suara minor umat yang geram, kecewa, dan terluka akan terus bergema: bahwa siapa yang berkhianat pada amanah, sekencang apa pun ia menutupi boroknya dengan dalil-dalil mulia, bau busuk itu tetap akan sampai ke hidung rakyat.
Dan rakyat tidak akan mudah lupa.
Comments
Post a Comment