Langit sore itu redup, seolah menyimpan rahasia yang berusaha ia sembunyikan. Aku duduk di teras sebuah rumah kos, menyesap secangkir teh bersama seorang kawan. Udara dingin merambat pelan, namun tiba-tiba hangat menjalar di dadaku saat mataku menangkap sosoknya. Seorang perempuan melintas, langkahnya tenang, seolah tak ingin dunia tahu betapa indah dirinya. Ia menyapa kawanku dengan senyum yang sederhana namun meninggalkan jejak mendalam.
"Siapa dia?" tanyaku pelan.
"Itu Sinta," jawab Rina, kawanku.
Aku hanya mengangguk, namun diam-diam pikiranku mulai bertanya-tanya tentang dia. Waktu seolah bersekongkol hingga aku dan Sinta kian sering berbincang. Mulai dari obrolan ringan soal kuliah hingga diskusi panjang soal hidup dan masa depan. Di mataku, Sinta adalah perempuan cerdas yang tak hanya cantik, tapi juga penuh keyakinan.
Pernah suatu kali, aku membantunya pindahan kos. Kami berdua menghabiskan waktu di kamar yang penuh kardus dan buku. Teman-temannya mulai menggoda kami, menyebut kami seperti kakak-adik. Aku hanya tersenyum, meski dalam hati, aku tahu perasaanku jauh lebih rumit dari sekadar kasih sayang seorang kakak.
"Kak, aku nggak mau lebih dari ini, ya," katanya tiba-tiba. "Aku udah anggap Kakak kayak saudara sendiri."
Aku terdiam. Kata-katanya menggantung di udara, meninggalkan rasa yang tak mampu kubalas. Aku memilih untuk patuh pada batas yang ia buat, meski hatiku berbisik sebaliknya. Kami tetap dekat, terus berbagi cerita. Hingga akhirnya aku mulai bekerja di sebuah stasiun televisi.
Sinta datang ke kantorku sekali waktu, membawa canda yang begitu kurindukan. Bahkan saat aku harus mengikuti pelatihan di luar kota, ia datang mengantarku hingga ke lobi hotel, menarik koporku dengan langkah tenang. Hatiku kembali bertanya, "Adik-kakak macam apa yang seperti ini?"
Namun aku tetap menahan diri. Aku memilih menjalin hubungan dengan perempuan lain, yang kelak menjadi istriku. Aku mengundang Sinta ke pernikahanku, namun ia tak datang. Hanya pesan dari kawannya yang kudapat, "Sinta pergi ke luar negeri."
Aku tak tahu kenapa kepergiannya terasa seperti kehilangan yang tak wajar. Waktu berlalu, aku mulai terbiasa tanpanya. Hingga suatu malam, sebuah pesan dari akun Friendster membuat dadaku bergemuruh. Itu dari Sinta. Ia bercerita tentang kuliah S2-nya, tentang pekerjaannya di negeri seberang. Kami kembali saling berbagi cerita, meski kini hanya melalui kata-kata di layar.
Beberapa bulan kemudian, ia menikah dan kembali ke Indonesia. Namun meski kami berada di tanah yang sama, kami tak pernah bertemu. Percakapan lewat BBM menjadi satu-satunya jembatan.
Suatu malam, di tengah percakapan ringan tentang masa lalu, ia mengirim pesan yang membuat nafasku tertahan.
"Kak... sebenarnya dulu aku sayang sama Kakak." Kalimat itu bergetar di mataku. "Tapi aku nggak berani bilang... karena aku takut merusak semua yang sudah ada. Jadi saat Kakak menikah, aku pergi. Aku nggak sanggup lihat Kakak bahagia dengan orang lain."
Aku hanya mampu menatap layar ponsel, menatap kalimat yang terasa seperti luka yang baru terbuka.
"Kenapa nggak bilang dari dulu, Dek?" tanyaku dalam hati.
Namun jemariku mengetik yang lain. "Aku selalu menganggap kamu sebagai adikku. Nggak pernah lebih dari itu." Kalimat itu kututup dengan emotikon senyum. Entah mengapa, aku merasa itu yang terbaik. Sinta hanya meminta satu hal, "Tolong hapus chat ini ya, Kak. Aku nggak mau istrimu tahu." Aku menurutinya. Setelah itu, kami kembali bercakap seperti tak pernah ada rahasia yang tersingkap.
Yang Sinta tak pernah tahu adalah, aku pun pernah menyimpan rasa yang sama. Namun aku memilih memendamnya, takut rasa itu hanya akan membuat luka lebih dalam. Sudah lebih dari dua dekade berlalu, tapi rasa itu tetap berdiam di sudut hatiku. Tidur, namun tak pernah padam.
Kini, jejak paling nyata yang tersisa darinya adalah sepenggal kata pengantar yang kutulis untuk bukunya, penuh makna yang tak pernah ia tahu.
Comments
Post a Comment