Ada bedanya punya rumah dengan punya tempat pulang. Kita bisa saja tinggal dalam bangunan megah, berdinding kokoh, beratap genteng mahal, tapi tetap merasa asing dan kesepian di dalamnya. Dalam bahasa Inggris, ini dibedakan dengan jelas: house adalah struktur, home adalah jiwa. Satu dibangun dengan uang, satunya lagi dibangun dengan kehangatan dan keadilan.
Negara ini—Indonesia—sering kali hanya terasa seperti house. Bangunan megah yang diklaim sebagai rumah bersama, tapi terlalu sering tak terasa hangat, apalagi adil, untuk semua penghuninya.
Bangunan yang Megah Tapi Kosong
Setiap kali pemerintah memamerkan proyek infrastruktur—tol baru, pelabuhan, kereta cepat, atau bandara bertaraf internasional—kita diajak bangga. Seolah itu bukti bahwa negeri ini sedang melesat maju. Tapi ketika warga desa harus membayar mahal sekadar untuk naik angkot yang mogok, atau antre berjam-jam di Puskesmas yang minim obat, euforia itu langsung berubah jadi euforia palsu.
Negara membangun house yang megah. Tapi siapa yang boleh tinggal nyaman di dalamnya?
Gedung DPR dibangun ulang dengan anggaran triliunan, sementara sekolah di pelosok masih pakai dinding anyaman bambu. Istana Negara punya helipad pribadi, tapi ambulans desa harus mengandalkan solar dari pengecer pinggir jalan. Jika ini “rumah bersama,” mengapa yang menikmati kenyamanan hanya segelintir “penghuni VVIP”?
Cinta yang Tidak Berbalas
Banyak dari kita tumbuh dengan cinta pada negeri. Kita menyanyikan lagu “Tanah Airku” dengan air mata menetes, berdiri hormat pada bendera dengan dada membusung. Tapi ketika sudah dewasa, cinta itu tumbuh menjadi luka. Kita jadi tahu bahwa nasionalisme ternyata punya kasta.
Pajak ditarik dari semua. Tapi hasilnya hanya menyentuh mereka yang bisa berbisik di telinga penguasa. Pelayanan publik tak bergerak tanpa uang pelicin. Birokrasi tak punya empati. Lalu kita disuruh bersabar, disuruh tidak nyinyir, disuruh mencintai tanpa banyak bertanya. Ini bukan cinta. Ini pengabdian buta.
Cinta tanah air tanpa keadilan sosial hanyalah bentuk kekerasan psikologis yang dilembagakan.
Rumah yang Tak Merangkul
Sebuah home adalah tempat yang membuat kita merasa aman, diterima, dan didengar. Tapi di negeri ini, kritik dianggap makar, unjuk rasa dipukul mundur, dan rakyat yang bersuara justru dibungkam dengan stempel “tidak bersyukur.” Padahal rumah yang sehat adalah rumah yang boleh diprotes. Yang boleh dihuni dengan suara berbeda.
Negara ini terlalu reaktif saat dikritik, tapi terlalu pasif saat rakyat menjerit. Ia pandai menulis pidato tentang persatuan, tapi lupa caranya mendengar jeritan warga yang kehilangan tanah karena proyek negara. Ia berbicara tentang “kita,” padahal yang dirasakannya hanyalah “aku”—aku yang berkuasa, aku yang kenyang.
Jika ini rumah, maka rakyat hanyalah penyewa, bukan pemilik. Kontrak sewanya diperpanjang selama kita diam dan patuh. Begitu bersuara, langsung dianggap melanggar perjanjian.
Tak Semua Rumah Layak Disebut Pulang
Ada banyak dari kita yang secara teknis warga negara, tapi tak pernah merasa punya tempat di negeri ini. Kita lahir di sini, membayar iuran negara, mengibarkan bendera di hari kemerdekaan, tapi tetap merasa tersisih. Sebab negara ini tak pernah sungguh-sungguh membuat kita merasa bagian dari rumah besar yang disebut “Indonesia”.
Banyak warga negara yang merasa perlu mengemis haknya sendiri. Dari antrean BPJS yang tak kunjung diproses, sampai sengketa lahan yang bertahun-tahun tidak ada penyelesaian. Rakyat dibiarkan menua bersama rasa frustasi, sementara elite politik sibuk memperindah cat rumahnya sendiri.
Seperti kata pepatah: kita bisa beli rumah, tapi tak bisa beli rasa nyaman. Dan negara ini terbukti piawai membangun rumah megah tanpa pernah benar-benar menciptakan kenyamanan.
Kami Tidak Membakar Rumah Ini. Kami Hanya Ingin Diperlakukan Sebagai Penghuni
Sering kali ketika rakyat bersuara, mereka dituduh membenci negeri sendiri. Tapi mencintai bukan berarti selalu diam. Kadang, cinta butuh perlawanan. Kadang, demi memperbaiki rumah, kita perlu berteriak agar lantainya tak lagi rapuh, atapnya tak lagi bocor, dan pengurus rumahnya tak lagi korup.
Kami tidak sedang membakar rumah ini. Kami hanya ingin pengurus rumah sadar bahwa kami juga punya hak untuk tinggal dengan layak. Kami bukan tamu. Kami pemilik rumah ini, seperti juga Anda. Bedanya, kami tak duduk di kursi empuk ruang tamu, tapi masih bertahan hidup di dapur sempit yang atapnya bocor dan listriknya padam saban malam.
Saatnya Bangun Rumah, Bukan Cuma Dinding
Indonesia belum menjadi home—bukan karena rakyatnya kurang cinta, tapi karena negara belum cukup adil. Dan tak ada cinta yang bisa bertahan selamanya tanpa keadilan. Rakyat bukan marah karena benci. Mereka marah karena sudah terlalu lama diam, dan diam tidak lagi membuat mereka merasa punya tempat.
Negara ini tak butuh lebih banyak house. Ia butuh menjadi home. Dan home itu tak dibangun dari marmer, tapi dari keadilan, dari empati, dari distribusi kekuasaan dan kekayaan yang tak timpang. Dari rasa bahwa siapa pun, dari desa sampai ibu kota, punya hak yang sama untuk merasa aman, nyaman, dan dihargai.
Sebab rumah yang hanya indah dilihat tapi membuat penghuninya tertekan, bukan tempat tinggal. Itu penjara.
Dan kami sudah terlalu lama tinggal di penjara yang diberi nama “cinta tanah air”.
Comments
Post a Comment