Bayangkan sebuah requiem yang seharusnya khidmat: lonceng Vatikan berdentang, umat Katolik dari lima benua menggenggam rosario, Paus Fransiskus berbaring dalam damai, dan—tiba‑tiba—kamera internasional menyorot seorang tamu negeri tropis yang masih dibebat isu ijazah palsu serta “gelar” finalis koruptor global versi OCCRP. Begitu Republik Indonesia—melalui keputusan Presiden Prabowo—memasang Joko Widodo di barisan pelayat utama. Dari altar Roma, aroma skandal tercium sampai pojok warung kopi Nusantara.
1. Prelude: Requiem yang Bergeser Nuansa
Paus Fransiskus wariskan tiga nada kunci: option for the poor, perlawanan pada pelembek moral, dan retorika antikorupsi yang tajam seperti pedang bermata dua. Ironi lahir ketika tamu resmi kita justru terseret narasi pelemahan KPK, cawe‑cawe MK demi putra mahkota, serta drama ijazah yang tak kunjung tuntas. Vatikan laksana panggung megah; lensa media global menjadi sorot lampu; dan bangsa kita—bukannya tampil teduh—malah memamerkan “catatan kaki” paling bising.
2. Selembar Ijazah & Delik Aduan: Hukum yang Latah Selebrasi
Fitnah dan pencemaran memang delik aduan (Pasal 310 KUHP). Jika nama baik Joko Widodo koyak, logika sederhana: beliaulah yang maju ke kantor polisi. Faktanya, yang berlari lapor justru sekelompok “Pemuda Patriot Nusantara”—sebutan yang lebih mirip tagline lomba 17‑an ketimbang pihak berkepentingan langsung.
Beranjak lebih aneh: laporan itu dipintal ulang menjadi pasal penghasutan (Pasal 160). Dari tudingan ijazah palsu ke dugaan memprovokasi—plot twist hukum versi sinétron prime time. Alih‑alih menjernihkan reputasi, manuver ini membumbui gosip: “Kalau ijazah asli, kenapa takut membuka?”
3. Etika dalam Kabut: Korupsi, OCCRP, dan Panggung Dunia
Organized Crime and Corruption Reporting Project tak main‑main saat menempatkan Jokowi di deretan figur yang “berjasa” memperburuk tata kelola antikorupsi global (2024). Peringkat itu lahir bukan karena hobi sang mantan presiden menanam mangrove, melainkan dugaan intervensi politik‑hukum demi dinasti.
Beradu tafsir di dalam negeri sudah biasa; tapi kala catatan minus itu dilipat ke konferensi pers internasional, bangsa ini tampak berbusana gagah di depan—namun ekornya robek di belakang. Pemakaman Paus yang sakral akhirnya terbelah dua: doa dan diskursus toksik antikorupsi.
4. Simbol Politik: Prabowo, “Bapak‑Bapak Manis” & Sindrom Bayang‑Bayang
Editorial Koran Tempo (24 April 2025) menulis Prabowo “terlihat sebagai bapak‑bapak manis yang jadi anak buah Jokowi.” Frasa itu pedas, tapi menggambarkan realitas: mandat mengutus delegasi lazimnya hak prerogatif presiden. Ketika pilihan jatuh pada seorang figur bermasalah, kesan yang tercipta bukan rekonsiliasi elegan, melainkan ketergantungan politik.
Narasinya seakan digiring: mantan presiden—bukannya menepi dengan kewibawaan elder statesman—malah tetap memegang kemudi simbolik. Prabowo, yang semestinya berdiri di podium tertinggi, justru tampak rela menonton dari bangku penonton.
5. Bangsa Terbelah: Cebong, Kampret, Kadrun 2.0
Era Jokowi menyisakan kamus fauna politik. Kini, berkat episode ijazah, lahirlah varian kadrun 2.0—publik yang skeptis permanen terhadap segala klaim resmi. Pertengkaran bermula di linimasa, meluber ke grup WA keluarga, lalu meracuni meja makan. Selembar ijazah menjelma pisau cukur yang mengiris tipis kepercayaan antarsaudara bangsa.
Pertanyaan maha‑penting: mengapa negara membiarkan polarisasi beranak‑pinak? Jawaban paling sederhana—namun paling getir—ialah politik manfaat. Ketika rakyat sibuk head‑to‑head soal ijazah, elite tenang mengatur power sharing—seperti pesulap menyibak kain merah agar penonton tak sadar merpati disembunyikan.
6. Humori Gelap & Hutang Malu Kolektif
Kita mengklaim Pancasila, sopan santun Timur, dan adat ketimuran. Realitanya: beribu akun buzzer menyerang, mem‑bleach fakta, mem‑poles narasi. Hukum tak lagi tegas menegakkan kebenaran; ia lebih sering menjadi event organizer pasal karet.
Humor gelapnya: untuk urusan setipis ijazah, kementerian, lembaga, hingga kampus top—semuanya pontang‑panting bak badan intel memburu hantu. Padahal, kalau dokumen memang otentik, tinggal dicetak tebal, legalisir notaris, lalu pajang di bilboard Jalan Thamrin: “Ini lho, ijazah asli presiden Anda.” Lima menit, selesai.
Tapi negara memilih jalur berliku. Artinya kita memiliki hutang malu—bukan cuma pada lawan politik, melainkan pada generasi mendatang yang layak hidup di republik jujur.
7. Refleksi Akhir: Ketika Requiem Memanggil Kejujuran
Paus Fransiskus pernah mengecam “dosa yang dekat di ujung jari”—korupsi. Ironisnya, delegasi Indonesia memikul narasi korupsi persis di ujung jari media dunia. Upacara duka pun berganti panggung drama domestik: ijazah, nepotisme, dynastic embedded politics.
Apakah Prabowo sengaja “membajak” momen kesucian demi barter gengsi politik? Atau justru Jokowi yang menunggang gelombang belasungkawa untuk mencuci citra? Kedua skenario sama getirnya: bangsa ini tampak rela mengganti parfum moral dengan deodoran kepentingan sesaat—bau wangi di luar, amis busuk di dalam.
Requiem—semestinya doa damai—malah menjadi panggilan lantang: transparansi tak bisa ditawar. Selembar ijazah tak perlulah diarak ke Vatikan; cukup dipertontonkan terang benderang ke publik. Jika palsu, mari kita benahi; jika asli, biarkan kritik gugur alami.
Sampai itu terjadi, negeri ini akan terus menyanyikan simfoni sumbang: not‑not polarisasi, ketukan korupsi, dan crescendo ketidakjujuran. Dan di bawah dentang lonceng Vatikan, dunia mencatat: Indonesia datang, tapi lupa membawa integritasnya.
Comments
Post a Comment