Skip to main content

Mustafa Kemal, Perusak Peradaban: Dari Turki Sekuler Menuju Palestina Terjajah

"Sebagai anak muda, saya punya pahlawan. Ikon saya adalah Mustafa Kemal."
— Seorang pemimpin negeri yang (katanya) mayoritas Muslim

Kalau ada kontes tokoh paling ironis yang dipuja oleh umat yang ia tindas secara ideologis, Mustafa Kemal pasti pulang dengan medali emas, sertifikat kehormatan, dan sambutan marching band. Dan anehnya, piala itu mungkin akan diserahkan langsung oleh tokoh-tokoh dunia Islam sendiri—lengkap dengan standing ovation dan senyum penuh ketidaktahuan.

Babak I: Dari Kongres Bassel Menuju Balfour

Mari kita mundur sedikit ke tahun 1897, ketika Theodore Herzl dan kolega Yahudinya berkumpul di Bassel, Swiss, dalam Kongres Zionis Internasional pertama. Mereka menyepakati tujuan yang sederhana — membangun "Tanah Air Yahudi di Palestina yang dilindungi undang-undang." Terjemahan bebasnya: "Kami mau rumah di tanah orang, tolong sahkan."

Dan sungguh, seperti sihir dalam dongeng Eropa, dalam waktu kurang dari 30 tahun setelah itu, kekhalifahan Islam terakhir, Turki Utsmani, lenyap dari muka bumi. Tidak dengan serangan militer asing, tapi oleh seorang anak kandung yang dididik baik-baik oleh Barat dan dibungkus dengan nama: Mustafa Kemal.

Babak II: Siapa Dia Sebenarnya?

Mustafa Kemal ini bukan tokoh biasa. Ia adalah campuran antara Napoleon kecil dan Lenin yang disekolahkan di ruang makan Yahudi sekuler. Salonika, tempat ia lahir, dikenal sebagai sarang Mason, Yahudi Dönmeh, dan liberal radikal. Dan dari kota itulah lahir seorang pria yang kelak melarang adzan Arab, menggantung ulama yang menolak topi gaya Barat, dan merubuhkan masjid karena terlalu... Islam.

Mustafa Kemal dikenal memusuhi agama, dan kalau Islam adalah rumah, maka dia adalah hujan asam yang menghancurkan gentengnya satu per satu. Tentu, semua demi "modernisasi" dan "kemajuan." Karena, menurut Mustafa Kemal dan penggemarnya, satu-satunya cara sebuah negara Muslim bisa maju adalah dengan membuang semua hal yang berbau Islam. Sungguh logika yang elegan—jika logika itu diajarkan di kelas kimia remedial.

Ia diberi gelar "Atatürk" oleh rezimnya sendiri, yang berarti "Bapak Bangsa Turki". Tapi sesungguhnya, dia sama sekali tidak pantas menyandang sebutan itu. Karena seorang "bapak" semestinya melindungi dan membimbing, bukan menghancurkan fondasi identitas dan iman anak-anak bangsanya. Maka dari itu, dalam tulisan ini dan seterusnya, kita panggil dia apa adanya: Mustafa Kemal, bukan "Atatürk". Titik.

Babak III: Dan Palestina? Oh, Itu Bonus!

Apa hubungan Mustafa Kemal dengan penjajahan Palestina? Langsung mungkin tidak, tapi siapa bilang penjahat hanya yang menarik pelatuk? Yang membuka pintu dan menyodorkan teh juga patut ditanyai. Ketika kekhalifahan diruntuhkan, Palestina kehilangan pelindung politiknya. Tak lama berselang, lahirlah Deklarasi Balfour (1917), migrasi Yahudi ke Palestina makin massif, dan pada akhirnya lahirlah Israel.

Dan siapa yang meringankan jalan itu dengan menghancurkan sistem Islam politik dunia? Kita tahu jawabnya.

Babak IV: Heroisme Impor dan Sindrom Ikon Asing

Kini, di zaman penuh disinformasi dan narsisme simbolik, kita punya tokoh yang dengan bangga menyebut Mustafa Kemal sebagai pahlawan dan ikon. Dalam parlemen Turki pula. Di negeri tempat ribuan ulama Turki dulu digantung karena menolak disekulerkan. Yang lebih lucu, ucapan itu disampaikan oleh pemimpin negara yang mayoritas warganya Muslim, dan katanya—punya komitmen terhadap Palestina.

Mari kita berhenti sejenak dan merenung: apakah ini sekadar diplomasi? Atau bentuk paling memalukan dari ketidaktahuan sejarah?

Seorang pemimpin Muslim yang mengidolakan Mustafa Kemal itu ibarat seorang keturunan pejuang 1945 memuji Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Atau seperti anak korban penjajahan memuja penjajah karena "rapi berpakaian dan tepat waktu." Ini bukan hanya blunder, ini penghinaan terhadap memori kolektif umat Islam.

Ini juga bentuk kepalsuan intelektual paling parah: menyebut Mustafa Kemal sebagai pahlawan, sementara luka yang dia torehkan masih basah di tubuh umat Islam. Ini seperti menampar wajah sendiri sambil tersenyum di depan kamera dunia.

Babak V: Saatnya Melek Sejarah, Bukan Hanya Seragam

Kita hidup di zaman di mana simbol lebih penting dari isi. Topi miring bisa bikin orang dikira revolusioner. Pidato di negeri asing bisa jadi headline inspiratif, walau isinya menggali kuburan sendiri. Maka tidak heran bila Mustafa Kemal, sang perusak kekhalifahan, kini diidolakan oleh pemimpin Muslim—karena kita sudah terlalu jauh tersesat dalam kabut "kekaguman semu."

Mustafa Kemal memang punya pencapaian: ia menjadikan Turki "modern" versi Paris, tapi dengan harga mencopot identitas spiritual warganya. Dan dampaknya masih kita rasakan, terutama ketika melihat penderitaan Palestina hari ini. Sebab sejarah itu rantai, dan mata rantai itu tidak bisa kita potong seenaknya hanya demi nostalgia kostum parade militer.


Epilog: Belajar Mengidolakan dengan Akal

Mengidolakan itu sah. Tapi seperti memilih teman makan malam, kita harus tahu siapa yang kita ajak duduk semeja. Mengangkat Mustafa Kemal sebagai ikon dunia Islam sama seperti menjadikan Frankenstein maskot rumah sakit bersalin. Gagah? Mungkin. Tapi relevan dan aman? Sama sekali tidak.

Dan kepada mereka yang terus menyebutnya pahlawan: sejarah mencatat, umat Islam belum pernah sembuh dari luka yang dia buka. Dan Palestina, hingga hari ini, masih berdarah karena pengkhianatan yang kita sebut "modernitas."

Selamat datang di abad ke-21, di mana pengkhianat bisa jadi pahlawan, asal dipoles dengan cukup retorika.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...